Cari Blog Ini

Kamis, 31 Maret 2016

Pendamping Desa/Kader Desa dan Pengentasan Kemiskinan

Pendamping Desa sebagai Kader Desa Provinsi Riau sebagai Penggerak Desa dalam Pengentasan Kemiskinan (Balai Latihan Masyarakat Pekanbaru, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi)
Pendamping desa sebagai kader desa dalam upaya pengentasan kemiskinan diharapkan dapat memahami akar masalah kemiskinan di desa. Jangan sampai kemiskinan di desa hanya dijadikan sebuah isyu dan dijadikan objek proyek semata, maka pendamping desa dapat mangajak masyarakat desa untuk berpikir kritis dan mereflesikan tentang akar permasalahan kemiskinan secara utuh dan memahami perangkap kemiskinan yang terjadi di desa
Sebagaimana dipahami perangkap kemiskinan dapat dilihat dari beberapa dimensi antara lain (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan dan, (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini saling berkait satu sama lain suatu jalinan interaksi timbal balik, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup masyarakat atau keluar miskin. Pendamping desa sebagai kader desa dapat memahami lima unsur diatas dan mampu menganalisisnya untuk mencari akar masalah kemiskinan di desa. 
Sebagai upaya pengentasan kemiskinan pemberdayaan masyarakat juga menjadi hal perlu dilakukan bukan hanya merubah perilaku tetapi juga merubah cara berpikir, mustahil ada perubahan kearah yang benar dan baik jika kesalahan bepikir masih terjebak dan terbenam dalam pikiran kita.
Pendamping desa atau Kader Desa sebagai penggerak perubahan desa ke arah yang lebih modern, perlu memperhatikan ciri-ciri manusia modern, tetapi tidak terjebak dalam kehidupan modern yang merugikan dan merusak tatanan sosial masyarakat desa. 
Ciri masyarakat modern antara lain : 
  1. Terbuka pada pengalaman-pengalan yang baru dan tidak mencurigai pendapat-pendapat baru atau pikiran-pikiran baru. 
  2. Kemandirian (independence), orang modern berusaha mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan pada pemilik otoritas. 
  3. Percaya pada sains
  4. Ambisius dan berkeinginan untuk naik status yang diatasnya. 
  5. Mempunyai rencana jangka panjang, hidupnya direncanakan dengan benar. 
  6. Aktif berpolitik, berusaha ingin menentukan jalan pemerintahan

Desa modern memang perlu tetapi tanpa meninggalkan tradisionalisme mereka sebagai salah satu pondasi dalam hidup berdesa yang baik. Di era saat ini yang semakin kompetitif maka pendamping desa sekaligus kader Desa harus mengetahui apa yang sedang dihadapi, apa yang akan dilakukan, bagaimana strategi implentesinya. 
Pendamping desa atau Kader Desa harus bisa mengikuti perkembangan tetapi tidak boleh terbawa arus terhadap perkembangan itu sendiri. Kader Desa harus kritis, kreatif dan inovatif dalam menghadapi realitas social. Sehingga pendamping desa atau kader desa bukan hanya hanya menjadi kepanjangan tangan non formal pemerintahan desa tetapi adalah penggerak yang berjiwa progresif-revolusioner mendorong perubahan desa yang lebih maju dan sejahtera.
Sumber : diolah dari berbagai sumber

Pendamping Desa sebagai Kader Desa

Pendamping Nagari, Desa dan Kelurahan Provinsi Sumatera Barat yang berwatak Kader Desa untuk mewujudkan nagari, desa dan kelurahan yang lebih berdaya, maju dan mandiri (Peserta Pelatihan Pendamping Desa Balai Latihan Masyarakat Pekanbaru, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi)

Pendamping Desa yang berwatak Kader adalah : 
  1. Seseorang yang dijadikan motor penggerak untuk menyampaikan gagasan/ideology kepada masyarakat sehingga masyarat tersebut mempunyai pemikiran yang berkarakter. Pembentukan karakter masyarakat Desa ini sangat penting, hal ini untuk mencegah agar masyarakat Desa tidak gampang terpengaruh oleh gagasan/ideology dari luar yang tidak sesuai dengan tradisi, budaya yang ada di Desanya.
  2. Sebagai “agent of change” untuk melakukan perubahan yang dianggap tidak sesuai dengan tradisi “BerDesa” dan memotori gerakan baru untuk memperkuat tradisi yang sudah ada. Maka Kader Desa harus mutlak ada di setiap Desa. Kader harus muncul dari unsur masyarakat yang tidak terlibat dalam pemerintahan Desa dan lembaga Desa. Kader Desa terlebih dahulu harus melalui proses seleksi alam, bukan tiba-tiba ditetapkan dalam proses musyawarah Desa. Kader Desa adalah orang bergelut lama menjadi aktifis Desa baik secara langsung maupun tidak langsung. Backrground kader Desa harus jelas tidak hanya dilihat dari latar pendidikan tetapi juga aktifitas berorganisasinya. Karena yang dinamakan aktivis adalah seseorang yang mampu berkomunikasi kepada siapapun tanpa membeda-membedakan latar belakangnya.
  3. Seseorang yang mempunyai jiwa insklusif., bersedia menerima gagasan atau ide dari orang lain. Gagasan atau ide orang lain dijadikan sarana pengayaaan ide bagi dirinya dan yang lebih penting mampu mengimplentasi konsep yang telah dibuat. Ide dari masyarakat merupakan gagasan yang natural dan bagian mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi masyarakat Desa.
  4. Bukanlah seorang “guru” tetapi kader desa adalah fasilitator, motivator dan mediator masyarakat. Sebagai fasilitator kader Desa mampu antara lain : belajar bersama masyarakat, memecahkan persoalan bersama masyarakat, merencanakan kegiatan pembangunan bersama masyarakat dan mengidentikasi kebutuhan bersama masyarakat. Sebagai motivator kader Desa memberikan penguatan dan menyakinkan kepada masyarakat bahwa sebenarnya mereka mampu dengan potensi yang ada baik potensi alam dan potensi sumberdaya manusianya. Sebagai mediator seorang kader mampu memediasi apabila ada gagasan atau permasalahan antara mesyarakat dengan masyarakat, antara pemerintahan desa dan lembaga desa dan kelompok masyarakat desa dengan steakholders lainnya.
  5. Orang yang bekerja tidak berpatokan juklak dan juknis semata, tapi bekerja secara ideologis. Karena mereka membawa misi untuk menyadarkan posisi masyakat Desa yang sebenarnya. Apapun yang terjadi pada masyarakat Desa saat ini tidak terlepas dari “perang ideology”. Ketika kita sepakat dengan system “Demokrasi secara politik” maka kita harus siap menerima “Demokrasi secara ekonomi”. Dalah hal berdemokrasi secara politik, masyarakat Desa sebenarnya sudah lebih dulu memulainya yaitu dengan pemilihan Kepala Desa secara langsung tetapi berbicara “Berdemokrasi secara ekonomi” masyarakat desa masih belum faham dan sadar bahwa mereka hidup di zaman yang penuh persaingan atau orang sering menyebut “era kapitalisme”.
  6. Bukanlah orang yang memberikan masukan kepada masyarakat untuk menentang kapitalisme, tetapi kader desa memberikan masukan kepada masyarakat bagaimana mempunyai nilai daya tawar terhadap pasar. Karena sekarang masyarakat Desa tidak bisa mengelak lagi dengan sistem pasar. Inilah yang harus disadari oleh masyakat Desa. Dengan system pasar ini maka secara langsung akan mempengaruhi kehidupan mereka. Hasil produksi masyarakat akan dihargai sesuai dengan harga pasar. 
  7. Orang yang mempunyai jiwa pembebasan, tidak boleh terkungkung oleh satu pemahaman. Tetapi harus memahami bahwa dengan mempunyai jiwa pembebasan kader Desa mampu memahami situasi dan menghapus ketidakadilan dalam rangka untuk membangun masyarakat Desa yang lebih bebas dan lebih manusiawi.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Minggu, 20 Maret 2016

PENDEKATAN GOOD VILLAGE GOVERNANCE UNTUK MENDUKUNG TERUJUDNYA DESA MANDIRI


Pendahuluan
Desa merupakan unit pemerintahan terkecil dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Desa selama ini identik dengan pemerintahan (sederhana) yang dipenuhi nuansa tradisionalitas, dengan lingkungan yang masih alami dan budaya lokal yang bersifat khas kedaerahan[1]. Tafsir makna tentang “desa” bisa beragam. Dalam pemaknaan sosiologis, “desa” bisa bermakna komunitas masyarakat “gemeinschaaft”, hidup dalam pranata sosial dan iklim kekerabatan, sederhana, solidaritas mekanik. Secara politik, “desa” adalah “unit pemerintahan terkecil” yang “memiliki kewenangan tertentu”. Desa sering dirumuskan sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri”[2].
Pasca munculnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, seluruh sistem pemerintahan desa berubah secara dramatis. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur keuangan secara mandiri. Jika kemampuan aparatur desa tidak ditingkatkan, maka taruhannya akan banyak praktik korupsi yang melibatkan aparatur desa. Diperlukan pendekatan yang dapat menjangkau keseluruhan peranserta dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas desa. Perkembangan tata pemerintahan desa yang demikian dramatis dan mengalami lompatan yang cukup signifikan. Setidaknya sejumlah UU yang mengatur tentang pemerintahan desa sebelumnya tidak berani mengatur (memberikan) kewenangan pada pemerintahan desa sedemikian luas. UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]”. Dalam menjalankan pemerintahan, Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris desa dan perangkat desa yang lain serta Lembaga Permusyawaratan desa. Berbeda dengan BPD di era sekarang, LMD dibawah kendali pemerintahan desa dan sama sekali tidak mencerminkan rakyat beserta fungsi legislasi yang melekat padanya, sebab Kepala desa dan Sekretaris desa secara otomatis (karena jabatannya) menjadi Ketua dan Sekretaris LMD, sehingga fungsi legislasi dan kontrol pemerintahan desa benar-benar tidak berjalan[4]. Memasuki era Reformasi, Pemerintah Pusat melakukan pembenahan terhadap status Desa. Perubahan ini terlihat pada PP No. 76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Desa yang menyebutkan bahwa Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Desa diberikan hak asal usul yang dimaknai sebagai hak bawaan yang telah ada sebelum lahirnya NKRI yang mengatur struktur, wilayah, sosial, dan adat masyarakat setempat.  Tak hanya itu, berdasarkan Pasal 19[5] disebutkan bahwa BPD memiliki peran yang cukup penting dalam proses pemerintahan desa, yang amat berbeda dengan LMD di masa sebelumnya. Sekalipun PP 76/2001 relatif lebih maju dari sisi perwakilan dan kuatnya kontrol yang dilakukan BPD, namun  PP ini juga masih belum memberikan kewenangan yang cukup luas. Hal yang mungkin masih menjadi pertimbangan adalah minimnya kapasitas dan kapabilitas pemerintahan desa.
Kewenangan yang serba terbatas tersebut terlihat dari kecenderungan selama ini yang masih menempatkan pemerintahan Desa sebagai objek atau sasaran pembangunan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka unit pelaksana program dan pembangunan daerah adalah Pemerintah Kabupaten/ Kota. Desa hanya merupakan unit pendukung Pemerintahan Daerah guna menyukseskan otonomi daerah. Hal ini juga terlihat dari ketentuan PP No. 72/2005 tentang Desa yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan desa merupakan satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan kabupaten/ kota. Perubahan yang signifikan terjadi pada 18 Desember 2013 dengan ditetapkannya RUU Desa oleh DPR RI menjadi Undang-Undang. UU tersebut secara resmi diterbitkan pemerintah menjadi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 4 ayat (b) menjelaskan bahwa “Pengaturan Desa bertujuan untuk memberikan kejelasan status dan kepastian Hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Kemudian pada Pasal 4 ayat (i) dijelaskan pula bahwa UU Desa bertujuan “memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.”
Hal lain yang berubah secara dramatis adalah digantinya sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan. Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa. Karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung, dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa. Sebaliknya, kepala desa justru bertanggungjawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar memberi keterangan pertanggungjawaban. Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia. Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD, serta struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam. Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD. Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki. Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumberdaya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah. Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas. Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, tekanan UU Desa yang baru adalah terkait dengan BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya. Konsepsi demokrasi representatif dan deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di mana  pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, access dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa, juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi. Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desamandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa. Di situasi inilah persoalan akan muncul sebagai dampak dari implementasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Karena itu diperlukan upaya penyuksesan implementasi UU tersebut pada aspek implementasi desa mandiri dan partisipatif, dengan memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat, yang juga merupakan amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dan kecakapan pemerintahan desa. Karenanya, mereka harus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya secara partisipatif untuk tujuan pemberdayaan masyarakat ini, dengan melibatkan keikutsertaan elemen-elemen kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, agar dalam menjalankan peran, kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat berjalan dengan maksimal. Akan tetapi karena desa-desa  di Jawa Timur rata-rata belum siap melaksanakan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa itu dengan maksimal[6], karena minimnya kapasitas dan kapabilitas aparaturnya, maka demi menyukseskan program pembangunan desa atau “desa membangun” menuju desa mandiri yang demokratis dan partisipatif sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Untuk ini, diperlukan sebuah rangkaian pengembangan kapasitas aparatur dan stakeholders pemerintahan desa melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang mampu meningkatkan kapasitas pemerintah desa dalam menyusun dan melaksanakan program pembangunan desa yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat desa.
Kata kunci desa mandiri dan partisipatif dalam teks Undang Undang tersebut meniscayakan kebutuhan akan pemberdayaan masyarakat desa, sedangkan pada saat yang sama, masyarakat desa yang tengah berubah secara kultural dan sosial mengarah pada perilaku yang lebih pragmatis walaupun modal sosial dan kultural belum sepenuhnya hilang. Pragmatisme, yang juga mengimbas pada pemilihan kepala desa (pilkades), dengan sendirinya juga turut mewarnai corak penyelenggaraan pemerintahan desa. Penyelenggara pemerintahan desa sangat dimungkinkan akan menemui kendala dalam menggerakkan partisipasi masyarakat. Mobilisasi akan menjadi pilihan rasional ketika masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Bagaimana strategi pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat berbasis partisipasi sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
Dalam konteks ini, maka fokus pelatihan dan pendampingan pemerintahan desa pasca sosialisasi dan pemahaman Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (2014) adalah penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa dalam hal pemberdayaan masyarakat partisipatif (paradigma “desa membangun”) dalam koridor good village governance. Untuk tujuan ini, tulisan ini mengajukan dua konsep implementatif  “desa membangun” dalam koridor good village governance, yang  memuat elemenpemberdayaan masyarakat dan strategi partisipasi masyarakat dalamcollective action “desa membangun”. Keduanya terangkum dalam konsep pemberdayaan masyarakat partisipatif.
Kerangka Konseptual Pemberdayaan Masyarakat Partisipatif
Pemberdayaan, pengindonesiaan dari kata“empowerment”, digunakan sebagai konsep alternatif untuk meningkatkan kemampuan dan martabat masyarakat agar terlepas dari jerat kemiskinan dan keterbelakangan. Atau, dengan kata lain, menjadikannya “ber-power” atau dalam istilah Kartasasmita, memandirikan dan memampukan masyarakat[7].

Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat, pada mulanya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan kecenderungan bahwa pemberdayaan menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power)kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Implikasi dari konsepsi ini adalah pertama, penciptaan ruang bagi bekerjanya peran-peran lokal, kedua, peran aktor-aktor lokal dalam menafsir ”nasib sendiri” dan “nasib bersama”, ketiga, “kewenangan komunitas” yakni kepada warga desa atau “desa selaku komunitas/ entitas politik yang satu”.
Dengan mengikuti pemikiran ini, maka kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan yang “embedded” (menyatu) dengan kegiatan pembangunan (desa) dan merujuk pada satu tujuan atau misi bersama yakni kemampuan dan kemandirian. Pemberdayaan (kemampuan dan kemandirian) merupakan kunci dan prasyarat dari aktivitas desa membangun. Konsep “pemberdayaan” ini, mengikuti pemikiran Chambers yang dikutip Kartasasmita, merangkum nilai-nilai sosial dan mengikuti paradigma pembangunan yang bersifat “people centered” (berpusat pada masyarakat),participatory (partisipatif) dan sustainable (berkelanjutan). Konsep ini sejalan dengan pemikiran Friedman[8] tentang alternative development yang menghendaki inclusive democracy (demokrasi inklusif), appropriate economic growth (pertumbuhan ekonomi), gender equality (kesetaraan jender) danintergenerational equity (kesetaraan antargenerasi). Dalam konsepsi ini Kartasasmita mengajukan beberapa pendekatan dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yaitu, pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong,memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih konkret, selain menciptakan “atmosfer” bagi bekerjanya pemberdayaan, juga menyangkut penyediaan berbagai masukan(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Ketiga, makna melindungi, yakni melindungi masyarakat yang lemah (kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat).
Ketiga kunci pemikiran ini mengandung makna bahwa pemberdayaan bagi “desa membangun” dalam rangka pembangunan berbasis masyarakat(people centered development), memerlukan kebersamaan dan tafsir bersama akan nasib bersama warga desa (common sense), yang memperhatikan kebersamaan dalam keragaman (pluralitas) dan kekhasan lokal, kearifan lokal, untuk bersama-sama menggalang kekuatan dan meningkatkan kemandirian. Inilahpemberdayaan partisipatif. Karenanya, makna “desa membangun” secara bersama-sama ini sekaligus memupuk “solidaritas baru” di kalangan “grass-root”. Di sinilah diperlukan juga modal sosial. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa pemberdayaan partisipatif tidak hanya meliputi penguatan individu tetapi juga pranatanya serta penguatan institusi-institusi sosial.  Dan, masyarakat bukanlah objek, tetapi subjek. Karenanya, Kartasasmita juga mengajuan beberapa pendekatan dalam pemberdayaan ini yaitu, pertama, pemberdayaan itu harus terarah (targetted), yakni langsung kepada yang memerlukan. Kedua, langsung mengikutsertakan dan dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok.

Pemberdayaan senantiasa berkaitan dengan penggalian dan pengembangan potensi masyarakat, yang menurut Kartasasmita bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta untuk mengembangkannya. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa pemberdayaan harus terarah (targeted), ditujukan langsung kepada yang memerlukan (berbasis kebutuhan), langsung mengikutsertakan dan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran program (partisipatif), menggunakan pendekatan kelompok karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Di sisi lain Kartasasmita mengatakan upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari 3 sisi yaitu :
  • Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
  • Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses ke berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat menjadi makin berdaya. ketiga,
  • Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan idealnya harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
 Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) dari pemerintah. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Pemberdayaan dimaksudkan juga untuk menciptakan keberdayaan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat(people-centered development). Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Pemikiran Kartasasmita di atas jelas sekali menegaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses individual dan sosial, yakni suatu penguatan kemampuan individual, peningkatan kompetensi, penumbuh- kembangan kreativitas. Ketiganya memerlukan kebersamaan yang memperkenankan warga desa untuk mengembangkan perasaan bersama yang menjadi tanggung jawab mereka secara mandiri atas dasar kebutuhan. Pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat guna menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi, yang intinya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat.  Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal.
Program yang mengikutsertakan masyarakat, memiliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan seperti ini, terdapat dua pihak yang memiliki hubungan yang sangat erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (community worker) dan kedua, pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan hanya dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana). Pemberdayaan merupakan suatu bentuk upaya memberikan kekuatan, kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan berbagai bentuk inovasi kreatif sesuai dengan kondisi, yang secara potensial dimiliki. Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita[9] adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Strategi Pemberdayaan Desa Berbasis Partisipasi
Berdasarkan penelusuran catatan selama kegiatan fasilitasi bimbingan teknis (bimtek) keuangan dan sosialisasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa kepada kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2014 dan fasilitasi peningkatan kapasitas SDM kepala desa se-Jawa Timur (2015)[10], permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan desa adalahkekurangsiapan para aparatur desa dalam berperan aktif sebagai subjek pembangunan desa sesuai dengan mandat UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa. Hal itu terungkap dari pernyataan para peserta yang rata-rata menyampaikan keterbatasan sumberdaya dan fasilitas. Bahkan, salah seorang peserta, menyatakan bahwa “anggaran yang diperoleh pemerintah desa dari pemerintah pusat untuk implementasi UU Desa ini cukup besar, sementara para aparatur desa belum mendapatkan pelatihan yang cukup untuk pengelolaan dana tersebut”. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah mengenai Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini baru sampai di tingkat Kepala Desa. Sementara aparatur desa dan lembaga-lembaga desa lainnya, serta para tokoh masyarakat, belum sepenuhnya mengerti tentang isi dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini, yang secara substantif telah mengalihkan kewenangan pembangunan desa kepada Pemerintah Desa beserta lembaga-lembaga desa lainnya, sehingga realisasi UU tersebut pada tahun 2015 memerlukan persiapan ekstra keras dari berbagai pihak di desa. Selama ini program pembangunan desa tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik. Hal ini menunjukkan kelemahan dari perencanaan program tersebut yang berakibat jangka panjang.
Aspek lain yang menjadi permasalahan di beberapa desa di Jawa Timur adalah peranserta subjek berikutnya yakni masyarakat dalam program pembangunan desa. Selama ini Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Pamong) melaksanakan program-program desa yang bercorak top-down, atau setidaknya “semi-top down”, sementara input berupa peran aktif masyarakat dalam menyampaikan kebutuhan riil tidak berjalan maksimal. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) tidak sepenuhnya mampu beriringan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa serta memberikan masukan-masukan positif bagi program-program desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian aspek persoalan yang dihadapi oleh desa-desa di Jawa Timur adalah aspek pemerintahan desa dan aspekpemberdayaan masyarakat. Aspek pemerintahan desa mencakup kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan mandat undang-undang sebagai subyek pembangunan di tingkat desa. Sementara aspek pemberdayaan masyarakat merujuk pada peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai jembatan aspirasi masyarakat dalam mendukung program-program pembangunan desa oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Pamong). Karenanya, upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa harus pula menjangkau sisi pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaanserta kemampuan pemetaan dan analisis sosial bagi stakeholders. Implementasi pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi masyarakat beserta elemen-elemen penting (stakeholders) dalam koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik), yang secara operasional harus menjangkau  sisi-sisi peningkatan kapasitas kelembagaan yang dikemas dan motivasi untuk membangun diri bersama(togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam paradigma “desa membangun”.
Aksi kolektif dalam iklim kebersamaan yang melibatkan warga selaku entitas politik (baca: desa) ini diharapkan menumbuhkan “solidaritas baru” yang sambil lalu memperkuat modal sosial pada masyarakat desa, melalui aktivitas “belajar sosial”. Tahap proses belajar sosial ini menurut Habermas, dapat disusun menurut logika perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar masyarakat. Habermas berpendapat bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung kepada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya, yakni melalui interaksi sosial dengan medium struktur-struktur simbolis yang berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) mereka sendiri[11]. Kerangka inilah yang seyogyanya mendasari dan membingkai aktivitas good village governance(tata kepemerintahan desa yang baik) dan pemberdayaan partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholders desa.  Dan, menggairahkan partisipasi dilakukan dengan pendekatan kebutuhan bersama. Menyadarkan masyarakat dan stakeholders desa bahwa “desa membangun” itu adalah “kebutuhan kita semua” (bukan kebutuhan kepala desa dan atau elit pemerintahan desa) adalah sebuah keharusan. Bangunan persepsi bersama ini dapat dilakukan dengan pendekatan “ke-kita-an” dan kebersamaan (we, us, togetherness).
 Kesimpulan
  • Implementasi UU Desa memerlukan sumberdaya desa yang memadai untuk dapat mencapai desa mandiri, partisipatif dan berdaya.
  • Diperlukan upaya memandirikan desa dengan mengoptimalkan potensi dan sumberdaya yang ada dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan desadalam melakukan pemberdayaan masyarakat desa.
  • Pemberdayaan masyarakat desa diselenggarakan dengan strategi partisipatif dalam koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik), dengan semangat membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam upaya penyelenggaraan desa membangun.
  • Ketiga upaya tersebut teringkas dalam satu rumusan yakni partisipasi masyarakat, yang mana partisipasi masyarakat akan dapat bertumbuh ketika masyarakat merasa membutuhkan dan mempersepsi bahwa aktivitas desa membangun adalah kebutuhan mereka, bukan kebutuhan kepala desa dan atau perangkat desa
Rekomendasi
  • Inventarisasi potensi dan sumberdaya desa, serta mendokumentasikannya secara baik. Diperlukan perangkat pemetaan dan analisa sosial serta pendokumentasian yang dipahami secara adaptif olehstakeholders desa dan dapat didayagunakan secara efektif-efisien oleh penyelenggara pemerintahan desa (kepala desa, perangkat dan BPD).
  • Membuat peta desa yang memuat data dan informasi geospasial desa, meliputi potensi wilayah, demografi, yang tersaji dengan baik dan mudah diakses, melengkapi pemetaan sosial pada point 1.
  • Memastikan dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik tetap update dan asertif terhadap masalah terkini masyarakat desa. Ini diperlukan sebagai input kebijakan pemerintahan desa.
  • Peningkatan pemahaman dan penguasaan aparatur pemerintahan desa di bidang administrasi (penguatan basis struktural).
  • Transparansi program desa dengan media yang dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat desa. Ini juga berfungsi sebagai media komunikasi pemerintah desa dengan warga, menampung dan mengelola umpan balik dan keluhan dari masyarakat, juga berfungsi media akuntabilitas dan edukasi publik.
  • Pemeliharaan modal sosial dan modal kultural desa (penguatan basis kultural).
  • Pemeliharaan emosi kebersamaan (togetherness) antara pemerintah danstakeholders desa.
  • Pemeliharaan integritas dalam pelayanan publik pada praktik penyelenggaraan pemerintahan desa (strategi penguatan human factorsdalam rekayasa sosial, human factors social engineering).
  • Pemberdayaan masyarakat berbasis partisipasi yang dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berubah ini (perubahan sosial terus menerus terjadi), memerlukan strategi rekayasa sosial (social engineering) yang tepat.

Sabtu, 19 Maret 2016

MENGAWAL DANA DESA PADA APBN 2016


Melihat APBN 2016 ini memiliki posisi yang penting dan strategis untuk menstabilkan nilai rupiah. APBN ini disusun pada perjalanannya 1 tahun pemerintahan Jokowi & JK yaitu disusun hanya berdasarkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat serta mengevaluasi kinerja pemerintah. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak pemerintahan dalam kurung waktu 1 tahun ini agar melaksanakan program sesuai platform, visi, dan misi yang direncanakan. Tidak kalah pentingnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 ini adalah tahun kedua dialokasikannya dana desa.
Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa, yang ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten atau kota. Dana ini digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dana desa di alokasikan dari APBN berdasarkan Pasal 72 Ayat 1 Huruf b UU No. 6/2014 tentang Desa.
Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.325,6 triliun serta anggaran transfer kedaerah dan dana desa sebesar Rp 770,2 triliun yang sebelumnya tahun 2015 sebesar Rp 646,96 triliun. Di APBN tahun 2016 ini ada kenaikan sangat drastis untuk dana desa yaitu 47 triliun.
Memasuki tahun 2016, kita telah berada dalam fase pelaksanaan anggaran untuk APBN 2016 (lihat UU APBN Tahun 2016). Pelaksanaan anggaran adalah fase ketika segala sumber pendanaan APBN di implementasikan sesuai dengan arah kebijakan, termasuk kebijakan transfer kedaerah dan dana desa yang tentunya untuk pemebangunan desa, agar tingkat kemiskinan bisa diminimalisir. Pemerintah ingin memberikan sebuah “revolusi desa”, dimana kebangkitan sebuah negara tidak lain berawal dari desa. Sehingga di era pemerintahan yang di pimpin oleh Jokowi dan Jusuf Kalla ini kalau penulis boleh meminjam slogan pemerintah yakni “revolusi mental”. Kalau penulis katakan kembali bahwa asal muasal sebuah negara ini yakni dari desa sehingga muncul semangat baru bagi kita yakni “revolusi desa”.
Alokasi APBN untuk dana desa menjadi pos pendapatan bagi keuangan desa dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Alokasi dana desa diharapkan dapat membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam memperkuat upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang makin merata sehingga dapat meminimalisir tingkat pengangguran.
Mengingat APBN 2016 merupakan tahun kedua dialokasikannya dana desa yang begitu besar jumlahnya dikeluarkan pemerintah kurang lebih 47 triliun, penting bagi kita untuk bersama-sama mengawasi pelaksanaan anggaran tersebut. Menurut Salvatore Schiavo-Campo dan Daniel Tommasi dalam Managing Government Expenditure (Asian Development Bank, 1999) sasaran kunci manajemen keuangan publik  terbagi menjadi empat kategori (categories of public expenditure management objectives), yakni dimensi ekonomi, dimensi manajemen, dimensi kepentingan publik, dan dimensi politik. Pengawasan dana desa yang sudah dialokasikan dalam APBN 2016 ini dapat kita pandang dari dimensi kepentingan publik. Sasaran kunci manajemen keuangan publik dari dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pada kepentingan masyarakat.
Sisi transparansi menghendaki bahwa dana APBN dialokasikan secara jujur dan terbuka. Transparansi anggaran dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas dokumentasi anggaran yang menggambarkan tujuan alokasi dana desa dan bagaimana dana tersebut digunakan serta bagaimana mengolahnya. Sehingga bisa dirasakan oleh masyarakat desa. Sisi akuntabilitas mengandung pengertian bagaimana alokasi dana desa ini disalurkan dalam bentuk barang dan jasa untuk kepentingan umum. Akuntabilitas dana desa tidak semata-mata bagaimana dana ini tersalurkan kemasyarakat desa, tetapi lebih jauh lagi adalah bagaimana dana desa bermanfaat bagi masyarakat desa. Di sini perlu ada pengawasan dari pemerintah pusat maupun daerah agar dana desa benar-benar bisa dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sisi akuntabilitas juga menitikberatkan pada pertanggung jawaban dana desa yang pada hakikatnya berasal dari kontribusi warga Negara dalam membiayai pengeluaran Negara melalui pembayaran pajak. Sisi orientasi terhadap masyarakat terkandung maksud bahwa alokasi dana desa didesain memenuhi tujuan pemberdayaan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Dengan begitu, ia diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan di desa. Sehingga tidak perlu lagi warga desa berbondong-bondong ke kota untuk mencari uang setiap tahunnya.
Masyarakat desa jadi sasaran utama dalam manajemen alokasi dana desa ini. Karena itu, pemanfaatan dana desa hendaknya memfasilitasi adanya partisipasi dan interaksi masyarakat desa di dalamnya hingga manfaatnya sampai kepada masyarakat desa, baik langsung maupun tidak langsung.
Salah satu pilar dari tatakelola pemerintahan yang baik adalah keterlibatan para pemangku kepentingan. Dalam konteks pengelolaan dana desa ini, dalam memenuhi prinsip tatakelola pemerintahan yang baik, masyarakat desa perlu terlibat dalam pelaksanaan anggaran dana desa. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dana desa dapat dilakukan melalui musyawarah desa yang merupakan forum permusyawaratan yang diikut oleh Badan Permusyawaratan Desa, pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawaratkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Aspirasi masyarakat diserap, ditampung, dihimpun, dan ditindak lanjuti oleh Badan Permusyawaratan Desa. Badan Permusyawaratan Desa berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada pemerintah desa. Mereka juga berhak menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Hak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap alokasi dana desa yang bersumber dari APBN, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No 6/2014 tentang Desa.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi alokasi dana desa dalam APBN 2016 perlu mendapat pengawasan dan partisipasi masyarakat agar alokasi dana desa yang sudah berjalan dalam tahun kedua ini bisa lebih transparan lagi, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat desa. Hanya dengan begitu, ia membawa dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Sumber: 
DJavis Indonesia
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
UU APBN tahun 2016

Sabtu, 12 Maret 2016

BISNIS SOSIAL BUMDes

Permendesa No. 4/ 2015 menyebut Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes dapat menjalankan bisnis sosial (Pasal 19). Istilah bisnis sosial ini merupakan kata kunci untuk memahami modus operandi BUMDes yang saat ini ramai didirikan di desa-desa. Tentu saja istilah bisnis sosial harus kita pahami sebagai paradigma umum yang mengkerangkai model usaha BUMDes.
Istilah bisnis sosial pada mulanya diperkenalkan Muhammad Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh. Praktiknya, bermitra dengan beberapa perusahaan besar Yunus menggunakan investasi mereka untuk membuat perusahaan sosial. Alhasil lahirlah perusahaan air minum, susu fermentasi, ponsel dan lainnya dengan tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Dalam bisnis sosialnya, Yunus selalu mengembalikan investasi perusahaan mitra pada waktu yang disepakati. Bedanya dengan investasi konvensional, Yunus tidak memberikan deviden terhadap investasi dalam bisnis itu. Misalnya, perjanjian menyebut pokok investasi akan dikembalikan pada tahun kelima tanpa deviden sepeserpun. Dalam lima tahun, Yunus mengelola dana investasi itu dalam berbagai bisnis yang sosial.
Bisnis yang Alamiah
Model bisnis sosial Yunus di Bangladesh berkembang bukan semata karena investasi perusahaan. Investasi sekedar pemantik awal. Sistemlah yang membuat bisnis tetap berjalan, berkembang dan berkelanjutan. Meski bertujuan sosial, sistem harus bekerja sebagaimana bisnis profesional. Berbagai biaya, margin keuntungan dan lainnya dihitung dengan benar. Sehingga model bisnis sosial yang dikembangkannya mencapai—apa yang saya sebut sebagai—momen “bisnis yang alamiah” (nature of business).
Momen “bisnis yang alamiah” itu harus tercapai agar investasi dapat dikembalikan. Tentu hal itu karena sedari awal dana yang digelontorkan oleh perusahaan bukan dana sosial (CSR) melainkan dana investasi. Sebagai “bisnis yang alamiah” sistem harus bekerja agar bisnis dapat membiayai dirinya sendiri dan tak bergantung pada suntikan investasi baru.
Sebaliknya, investasi awal itu menghasilkan pemupukan modal yang digulirkan kembali menjadi bisnis sosial lainnya. Misalnya berawal dari perusahaan air minum, kemudian beranak menjadi usaha susu fermentasi. Dalam model seperti itulah BUMDes harus beroperasi. Meskipun UU No. 6/ 2014 mengamanatkan adanya Dana Desa, jangan sampai BUMDes tergantung terus-menerus kepada dana tersebut.
Bila ketergantungan terhadap Dana Desa terjadi itu menggambarkan sistem bisnis tidak bekerja dengan baik. Boleh jadi capaiannya dari luar nampak besar, tapi sesungguhnya kamuflase belaka. Ketergantungan terhadap gelontoran dana dari Pusat justru akan berbanding terbalik dengan semangat UU Desa: kemandirian lokal.
Manajemen Profesional
Momentum nature of business itu bisa tercapai salah satunya dengan pengelolaan BUMDes secara profesional. BUMDes harus dikelola orang kompeten yang minimalnya memiliki dua kecakapan dasar: kewirausahaan dan keterampilan manajemen. Bila tak ditemukan orang kompeten dalam desa tersebut, sebagaimana Pasal 14 Permendesa, maka harus ada diskresi khusus sebagai solusinya.
Adagium lama mengingatkan, “Investasi sebesar apapun akan hancur bila kelembagaanya buruk”. Salah satu aspek kelembagaan ini adalah adanya dukungan orang kompeten tadi. Bila pembentukan BUMDes sarat dengan kolusi dan nepotisme, besar kemungkinan sulit menemukan orang yang dimaksud. Solusinya, sedari awal pembentukan serta pengangkatan pengelola BUMDes harus transparan.
Kemudian pengelola yang terpilih harus bisa memberikan studi kelayakan bisnis yang menyeluruh sampai hitunganbreak event point-nya. Dari sana pengurus dapat membuat pentahapan pada tahun ke berapa suatu unit bisnis mandiri. Hal itu harus menjadi salah satu indikator keberhasilan Pengurus dan Pengelola untuk memacu kinerjanya. Ironis tentunya bila gelontoran Dana Desa sebagiannya selalu digunakan untuk menutup kerugian.
Asas Subsidiaritas
Yunus mengembangkan bisnis sosial di Bangladesh dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Yang mana layanan tersebut belum diselenggarakan anggota masyarakat lainnya. Ini menyiratkan bahwa Yunus menggunakan asas subsidiaritas dalam pengembangan bisnis sosialnya. Asas ini mengatur: apa yang tak bisa diselenggarakan masyarakat, itulah yang diselenggarakan bisnis sosial. Dan apa yang bisa diselenggarakan masyarakat, itulah yang didukung dengan bisnis sosial.
Asas itu bertujuan agar jangan sampai bisnis sosial justru mematikan bisnis-bisnis milik anggota masyarakat. Sebaliknya, keberadaan bisnis sosial harus mewujud sebagai lembaga penyangga (buffer institution) bangunan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks ini, Pengurus dan Pengelola BUMDes harus jeli membaca peluang bisnis di masyarakatnya.
Bila sebagian besar masyarakat mempunyai warung/ toko maka BUMDes tak boleh mendirikan supermarket. Yang harus ada justru pusat kulakan untuk menyuplai warung/ toko masyarakat tersebut. Bila di desa potensi produksinya tinggi, BUMDes harus fokus bagaimana memasarkan produknya. Dan bila di desa banyak kendaraan bermotor tapi tak ada bengkel, akan bagus bila BUMDes membuka bengkel dan toko suku cadangnya. Jenis-jenis usaha lain bisa dikembangkan tetap dengan memperhatikan asas subsidiaritas tersebut.
Hasil riset Dodi Yudiardi (2015) tentang BUMDes di Kab. Garut memperlihatkan bahwa dari 157 BUMDes, 39 di antaranya berupa layanan simpan pinjam, 51 berupa pasar desa, 24 di sektor perdagangan, 23 adalah jasa layanan dan 20 lainnya berupa penyediaan air bersih. Bisa kita lihat sektor yang paling banyak adalah layanan simpan-pinjam dan pasar desa. Hal itu menyiratkan BUMDes mewujud sebagai lembaga penyangga masyarakat.
Orientasi Non Profit
Yunus mendirikan beberapa perusahaan sosial di Bangladesh dengan tujuan melayani kebutuhan masyarakat. Bila tercipta akumulasi modal, maka digunakan kembali dalam investasi sosial lainnya. Tujuan dasar ini membuat perusahaannya bersifat non-profit. Sehingga bisnis sosial Yunus bekerja secara operational at cost: dihitung berdasar biaya pokok untuk menghasilkan produk/ jasa. Margin keuntungan ditetapkan bukan dalam konteks profit oriented, melainkan untuk pengembalian investasi dan pemupukan modal.
BUMDes perlu menggariskan hal tersebut agar berbagai layanan dapat diakses masyarakat dengan biaya/ harga terjangkau. Motif profit misalnya untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) perlu diperkecil karena akan menjadi beban masyarakat. Sebaliknya, dengan memberikan layanan berbiaya murah dalam produk/ jasa, masyarakat akan memperoleh berbagai macam insentif ekonomi lainnya.
Pertama, efisiensi biaya produksi. Misalnya BUMDes menjual sarana produk pertanian dengan harga termurah. Dampaknya produksi masyarakat akan meningkat. Kedua, efisiensi pengeluaran rumah tangga. Misalnya BUMDes menyelenggarakan bengkel dan cuci motor/ mobil berikut suku cadangnya. Ketiga, efisiensi dalam PPN. Misalnya BUMDes menjadi supplier bagi warung/ toko masyarakat yang membebankan PPN per unit produk dari keuntungan BUMDes. Keempat, efisiensi biaya bunga. Dalam kasus BUMDes menyelenggarakan simpan-pinjam murah untuk masyarakat.
Dengan mengadaptasi model bisnis sosial sebagai kerangka BUMDes, harapannya masyarakat desa akan sejahtera. Berbanding terbalik dengan itu, PADes yang tinggi akan percuma bila berbagai layanan masyarakat diselenggarakan dengan berbiaya mahal. Pembangunan (infrastruktur) desa harus dari sumber berbeda sehingga BUMDes tidak mengalami beban ganda (double burden). Terobosan yang perlu ada, bila mana BUMDes sudah mandiri, investasi awal desa dapat dikembalikan dan dialokasikan sebagai sumber dana pembangunan.
Belajar dari Muhammad Yunus kita memperoleh gambar besar bahwa BUMDes seyogyanya harus berkarakter dan berperilaku sebagai perusahaan sosial. Tujuan utama dan pertama adalah melayani masyarakat. Efek domino dari layanan-layanan BUMDes itulah yang akan menyejahterakan masyarakat desa

STRATEGI PENCAPAIAN TARGET DAN INDIKATOR SDGs

LATAR BELAKANG

Pada 25-27 September 2015 dunia menyepakati 17 program pembangunan berkelanjutan atau Suistanable Development Goals (SDGs). Secara garis besar, 17 tujuan SDGs dapat dikelompokkan dalam empat pilar, yakni pembangunan manusia, pembangunan ekonomi,pembangunan lingkungan hidup, dan governance.

Pilar pembangunan manusia lekat dengan penyediaan pelayanan dasar sehingga tujuan SDGs yang dapat dikelompokkan dalam beberapa sektor. Sektor-sektor itu adalah menjamin kehidupan yang sehat, memastikan pemerataan kualitas pendidikan dan pendidikan inklusif serta pembelajaran seumur hidup untuk semua, mengakhiri kemiskinan dan mencapai kesetaraan gender, serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.

Tujuan SDGs pada pilar pembangunan lingkungan hidup antara lain memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik, mencapai akses universal ke air dan sanitasi, menjamin energi yang berkelanjutan, memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, mengambil tindakan untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya, mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan, mengelola ekosistem yang berkelanjutan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.

Sedangkan tujuan SDGs di pilar ekonomi yakni mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pekerjaan yang layak untuk semua, membangun infrstruktur, mempromosikan industrialisasi yang inklusif dan berkesinambungan dan mendorong inovasi, membuat kota-kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, ulet, dan berkelanjutan.

Dalam bidang governance, tujuan SDGs antara lain mengurangi kesenjangan dalam dan antarnegara, memastikan masyarakat stabil dan damai, dan memperkuat cara pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

Tujuan-tujuan SDGs tersebut mempunyai sejumlah target yang akan dicapai, dan untuk itu diperlukan strategi serta indikator pencapaian SDGs tersebut. Berikut akan diuraikan strategi yang perlu dilakukan dan (calon) indikator yang dapat digunakan.

STRATEGI PENCAPAIAN TARGET DAN INDIKATOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs)

TUJUAN 1. MENGHAPUS SEGALA BENTUK KEMISKINAN

Strategi:
  1. Memperluas dan menyempurnakan pelaksanaan sistem jaminan sosial terutama jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan
  2. Meningkatkan ketersediaan penyediaan pelayanan dasar yang disertai dengan peningkatan kualitas pelayanannya dan jangkauannya bagi masyarakat miskin dan rentan berupa pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan infrastruktur dasar
  3. Meningkatkan kemampuan penduduk miskin dalam mengembangkan penghidupan yang berkelanjutan melalui penguatan asset sosial penduduk miskin, peningkatan kemampuan berusaha dan bekerja penduduk miskin, dan peningkatan dan perluasan akses penduduk miskin terhadap modal.
Indikator:
  1. Persentase penduduk dengan daya beli di bawah $1,25 per kapita per hari (PPP)
  2. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, dibedakan
  3. Persentase penduduk yang tercakup dalam program perlindungan sosial
  4. Jumlah bidang tanah yang bersertifikat di perdesaan
  5. Persentase realisasi terhadap target sertifikasi tanah di perdesaan
  6. Jumlah korban bencana alam yang meninggal dunia
  7. Kerugian akibat bencana alam dalam rupiah dan $US
TUJUAN 2. MENGAKHIRI KELAPARAN, MENCAPAI KETAHANAN PANGAN DAN PENINGKATAN GIZI, DAN MENCANANGKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Strategi:
  1. Peningkatan produksi padi dan sumber pangan protein dari dalam negeri; 
  2. Peningkatan kelancaran distribusi dan penguatan stok pangan dalam negeri; 
  3. Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat; dan 
  4. Mitigasi gangguan iklim terhadap produksi pangan.
Indikator:
  1. Persentase produksi yang dicapai terhadap target produksi pertanian tanaman pangan
  2. Jumlah penyuluh pertanian per 1000 petani
  3. Persentase petani yang mendapatkan penyuluhan
  4. Perubahan tahunan luas lahan kritis
TUJUAN 3. MENJAMIN KEHIDUPAN YANG SEHAT DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PENDUDUK DI SEGALA USIA

Strategi:
  1. Akselerasi pemenuhan akses pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja, dan lanjut usia yang berkualitas
  2. Mempercepat perbaikan gizi masyarakat
  3. Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan
  4. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas
  5. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, dan kualitas farmasi dan alat kesehatan
  6. Meningkatkan pengawasan obat dan makanan
  7. Meningkatkan ketersediaan, penyebaran, dan mutu sumber daya manusia kesehatan
  8. Meningkatkan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
  9. Menguatkan manajemen, penelitian pengembangan dan sistem informasi
  10. Memantapkan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) bidang kesehatan
  11. Mengembangkan dan meningkatkan efektifitas pembiayaan kesehatan.
Indikator:
  1. Angka kematian neonatal, bayi dan balita
  2. Angka Kematian Ibu
  3. Prevalensi HIV/AIDS, jumlah kasus baru dan kasus kumulatif
  4. Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan ARV
  5. Angka kematian akibat HIV yang dilaporkan (CFR)
  6. Angka kejadian tuberkolosis (semua kasus/100.000 penduduk/tahun)
  7. Tingkat prevalensi tuberkolosis (per 100.000 penduduk)
  8. Tingkat kematian karena tuberkolosis (per 100.000 penduduk)
  9. Insiden malaria
  10. Jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas per 100.000 penduduk
  11. Rata-rata polusi udara perkotaan (PM10)
  12. Persentase balita yang menerima imunisasi lengkap
  13. Tingkat prevalensi kontrasepsi (CPR)
  14. Fasilitas program kesehatan jiwa di RS dan Puskesmas
  15. Skor pola pangan harapan (PPH)
  16. Prevalensi gemuk dan sangat gemuk
  17. Prevalensi perokok saat ini penduduk usia 15 tahun ke atas
  18. Prevalensi peminum alkohol 12 bulan dan 1 bulan terakhir
TUJUAN 4. MENJAMIN KUALITAS PENDIDIKAN YANG ADIL DAN INKLUSIF SERTA MENINGKATKAN KESEMPATAN BELAJAR SEUMUR HIDUP UNTUK SEMUA

Strategi:
  1. Melaksanakan wajib belajar 12 tahun; 
  2. Meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan pelatihan keterampilan melalui peningkatan kualitas lembaga pendidikan formal
  3. Memperkuat jaminan kualitas (quality assurance) pelayanan pendidikan
  4. Memperkuat kurikulum dan pelaksanaannya
  5. Memperkuat sistem penilaian pendidikan yang komprehensif dan kredibel
  6. Meningkatkan pengelolaan dan penempatan guru
  7. Meningkatkan pemerataan akses pendidikan tinggi
  8. Meningkatkan kualitas pendidikan tinggi
  9. Meningkatkan relevansi dan daya saing pendidikan tinggi; (10) meningkatkan tata kelola kelembagaan perguruan tinggi.
Indikator:
  1. Persentase anak yang mengikuti pendidikan prasekolah.
  2. Angka Kelulusan SD
  3. Angka Kelulusan SMP dan SMA
  4. APK Pendidikan Tinggi

TUJUAN 5. MENCAPAI KESETARAAN GENDER DAN MEMBERDAYAKAN SEMUA PEREMPUAN DAN ANAK PEREMPUAN

Strategi:

  1. Peningkatan pemahaman dan komitmen tentang pentingnya pengintegrasian perspektif gender dalam berbagai tahapan, proses, dan bidang pembangunan, di tingkat nasional maupun di daerah
  2. Penerapan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender (pprg) di dalam berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi, dan hukum.
Indikator:
  1. Prevalensi wanita 15-49 tahun yang mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan intimnya dalam 12 bulan terakhir.
  2. Persentase kasus kekerasan seksual dan berbasis gender terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan, diselidiki dan dijatuhi hukuman.
  3. Persentase wanita berusia 20-24 tahun yang telah menikah atau menikah sebelum berusia 18 tahun.
  4. Prevalensi praktek tradisional yang berbahaya.
  5. Jumlah rata-rata jam yang dihabiskan untuk pekerjaan dibayar dan tidak dibayar (beban kerja total), berdasarkan jenis kelamin.
  6. Persentase kursi yang diduduki perempuan dan minoritas di parlemen nasional dan/atau daerah
  7. Tingkat kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi.
  8. Angka kelahiran total.
TUJUAN 6. MENJAMIN KETERSEDIAAN DAN MANAJEMEN AIR DAN SANITASI SECARA BERKELANJUTAN

Strategi:

  1. Menjamin ketahanan air melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku dalam pemanfaatan air minum dan pengelolaan sanitasi
  2. Penyediaan infrastruktur produktif dan manajemen layanan melalui penerapan manajemen aset baik di perencanaan, penganggaran, dan investasi
  3. Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi yang dilakukan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat
  4. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi.
Indikator:
  1. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses air minum layak
  2. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak,
  3. Persentase total sumber air yang digunakan.
TUJUAN 7. MENJAMIN AKSES TERHADAP ENERGI YANG TERJANGKAU, DAPAT DIANDALKAN, BERKELANJUTAN, DAN MODERN

Strategi:

  1. Meningkatkan produksi energi primer terutama minyak dan gas dari lapangan yang mengalami penurunan tingkat produksinya
  2. Meningkatkan cadangan penyangga dan operasional energi
  3. Meningkatkan peranan energi baru terbarukan dalam bauran energi; meningkatkan aksesibilitas energi
  4. Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi dan listrik
  5. Meningkatkan pengelolaan subsidi BBM yang lebih transparan dan tepat sasaran
  6. Memanfaatkan potensi sumber daya air untuk PLTA.
Indikator:
  1. Persentase rumah tangga yang menggunakan bahan bakar (listrik, gas/ elpiji, gas kota, dan minyak tanah ) untuk memasak
  2. Persentase rumah tangga dengan sumber penerangan utama listrik PLN dan listrik non PLN
  3. Tingkat intensitas energi primer
TUJUAN 8. MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG MERATA DAN BERKELANJUTAN, TENAGA KERJA YANG OPTIMAL DAN PRODUKTIF, SERTA PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA

Strategi:
  1. Mengoptimalkan kerjasama global dengan memperhatikan dimensi sosial dan budaya
  2. Memperluas lapangan kerja
  3. Meningkatkan iklim investasi dan promosi ekspor
  4. Meningkatkan sinergi arah kebijakan industri 
  5. Meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja serta pengembangan sistem kerja yang layak
  6. Pendalaman kapital dan pendidikan tenaga kerja
  7. Peningkatan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja.
Indikator:
  1. PNB per kapita (PPP, current US$ Atlas method)
  2. Laporan dan implementasi Sistem Neraca Ekonomi dan Lingkungan
  3. Persentase angkatan kerja usia 15-24 tahun yang bekerja, menurut sektor formal dan informal
  4. Ratifikasi dan implementasi standar kerja fundamental ILO dan kepatuhan dalam hukum dan praktek
TUJUAN 9. MEMBANGUN INFRASTRUKTUR TANGGUH, MEMPROMOSIKAN INDUSTRIALISASI INKLUSIF DAN BERKELANJUTAN DAN MENDORONG INOVASI

Strategi:

  1. Mempercepat pembangunan sistem transportasi multimoda
  2. Mempercepat pembangunan transportasi yang mendorong penguatan industri nasional untuk mendukung sistem logistik nasional dan penguatan konektivitas nasional dalam kerangka mendukung kerjasama regional dan global
  3. Membangun sistem dan jaringan transportasi yang terintegrasi untuk mendukung investasi pada koridor ekonomi, kawasan industri khusus, kompleks industri, dan pusat-pusat pertumbuhan lainnya di wilayah non-koridor ekonomi
  4. Meningkatkan keselamatan dan keamanan dalam penyelengaraan transportasi serta pertolongan dan penyelamatan korban kecelakaan transportasi
  5. Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan
  6. Mentransformasi kewajiban pelayanan universal (universal service obligation/USO) menjadi broadband-ready dengan cara reformulasi kebijakan penggunaan dana USO yang lebih berorientasi kepada ekosistem broadband (tidak hanya untuk penyediaan infrastruktur dan daerah perdesaan) dan memperkuat kelembagaan pengelola dana USO
  7. Mengoptimalisasi pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagai sumber daya terbatas
  8. Mendorong pembangunan fixed/wireline broadband termasuk di daerah perbatasan negara 
  9. mempercepat implementasi e-government dengan mengutamakan prinsip keamanan, interoperabilitas dan cost effective
  10. Mendorong tingkat literasi dan inovasi TIK
Indikator:
  1. Akses terhadap jalan untuk segala musim/all season road
  2. Langganan broadband telepon genggam per 100 penduduk, menurut perkotaan/ pedesaan
  3. Persentase rumahtangga dengan akses internet di perdesaan
  4. Nilai tambah sektor manufaktur (MVA) sebagai persentase terhadap PDB
  5. Jumlah emisi gas rumah kaca
  6. Persentase jumlah pekerja sektor industri terhadap total tenaga kerja
TUJUAN 10. MENGURANGI KETIMPANGAN DALAM DAN ANTAR NEGARA

Strategi:
  1. Peningkatan penyerapan tenaga kerja miskin dan rentan produkif ke dalam sektor industri pengolahan unggulan
  2. Pengembangan aktivitas ranta pengolahan yang bersifat penambahan nilai (value added) untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal dan komoditas unggulan berbasiskan agro industri
  3. Perbaikan rantai distribusi komoditas unggulan yang berpihak kepada petani kecil
  4. Pengembangan ekonomi lokal di pulau‐pulau terluar berbasis potensi alam daerah setempat.
Indikator:
  1. Persentase rumahtangga dengan pendapatan di bawah 50% dari median pendapatan (“kemiskinan relatif”)
  2. Koefisien Gini
  3. Persentase BPR terhadap Pendapatan Nasional Bruto
TUJUAN 11. MEMBUAT KOTA DAN PEMUKIMAN PENDUDUK YANG INKLUSIF, AMAN, TANGGUH, DAN BERKELANJUTAN

Strategi:
  1. Perwujudan sistem perkotaan nasional (SPN)
  2. percepatan pemenuhan standar pelayanan perkotaan (SPP) untuk mewujudkan kota aman, nyaman, dan layak huni
  3. Pembangunan kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana
  4. Pengembangan kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi dan budaya lokal
  5. Peningkatan kapasitas tata kelola pembangunan perkotaan,
Indikator:
  1. Persentase penduduk perkotaan tinggal di daerah kumuh
  2. Persentase rumah tangga di perkotaan menurut perlakuan terhadap sampah
  3. Ruang terbuka hijau di perkotaan
TUJUAN 12. MENJAMIN POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI YANG BERKELANJUTAN

Strategi:
  1. Inventarisasi dan sinkronisasi kebijakan sektor-sektor prioritas terkait dengan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan
  2. Menggalakkan penggunaan teknologi bersih untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan mengurangi limbah
  3. Penyebaran informasi ketersediaan produk ramah lingkungan bagi konsumen/ masyarakat mengenai manfaat produk tersebut
  4. Pengembangan standar produk ramah lingkungan yang terukur
  5. Pengembangan peraturan dan standar pelayanan publik dalam penerapan pola konsumsi berkelanjutan.
Indikator:
  1. Kerugian pascapanen (susut hasil panen padi)
  2. Konsumsi bahan perusak ozon
  3. Kedalaman optik aerosol (AOD)
TUJUAN 13. MENGAMBIL TINDAKAN SEGERA UNTUK MEMERANGI PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA

Strategi:
  1. Peningkatan pelibatan sektor baik di pusat maupun di daerah untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi dan pengalokasian pendanaannya; 
  2. Standarisasi kegiatan penurunan emisi di setiap sektor., 
  3. Meningkatkan kontribusi swasta dan masyarakat dalam penurunan emisi GRK; 
  4. Pengembangan dan penerapan insentif fiskal; 
  5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan RAN/RAD-GRK dan adaptasi; 
  6. Pelaksanaan kegiatan dan rencana aksi terkait dengan REDD+, baik yang berdampak langsung, maupun tidak langsung pada penurunan emisi GRK; 
  7. Pengembangan indeks dan indikator kerentanan, serta penguatan sistem informasi iklim dan cuaca; 
  8. Pelaksanaan kajian kerentanan dan peningkatan ketahanan (resiliensi) pada sektor yang sensitive serta pelaksanaan pilot adaptasi; 
  9. Sosialisasi RAN-API dan peningkatan kapasitas daerah dalam upaya adaptasi.
Indikator:
  1. Intensitas CO2 dari sektor listrik (gCO2 per KWh)
  2. Intensitas CO2 dari sektor transportasi (gCO2/vkm)
TUJUAN 14. MELESTARIKAN SAMUDERA, LAUT, DAN SUMBER DAYA KELAUTAN SECARA BERKELANJUTAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Strategi:
  1. Peningkatan sarana dan prasarana dalam mendukung konektivitas laut; 
  2. Peningkatan sdm, iptek, wawasan dan budaya bahari; 
  3. Peningkatan tata kelola dan pengamanan wilayah juridiksi dan batas laut Indonesia; 
  4. Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pengendalian kegiatan illegal; 
  5. Pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama pulau-pulau terluar. pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar; (6) peningkatan pengamanan pesisir dan konservasi perairan
Indikator:
  1. Ocean Health Index
  2. Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman
TUJUAN 15. MELINDUNGI, MEMULIHKAN, DAN MENINGKATKAN PEMANFAATAN SECARA BERKELANJUTAN TERHADAP EKOSISTEM DARAT, MENGELOLA HUTAN SECARA BERKELANJUTAN, MEMERANGI DESERTIFIKASI, DAN MENGHENTIKAN DAN MEMULIHKAN DEGRADASI LAHAN DAN MENGHENTIKAN HILANGNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI

Strategi:
  1. (1) Peningkatan instrumen penegakan hukum; (2) peningkatan efektivitas penegakan hukum; (3) peningkatan efektivitas dan kualitas pengelolaan hutan
Indikator:
  1. Perubahan tahunan kawasan hutan dan lahan budidaya
  2. Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan
  3. Red List Index

TUJUAN 16. MENINGKATKAN MASYARAKAT YANG INKLUSIF DAN DAMAI UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN, MENYEDIAKAN AKSES TERHADAP KEADILAN BAGI SEMUA, DAN MEMBANGUN INSTITUSI YANG EFEKTIF, AKUNTABEL DAN INKLUSIF DI SEMUA

Strategi:

  1. Mempromosikan proses pembangunan yang inklusif; 
  2. Menghormati hak-hak semua kelompok sosial-budaya, minoritas, masyarakat adat, agama; 
  3. Melestarikan seluruh budaya warisan dan sumber daya alam dan 
  4. Menghormati hak mereka untuk menentukan dan mewujudkan aspirasi pembangunannya.
Indikator:
  1. Jumlah desa menurut adanya korban perkelahian massal (meninggal dan luka- luka), indikator proksi
  2. Pengungsi dan pengungsian internal akibat konflik dan kekerasan
  3. Corruption Perception Index (CPI), IPK Kota di Indonesia
  4. Persentase balita yang memiliki akta kelahiran
  5. Kepatuhan terhadap rekomendasi dari UPR dan perjanjian PBB
  6. Indikator dari variabel kebebasan berkumpul dan berserikat
TUJUAN 17. MEMPERKUAT SARANA PELAKSANAAN DAN MEREVITALISASI KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Strategi:
  1. Meningkatkan peran Indonesia di tingkat global; 
  2. Meningkatkan kesiapan publik domestik dan meningkatnya peran (kontribusi) dan kepemimpinan Indonesia di ASEAN; 
  3. Menguatkan diplomasi ekonomi Indonesia dalam forum bilateral, multilateral, regional dan global; 
  4. Meningkatkan peran Indonesia dalam kerja sama selatan selatan dan triangular; 
  5. Meningkatkan promosi dan pemajuan demokrasi dan HAM; 
  6. Meningkatkan kerjasama ekonomi internasional di tingkat multilateral, regional, dan bilateral dengan prinsip mengedepankan kepentingan nasional, saling menguntungkan, serta memberikan keuntungan yang maksimal bagi pembangunan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
Indikator:
  1. Indeks Kebahagiaan