Cari Blog Ini

Sabtu, 13 Februari 2016

Teknis Perhitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM)


Teknis Perhitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI)

Memilih Unit Analisis.
Analisis yang dipilih bisa dalam berbagai macam unit seperti individu, rumah tangga, propinsi, kabupaten/kota, jenis kelamin, desa-kota dan lain sebagainya.

Memilih Dimensi. 
Pemilihan dimensi sangat penting dilakukan untuk melihat dimensi apa yang ingin dilihat. Standar OPHI menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi kesehatan, pendidikan dan standar kualitas hidup. Sementara MPI Indonesia, memakai tiga dimensi sesuai standar OPHI, dengan beberapa perubahan indikator di masing-masing dimensi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dimensi dan indikator yang ada, yaitu antara lain:

  • Perlu melakukan expert review dari berbagai stakeholder terkait, melalui persepsi dari variabel terkait ini maka kekuatan dimensi dan indikator menjadi semakin kuat.
  • Untuk memperkuat legitimasi indikator maka harus memenuhi tujuan yang ada seperti SDGs, deklarasi HAM, atau misalnya RPJMN Pemerintah.
  • Asumsi implisit dan eksplisit tentang apa yang orang hargai dan harusnya hargai. Hal ini bisa dibawa dari konvensi, teori psikologi atau bahkan filosofi.
  • Data yang dipakai harus memberikan karakteristik indikator yang diberikan seperti data Susenas dapat memberika indikator dari berbagai macam dimensi seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, standar kualitas hidup, konsumsi, pendapatan, pekerjaan dan lain-lain.
  • Bukti empiris yang dapat menunjukan preferensi dan perilaku manusia atau studi yang memperlihatkan nilai dari masalah mental manusia.

Memilih Indikator.
Indikator akan dipilih dari setiap dimensi dengan prinsip “accuracy” (untuk membuat data lebih akurat bisa menggunakan berbagai macam indikator yang dibutuhkan sehingga mempunyai berbagai macam analisis untuk membuat pembuatan kebijakan menjadi lebih baik) dan “parsimony” (menggunakan sesedikit mungkin indikator untuk mempermudah analisis kebijakan dan transparansi). Untuk menetapkan indikator yang baik maka kaidah statistik harus perlu diperhatikan, yaitu bila bisa penetapan indikator adalah tidak berkorelasi tinggi antar indikator. Indikator yang kami pilih telah melalui beberapa tahapan konsinyering yang dilakukan antara lain dengan sejumlah expert yang mengerti mengenai masalah kemiskinan di Indonesia seperti Prof. Erani Yustika, Ph.D., Hasbullah Tharbany, Ph.D., Sumedi Andono, Ph.D. , serta Bu Sri Hartati dan Pak Rizal dari BPS.

Membuat Bobot Dimensi dan Indikator.
Sesuai dengan metode Alkire-Foster, setiap dimensi dan indikator akan diberikan bobot tertentu. Metode pembobotan dipakai rata -rata setiap dimensi dan indikator. Untuk bobot dimensi dan indikator MPI Indonesia tersaji di bawah ini:
Tabel 10 Bobot Dimensi dan Indikator MPI
Dimensi
(Bobot)
Indikator
(Bobot)
Kesehatan (1/3)
Sanitasi (1/12)
Air Bersih (1/12)
Akses pada layanan kesehatan maternal (persalinan) (1/12)
Asupan Gizi Seimbang pada Balita (1/12)
Pendidikan(1/3)
Akses kepada layanan pendidikan dasar dan menengah (1/9)
Melek Huruf (1/9)
Akses kepada layanan pendidikan pra sekolah (1/9)
Standar Kualitas Hidup(1/3)
Sumber Penerangan (1/12)
Bahan Bakar/Energi untuk Memasak(1/12)
Kondisi Atap, Lantai dan Dinding Rumah (1/12)
Kepemilikan Aset(1/12)
 
Membuat Garis Kemiskinan.
Perlu ditetapkan poverty cut-off untuk masing-masing dimensi. Langkah pertama adalah menciptakan cut-off untuk metodologi di mana seseorang dapat dikatakan deprive atau non-deprivedari setiap dimensi. Misalnya: seseorang dikatakan miskin berdasarkan indikator pendidikan bilamana orang tersebut putus sekolah atau tidak pernah sekolah meski berada pada rentang usia sekolah. Di luar itu, seseorang tidak dapat dikatakan miskin.

Aplikasi Garis Kemiskinan.
Langkah ini mengganti pencapaian seseorang dengan status yang dialami dengan setiap cut-off  atau batas garis kemiskinan multidimensi yang ada. Sebagai contoh, batas garis kemiskinan MPI adalah 0.333. Bila seseorang mengalami indikator kemiskinan dengan nilai total lebih dari 0,333 maka ia tergolong miskin multidimensi, sementara bila di bawah 0.333 maka orang tersebut tidak dapat dikatakan miskin multidimensi. Jadi, apabila seseorang tidak sekolah (mengalami kemiskinan dari dimensi pendidikan) tetapi masih berada di bawah garis kemiskinan multidimensi, maka ia tidak dikategorikan sebagai orang yang miskin.

Hitung Jumlah Deprivasi dari Tiap Orang.
Setelah mendapatkan batasan garis kemiskinan, maka selanjutnya adalah menghitung jumlah kemiskinan. Metode Alkire Foster membuat persyaratan bahwa orang yang melewati batas 0.333 dianggap terkena kemiskinan multidimensi, tetapi cutoff ini bisa disesuaikan tergantung kebutuhan masing-masig daerah.

Menetapkan Cut-off Kedua.
Asumsi penetapan ini adalah menetapkan bobot yang sesuai, hal ini akan memberikan angka dari tiap dimensi di indikator ia mengalami kemiskinan. Seseorang yang dikatakan mengalami kemiskinan multidimensi jika ia terkena dalam bebeberapa dimensi yang bersangkutan, sesuai dengan nilai bobot masing-masing indikator.

Mengaplikasikan cut-off untuk mencapai set data orang miskin dan orang non-miskin yang sudah tersensor.
Fokus yang dilakukan adalah memberikan profil dari orang miskin tersebut serta dimensi yang diberikan saat mereka deprived. Semua informasi yang menyatakan bahwa ia tidak miskin akan dibuat nol semua. Penghitungan ini dapat dilihat dengan metodologi di bawah ini yaitu :
Tabel 11 Contoh Hasil penghitungan MPI individu dalam Rumah Tangga Sampel
Dimensi dan Indikator
Individu dalam Rumah Tangga Sampel
Bobot
1
2
3
4
Ukuran dalam rumah tangga sampel
4
7
5
4

Dimensi Kesehatan:
Sanitasi
0
1
0
1
1/12 = 0.083
Air Bersih
0
1
0
0
1/12 = 0.083
Akses pada layanan kesehatan maternal (persalinan)
1
1
0
0
1/12 = 0.083
Asupan Gizi Seimbang pada Balita
1
1
1
1
1/12 = 0.083
Dimensi Pendidikan:
Akses kepada layanan pendidikan dasar dan menengah
0
0
1
1
1/9 = 0.111
Melek Huruf
0
1
1
1
1/9 = 0.111
Akses kepada layanan pendidikan pra sekolah
0
1
0
1
1/9 = 0.111
Dimensi Standar Kualitas Hidup:
Sumber Penerangan
0
0
0
0
1/12 = 0.083
Bahan Bakar/Energi untuk Memasak
0
1
0
1
1/12 = 0.083
Kondisi Atap, Lantai dan Dinding Rumah
0
1
0
1
1/12 = 0.083
Kepemilikan Aset
0
1
0
1
1/12 = 0.083
Skor
0.166
0.803
0.305
0.748

Apakah masuk kategori miskin MPI (c1≥1/3=0.333)
No
Ya
No
Ya

Sensor skor (c1)
0
0.803
0
0.748

MPI dihitung menggunakan bobot tertimbang dari dimensi dan indikator. Bobot dari dimensi ditimbang sama yaitu 1/3 masing-masing dimensi. Bobot masing-masing indikator dalam dimensi juga ditimbang dengan nilai yang sama. Hasilnya, akan didapatkan bobot indikator sebagai berikut: bobot indikator kesehatan yang terdiri dari dua indikator dinilai sebesar 1/6, bobot pendidikan yang terdiri dari dua indikator dinilai 1/6 dan bobot kualitas hidup yang terdiri dari enam indikator dinilai 1/18.
Setiap orang yang dinilai dalam MPI dilihat berdasarkan indikator yang dinilai. Penilaiannya terdiri dari rentang 0-1. Ketika seseorang memenuhi penilaian kemiskinan menurut indikator MPI maka dia dikenaikan poin 1. Penilaian akan terus dilakukan pada setiap indikator. Setelah mendapatkan penilaian terhadap sepuluh indikator, maka indeks kemiskinan akan dihitung berdasarkan rumus berikut:
C1 = W1I1 + C2I2 + .... WnIn 
Dimana Ii =1 jika seseorang kena dalam indikator i dan Ii = 0 jika bukan. Wi adalah bobot dari indikator i dengan
Semua indikator dan dimensi kemudian dijumlahkan, lalu dicari rata-rata nilai. Seseorang dikatakan miskin ketika total rata-rata penilaian kecil dari 1/3
Pada tabel di atas terlihat bahwa individu 2 dan 4 terkena kemiskinan multidimensi, sementara individu 1 dan 4 tidak terkena kemiskinan multidimensi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kemiskinan multidimensi. Bila nilai yang dicapai berada di bawah batas 0,333 maka individu bersangkutan tidak mengalami kemiskinan multidimensi sementara bila nilainay lebih dari 0,333 maka individu tersebut mengalami kemiskinan multidimensi
Skor setiap orang dalam rumah tangga, contoh Rumah Tangga 1 adalah: (2 x 0.083) = 0.166
Angka kemiskinan multidimensi (H) = (7+4) : (4+7+5+4) = 0.550
Intensitas kemiskinan multidimensi (A) = (0 x 4) + (0.803 x 7) + (0 x 5) + (0.748 x 4) : (7+4) = 0.783
MPI = H x A = 0.550 x 0.783 = 0.4037
Menghitung Kemiskinan Headcount
Kemiskinan Headcount akan memberikan gambaran siapa yang mengalami kemiskinan multidimensi. Setidaknya dalam hal ini, tiap individu akan diketahui kemiskinan apa saja yang mereka alami.
q adalah jumlah individu yang dikategorikan miskin secara multidimensional sedangkan n adalah total populasi.
Menghitung Kemiskinan Household
Sesuai dengan Metode Alkire Foster, kemiskinan individu harus diaplikasikan kepada household dengan memetakan setiap individu dalam suatu keluarga yang mengalami kemiskinan multidimensi.
Memecah Grup dan Breakdown dari Dimensi
Grup yang dibuat bisa berdasarkan dengan jenis kelamin, daerah desa ataupun kota dan lain-lain. Tingkat kemiskinan bisa meningkat jika seseorang mengalami kemiskinan dengan adanya tambahan dimensi yang ada, jadi individu ini sensitif dari multiplikasi kemiskinan. Kemiskinan ini akan menyesuaikan dengan group yang dikalkulasikan dan dapat pula menjadi perbandingan internasional antar negara yang berbeda pula.
Pemecahan Grup ini bertujuan untuk mempemudah pemerintah daerah untuk menentukan berapa (penduduk atau RT yang miskin), dimana (daerah yang miskin), kenapa (penyebab kemiskinan), dan bagaimana (penanggulangan kemiskinan)
Sumber : http://www.mpi-indonesia.org/

Rabu, 10 Februari 2016

Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia


Pengertian Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WorldCommission on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our CommonFuture” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.

Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat

Indikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas, yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
  • pro lingkungan hidup;
  • pro rakyat miskin;
  • pro kesetaraan jender;
  • pro penciptaan lapangan kerja;
  • pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
  • harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing tolok ukur.

Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment)

Dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
  • Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
  • Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
  • Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
  • Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).

Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor)

Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.

Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women)

Tolok ukur ini dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure(GEM) untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.

Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja (pro-livelihood opportunities)

Tolok ukur ini dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini

Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI

Tolok ukur ini merupakan suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.

Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKNyang digaungkan di daerah bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
  1. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
  2. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
  3. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
  1. Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
  2. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yangbanyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
  3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
  4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi 

Sumber : penataanruang.pu.go.id/

Senin, 08 Februari 2016

Koordinasi dengan Bappeda Kabupaten (Kampar, Kep. Meranti)

Koordnasi dengan Bappeda Kab. Kepulauan Meranti

Koordinasi dengan Bappeda Kab. Kampar
Koordainasi dengan Camat Rangsang Barat Kab. Kepulauan Meranti
Koordinasi dengan Camat Rangsang Kab. Kep. Meranti

Koordinasi dengan BPM Bangdes dan Bappeda Provinsi Riau

Koordinasi dengan Kepala BPM Bangdes Provinsi Riau (Bpk. Sudarman)
Koordinasi dengan Bappeda Provinsi Riau (Bpk, Andi Asmara)

Koordinasi dengan Bidang UEM BPM Bangdes Provinsi Riau (Bpk Indra Mughni)


Sabtu, 06 Februari 2016

Pendidikan Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan (EFSD)

Strategi yang digunakan adalah pendekatan Sustainable Livelihood (SL) adalah program yang tengah dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan di tingat global. Awalnya SLA dipopulerkan oleh Robert Chambers dan Gordon Conway dari IDS-UK kini menjadi program pembangunan yang berkelanjutan. Adapun yang dimaksud dengan SLA itu sendiri adalah kegiatan yang dibutuhkan oleh setiap orang/masyarakat untuk menjalankan kehidupannya dengan menggunakan kapasitas/kemampuan serta kepemilikan sumberdaya untuk mencapai tingkat kehidupan yang diharapkan. Namun alat SLA masih perlu dimodifikasi dan diadaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap prioritas dan situasi lokal.

Dalam kerangka SLA ada beberapa hal penting yang saling mempengaruhi, yaitu kondisi rentanasetkebijakan,strategi dan capaian.

Aset

Aset adalah sesuatu yang dimiliki (berkuasa mengkontrol) atau dapat diakses untuk menjalankan penghidupan. Aset merupakan modal untuk melaksanakan kegiatan sehingga tujuan penghidupan bisa dicapai. DFID mengkelompokkan aset ke dalam lima kelompok yang disebut Pentagon Aset yaitu

  • Human Capital (Sumberdaya Manusia)
  • Natural Capital (Suberdaya Alam)
  • Financial Capital (Sumberdaya Keuangan)
  • Social Capital (Sumberdaya Sosial)
  • Physical Capital (Sumberdaya Infrastruktur)
Capaian

Capaian akhir dari livelihood adalah kesejahteraan saat ini dan bagi generasi mendatang. Namun prioritas jangka pendek perlu ditargetkan, karena capaian sifatnya beragam maka ketepatan mengidentifikasi sesuai harapan dapat membuat proses pembangunan lebih cepat dan tepat. Untuk mengukur capaian/tujuan dari kegiatan yang diinginkan bisa dilakukan dengan mendiskusikan indikator-indikatornya dengan masyarakat kelompok sasaran serta mengajak mereka memantau proses-proses yang berjalan dan mengamati perubahan-perubahan yang tidak terduga misalnya: perubahan dalam hubungan sosial, akumulasi atau hilangnya aset-aset oleh kelompok tertentu, dsb.

Faktor yang mempengaruhi

Faktor yang bisa mempengaruhi capaian livelihood program antara lain:

  • Faktor internal, misalnya: motivasi, kekuatan aset yang dimiliki,
  • Faktor eksternal: 
  1. Kerentanan yaitu perubahan yang terjadi baik secara cepat, lambat maupun musiman yang mengakibatkan rentannya masyarakat. 
  2. Struktur dan Proses yaitu perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan, norma-norma yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat, LSM, maupun pengusaha.

  • Faktor Kerentanan
Faktor kerentanan terdiri dari:
  1. Faktor perubahan lambat (Trends) misalnya: Pertambahan Jumlah Penduduk, Perubahan Teknologi,  Perubahan fungsi hutan, sumberdaya ikan, polusi air dan udara.
  2. Faktor Perubahan mendadak (Shocks) misalnya: Banjir, Wabah Penyakit, Konflik.
  3. Faktor perubahan musiman (Seasonality). Musim panen, musim kering, musim hujan.
Sumber : http//dayaannisa.or.id/