Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Juni 2016

Menjabarkan “Kawasan Perdesaan” sebagai Amanat UU Penataan Ruang no 26/2007 dan UU Desa no 6/2014

Saat ini Kawasan Perdesaan sering dibicarakan dalam seminar dan lokakarya dan dirasakan menjadi instrumen yang tepat mengembangkan pedesaan khususnya pembangunan dari perdesaan. Tetapi masih terdapat kekosongan hukum yang mengatur kawasan perdesaan ini dalam Peraturan Pemerintah. Terdapat dua Undang Undang (UU) yang tegas menyebut Kawasan Perdesaan, yaitu Undang Undang Penataan Ruang no 26/2007 (UUTR) dan Undang Undang Desa no 6/2014 (UUDesa).
Tulisan ini bertujuan memberikan arah pengembangan kebijakan ini dan menempatkannya dengan peraturan perundangan lainnya, dengan tidak meninggalkan tujuan awal di bentuknya kawasan perdesaan. Memberikan arahan bagi penggiat Pembangunan Pedesaan yang memfasilitasi masyarakat dalam pengembangan pemetaan partisipatif, rencana tata ruang kabupaten, pengakuan keberadaan masyarakat adat serta perluasan wilayah kelola rakyat dalam berhadapan dengan usaha skala besar, untuk terus mengembangkan kawasan perdesaan ini bersama sama masyarakat
Dalam menjabarkan “kawasan perdesaan” sebagaimana amanat dalam UUTR dan UUDesa, perlu dicermati beberapa pasal berikut guna memberikan landasan yang kuat bagi pembentukan peraturan pemerintah terkait. Kedua UU ini menyebutkan kawasan perdesaan, akan tetapi keduanya menjabarkannya secara berbeda dengan tujuan yang berbeda pula (lihat gambar 1).
Gambar-1-Kawasan-Perdesaan-dalam-UUUU Tata Ruang menekankan pada suatu alokasi kawasan secara keruangan (spatial) dengan 6 arahan penggunaannya yang dipadankan dengan kawasan perkotaan, kawasan industri, kawasan pertambangan dan lainnya, diterjemahkan secara spatial dalam RTRW Kabupaten . Sedangkan kawasan perdesaan dalam UU Desa dibentuk melalui proses bottom up (Perdes dan kebijakan Kabupaten) meliputi hal hal yang berkaitan dengan infrastruktur fisik desa (jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, pasar dll), serta infrastruktur non fisik seperti teknologi yang digunakan dalam produksi dan konsumsi serta kelembagaan kerjasama antar desa, dll. Kedua hal ini sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan dari pedesaan guna menjalankan pembangunan dari desa atau wilayah perdesaan.
Diharapkan kawasan perdesaan dalam perencanaan tata ruang (Kabupaten) dapat membatasi investasi skala besar, memberikan alokasi wilayah kepada usaha pertanian/kehutanan/pertambangan dan perkebunan rakyat dan mendorong kawasan ini mengelola wilayahnya secara lestari, dengan infrastruktur fisik dan non fisik yang sesuai dengan kondisi perdesaan.
Bagaimana Kawasan Perdesaan berhadapan dengan peraturan per UUan lainnya ?
Disadari Kawasan Perdesaan tidak berdiri sendiri tetapi bersama sama dengan peraturan per undang undangan lainnya yang sering kali menimbulkan tumpang tindih, kompetisi atau saling mengisi, misal dengan UU Perlindungan & Pemberdayaan Petani/P3 no 19/2013 yang menyatakan sbb dalam pasal 7 dan pasal 12 : Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan melalui;
d. konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian;
g. penguatan Kelembagaan Petani
(1) Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disusun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan Petani. (Pasal 9)
Perlindungan Petani diberikan kepada (pasal 12):
a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani, memerlukan tanah, dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; pekebun, peternak, hortikultura skala kecil
Sehingga terdapat lapis lapis penggunaan kebijakan ini untuk tujuan yang berbeda (lihat gambar 2)
Gambar-2-Lapis-lapis-Kebijakan
Kawasan Perdesaan haruslah digunakan untuk membentengi wilayah perdesaan (rural areas) termasuk wilayah adat dari usaha-usaha skala besar (pertambangan, perkebunan, usaha kehutanan dan pertanian) yang bersaing bebas dengan usaha rakyat skala kecil. Kawasan Perdesaan tidak identik dengan wilayah administrasi desa, dapat berupa wilayah adat di pedesaan (bukan diperkotaan) atau didalam wilayah administrasi desa karena sering kita jumpai wilayah administrasi desa yang berbeda dengan wilayah adat. Didalam wilayah perdesaan ada wilayah yang memang direncanakan masyarakatnya untuk dikerjasamakan dengan usaha skala besar (kemitraan). Hal ini perlu diletakan di luar kawasan perdesaan tetapi masih masuk dalam wilayah desa atau wilayah adat. Sedangkan yang akan dikelola sendiri (swakelola) berada dalam kawasan perdesaan.
Untuk melindungi usaha tani produktif pangan, ada UU Perlindungan Pertanian Lahan Pangan Berkelanjutan (UU 41/2009) yang masuk dalam wilayah pertanian abadi didalam kawasan perdesaan, secara khusus untuk melindungi lahan lahan pertanian pangan dari konversi lahan, sedangkan Undang Undang Perlindungan Petani (UU 19/2013) pasal 12 secara khusus melindungi petani gurem berhadapan dengan petani kaya didalam kawasan perdesaan, dimana petani gurem perlu dilindungi dengan wilayah khusus yang dialokasikan bagi petani tak bertanah di dalam kawasan perdesaan, untuk menjalankan reforma agrarian di tataran lokal (desa atau wilayah adat).
Bagaimana Kawasan Perdesaan ini berhadapan dengan Kawasan Hutan dan APL dalam perencanaan tata ruang ?
Debat tentang kewenangan kawasan hutan yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) dan APL di Kementrian Agraria Tata Ruang (Kemen ATR) serta diperkuat dengan proses pembentukan RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten, sangatlah mendikotomikan 2 hal yang perlu diluruskan (Gambar 3).
Gambar-3-APLKesempatan mengembangkan kawasan perdesaan dapat membantu mem”bereskan” hal ini, mengembalikan kewenangan KemenATR dalam kewenangan menetapkan penguasaan tanah dan sumber sumber agrarian lainnya, dan KemenLHK pada kewenangan menjamin kelestarian fungsi hutan, dengan menggunakan momentum revisi PP 44/2004 tetang perencanaan hutan yang sudah di jadwalkan dalam NKB 12 KL/GNPSDA. Kekhawatiran membereskan dikotomi ini (APL vs Kawasan Hutan) selalu ditakutkan akan adanya free rider yang mengatasnamakan masyarakat, padahal nantinya yang menerima manfaat konversi Kawasan Hutan menjadi APL sering kali usaha skala besar non kehutanan. Pembentukan kawasan perdesaan yang berada di Kawasan Hutan dan luar kawasan hutan/APL dapat memberikan jaminan tidak adanya free rider atau pelepasan kawasan hutan atas nama masyarakat, karena kalaupun dia berada di dalam dan luar kawasan tetap alokasinya untuk masyarakat perdesaan.
Dikotomi antara pertanian dan kehutanan yang dipertegas dengan adanya kawasan hutan menjadi lebih cair setelah adanya kawasan perdesaan, dimana kawasan perdesaan yang berada di dalam kawasan hutan dapat digunakan dalam bentuk bentang alam yang beragam, dapat berupa usaha tani semi intensif (perladangan, wana tani dll), hutan tanaman rakyat, sampai dengan hutan alam. Ini sangat mendukung pada pendekatan holistik yang selama ini ditinggalkan dalam pembangunan perdesaan, dan juga menjadi pendukung dalam pengembagan program perhutanan sosial di KemenLHK dengan pendekatan holistik dan tidak terjebak pada pendekatan komoditas (pertanian, perkebunan dan kehutanan), walaupun pendekatan holistik ini hanya dapat dilakukan didalam kawasan perdesaan, untuk mengakomodir keragaman pola pola pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat.
Dengan ditetapkannya kawasan perdesaan, maka usaha perhutanan sosial tidak harus selalu berbasis komoditas hutan, tetapi dapat mengakomodir keberadaan sawah, ladang, dan pola wana tani lainnya yang dikenali masyarakat dalam bentang alam yang bercampur jadi satu mozaik, selain mengelola hutan alam yang sudah dilaksanakan selama ini. Hal ini perlu dipertegas dalam revisi PP 44/2004 tentang Perencanaan Hutan dengan memperkealkan definisi Kawasan Perdesaan dan apa yang dapat dilakukan didalamnya, serta dalam revisi PP 72/2010 tentang Perum Perhutani, serta revisi PP 40/1996 tentang HGU dan HGB yang menjelaskan wilayah kerjanyaPerum Perhutani, HGU tidak memasuki kawasan perdesaan ini, karena kawasan ini diprioritaskan untuk usaha rakyat skala kecil.
Bagaimana Kawasan Perdesaan dikembangkan dan dikelola ?
Kawasan Perdesaaan ini mengajak kita semua keluar dari pendekatan Kemen LHK yang terbiasa dengan pendekatan “command and control”, dengan pengelolaan bentang alam (landscape) dan keragaman mosaik (land use) didalamnya , maka pendekatan insetif dan disinsentif haruslah digunakan sebagai instrument monitoring atas perubahan bentang alam. Misal perubahan bentang alam yang dibolehkan hanyalah sekian persen dari bentang alam yang dapat diukur secara remote sensing secara cepat, dan peningkatan tutupan bentang alam seharusnya mendapatkan insentif baik didalam maupun diluar kawasan hutan. Selanjutnya kawasan perdesaan haruslah berkontribusi kepada kedaulatan pangan, energy dll, sehingga instrument insentif dan disinsentif dapat terus dikembangkan bukan hanya seputar jasa lingkungan, tetapi disesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pedesaan, yang tidak terlepas pada ketergantungan kota pada desa dan sebaliknya.
Demikian hal hal yang diperlukan dalam mengembangkan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Perdesaan yang perlu dicarikan jalan bagi pembentukannya, apakah melaui PP baru, Kawasan Perdesaan yang mengikuti amanat UU Desa dan UUTR, atau diselipkan pada revisi PP 43/2014 tentang Aturan Pelaksana UU Desa yang sebagian sudah mengakomodir Kawasan Perdesaan amanat UU Desa (lihat pasal 115, 123-125 & 131 PP 43/2014) tetapi belum mengakomodir 6 arahan kawasan perdesaan sebagai dalam bentuk spatial (keruangan).
Oleh : Martua T. Sirait.

Kamis, 09 Juni 2016

BUMDes, Problematika dan Solusi




Tahun 2016, rencananya Kementrian Desa mulai menggerakan dan melaksanakan program BUMDES, pertanyaannya apakah Desa-desa sudah siap ? Apakah BUMDES sendiri nantinya bisa berjalan dengan baik , produktif dan tepat sasaran?, Apakah hanya menjadi project mercusuarnya Kemendesa yang muncul 1-2 tahun kemudian selanjutnya tenggelam tak terurus? 

BUMDes, Badan Usaha Milik Desa merupakan salah satu solusi dari masalah-masalah desa yang ada, apa saja bentuk BUMDes? BUMDes bisa berbentuk Koperasi, PT atau lainnya, atau juga mendorong usaha-usaha desa atau masyarakat desa yang telah dengan sentuhan2 teknologi, Sumber Daya dan Pendanaan yang cukup maka 

BUMDES bisa bergerak. Sebagai praktisi pemberdayaan masyarakat dan pemerhati masalah pedesaan, banyak hal yang harus dilakukan sebelum terbentuknya BUMDes, bukan ujuk-ujuk karena target Tahun ini harus sekian ribu BUMDes harus terbentuk, Dana sudah siap harus segera dicairkan, lantas kita tergopoh-gopoh mendirikan BUMDes tanpa perhitungan yang matang. Langkah-langkah sebagai berikut : 
  1. Lihat Potensi apa yang paling besar dan produktif di desa 
  2. Lihat Fasilitas ,Sarana dan Prasarana pendukung apakah memadai atau tidak. 
  3. Lihat Sumber Daya yang ada, termasuk SDM 
  4. Lihat Lokasi, Jarak dan Transportasi 
  5. Lihat hasil produksi atau produk yang di hasilkan akan di pasarkan kemana 
  6. Bagaimana dengan biaya, apakah bisa mengcover operasional untuk 2-3 bulan awal.
  7. Lihat keberlanjutan dari BUMDES 
  8. Apakah bermanfaat bagi masyarakat desa atau tidak. 
Sebagaimana kita ketahui permasalahan klasik dari industri dan produksi di Desa adalah permasalahan dukungan permodalan, fasilitas dan pemasaran. Pertanyaan kita apakah Kementerian Desa sudah menyiapkan antsipasi-antisipasi yang diperlukan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan dari BUMDes ini ?, 

BUMDes sebagai bayi yang baru lahir butuh sentuhan , butuh pembinaan, butuh pengawasan, jangan sampai BUMDes hanya menjadi sebuah Project atau kegiatan tahunan yang 1 tahun habis, tahun depannya tidak dianggarkan sehingga akan matin dengan sendirinya. Kementrian Desa harus memikirkan langkah-langkah bagaimana menjadikan BUMDES ini sebagai Usaha Desa yang harus berjalan dan produktif bermanfaat dan mandiri walaupun berganti menteri dan Presiden. BUMDes adalh milik desa , bukan kementerian desa, kemajuan dan keberhasilan BUMDes tergantung dari Desa sendiri. 

Kemenetrian Desa harus mendorong pendirian BUMDes betul-betul matang dan di aji oleh desa, apakah bisa berjalan atau tidak, jangan hanya menjadi project segelintir orang, di kuasai segelintir orang, atau hanya memfasilitasi sekelompok orang dengan baju BUMDes. Kemendesa harus memberikan kail dan ajakan bagaimana cara memancing, bagaimana cara jitu mendapatkan ikan dan bagaimana ikan itu bisa menghasilkan uang.  

Bagaimana dengan pengawasan? Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum project-project bantuan-bantuan selama ini ke kelompok-kelompok petani, kelompok peternak dsb, pakah bantuan-bantuan tersebut sukses dan tepat sasaran? tidak semuanya tepat sasaran dan berhasil, banyak sekali bantuan tersebut disalahgunakan seperti : kelompok-kelompok fiktif, bantuan fiktif, bantuan yang tidak tepat sasaran sehingga bantuan ternak, bibit menjadi tidak produktif, dan banyak sekali terjadi permainan-permainan di dalamnya. 

Saya ingin berbagi dengan Kementrian Desa dan temen-temen pegiat desa dan pelaku usaha di desa. BUMDes didirikan harus dengan prinsip:  
  1. Bermanfaat bagi masyarakat Desa 
  2. Menguntungkan bagi BUMDes 
  3. Keberlangsungan dan Keberlanjutan BUMDes   
Namun Desa sendiri hingga saat ini mempunyai banyak permasalahan : 
  1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia Pengelola BUMDes 
  2. Fasiitas sarana dan prasarana yang terbatas 
  3. Akses Promosi dan Pemasaran 
  4. Terbatasnya kemampuan dalam administrasi usaha  
Namun setelah BUMDes berdiri, dan masing-masing desa bisa berjalan sendiri-sendiri untuk BUMDes-nya, andaikan saja masing-masing desa mempunyai 1 BUMDes 1 Desa , berarti ada 74.093 BUMDES di indonesia, dapat di bayangkan kalau BUMDes ini berjalan sendiri-sendiri tidak terkoordinir per wilayah.  

Bagaimana mengatasi hal tersebut? 
  1. Dengan cara adanya Perusahaan Menengah atau besar sebagai Bapak angkat, apakah itu BUMD Kabupaten, BUMD Propinsi, BUMN, atau perusahaan Swasta yang memang bergerak di bidang yang sama. 
  2. Perlu di buat kategori usahanya misalnya : Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Kehutanan, Wisata, Perternakan, Home Industri, Koperasi, Toserba  dll 
  3. Harus ditetapkan bahwa BUMDes merupakan penyupplai bahan baku atau bahan 1/2 jadi untuk perusahaan menengah dan besar, sehingga saling sinergi , BUMDES bisa bergerak karena perusahaan membutuhkan pasokan , sedangkan perusahaan merasa terbantu dalam kepastian pasokan barang atau bahan baku. 
  4. Perlu sistem administrasi yang baik sebagai pendukung BUMDes 
  5. Perlu pengetahuan dan dukungan IT yang baik. 
Bagaimana dengan  Kebutuhan Dana dan keberlanjutan BUMDes? 

Dana stimulus awal hanya sebagai pendorong berdirinya dan operasional awal BUMDes , bukan untuk selamanya mendapatkan dana dari Pemerintah, BUMDes yang baik dan berhasil adalah BUMDes yang bisa mandiri dan mendapatkan dana sendiri. Bagaimana caranya BUMDes bisa mendapatkan modal dengan tidak bergantung dana Pemerintah, hal ini bisa dilakukan dengan cara sbb : 
  1. Kerjasama dengan perusahaan menengah dan besar sebagai bapak angkat, dengan bantuan uang muka dsb 
  2. Kemitraan dengan BUMN dan Swasta melalui dana CSR 
  3. Pembiayaan KUR 
Bagaimana agar BUMDes bisa berjalan efektif ? 
  1. Pelatihan Sistem administrasi ke SDM BUMDes 
  2. Pelatihan Manajemen pengelolaan BUMDes 
  3. Pelatihan IT terhadap pengelola BUMDes 
  4. Pelatihan, Teknis Produksi. dll 
Bagaimana membuat Kategori BUMDes? 
  1. DIbuat BUMDES per wilayah, misalnya BUMDes wilayah Sumatera Selatan di bawah Propinsi, dan perlu di bentuk Regional Bisnis Area BUMDes Sumatera Selatan, manfaatnya adalah, Regional Bisnis Area Sumatera Selatan yang berperan sebagai Lembaga yang berperan dalam pembinaan, pemasaran , pencarian dana, partnership dll 
  2. Dibuat Kategori Bisnis BUMDes , misalnya Desa A, B, C, D unit usaha yang dijalankan misalnya dalam bidang Perternakan, Desa A = Ternak Ayam, Desa B Ternak Sapi dst, Dengan langkah-langkah tersebut saya yakin BUMDes akan berjalan dengan baik, dan BUMDES akan membumi di BUMI Indonesia.
Sumber : http://www.kompasiana.com/ 
Penulis : July RIanthony NK