Cari Blog Ini

Sabtu, 23 April 2016

Potensi Inefektivitas Dana Desa

Potensi Inefektivitas Penyaluran Dana Desa

Latar Belakang
Tahun 2015 merupakan tahun pertama kalinya Indonesia mengucurkan Dana Desa sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana ini diharapkan agar dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masy arakat desa. Alokasi Dana Desa ini diharapkan mampu mengangkat daerah yang sifatnya susah untuk berkembang sehingga mampu mengejar ketertinggalannya dari daerah lain, namun apakah dengan kondisi desa yang ada sekarang mampu mengelola Dana Desa ini dengan baik? Karena di beberapa bidang terdapat hal yang terdapat problema.

Pembahasan
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Fokus penting dari penyaluran dana ini lebih terkait pada implementasi pengalokasian Dana Desa agar bisa sesempurna gagasan para ini siatornya. Skenario awal Dana Desa ini diberikan dengan mengganti program pemerintah yang dulunya disebut PNPM, namun dengan berlakunya Dana Desa ini, dapat menutup kesempatan beberapa pihak asing untuk menyalurkan dana ke daerah di Indonesia dengan program-program yang sebenarnya juga dapat menjadi pemicupembangunan daerah.

Mekanisme Penyaluran Dana Desa
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah akan mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya ke pada setiap desa berdasarkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Hasil perhitungan tersebut disesuaikan juga dengan tingkat kesulitan geografis masing-masing desa. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud diatas, bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN, dengan luasnya lingkup kewenangan Desa dan dalam rangka mengoptimalkan penggunaan Dana Desa, maka penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pembangunan DesaPemberdayaan Masyarakat Desa
  • Pembangunan & Pemeliharaan Infrastruktur Desa.
  • Pembangunan & Pemeliharaan Jalan Desa antar Pemukiman ke Wilayah Pertanian dan Prasarana Kesehatan Desa.
  • Pembangunan , Pemeliharaan Sarana , Prasarana Pendidikan & Kebudayaan.
  • Pembangunan & Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Ekonomi/Usah Ekonomi Produktif.
  • Pelatihan Usaha Ekonomi, Pertanian, Perikanan, dan Perdagangan
  • Pelatihan Teknologi Tepat Guna
  • Peningkatan Kapasitas Masyarakat.
Prioritas Penggunaan Dana Desa
Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut tetap sejalan dengan kewenangan yang menjadi tanggung jawab Desa. Dana Desa dialokasikansetiap tahun dalam APBN mulai tahun 2015 melalui realokasi anggaran K/L yang berbasis Desa. Penyaluran Dana Desa dilakukan melalui mekanisme transfer ke APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke rekening kas desa dalam tiga tahap penyaluran. Tahap I dan II disalurkan pada bulan April dan Agustus masing-masing sebesar 40 persen, dan tahap III sebesar 20 persen pada bulan Nopember.
Dalam rangka optimalisasi penggunaan, pencapaian prioritas nasional,serta efektifitas pengelolaan Dana Desa, pemerintah melakukan pendampingan serta penguatan kelembagaan dan SDM ditingkat desa.
uns 1Alokasi Dana Desa dalam APBN 2015
Dana Desa di dalam APBN 2015 dianggarkan sebesar Rp 9.066,2 miliar, namun sejalan dengan visi Pemerintah untuk Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam kerangka NKRI maka anggaran ini ditambah alokasinya di dalam APBN-P 2015 menjadi Rp 20.766,2 miliar. Pengalokasian dana di APBN 2015 ini ke masing-masing provinsi kemudian ke kabupaten/kota dilakukan oleh Kementerian Keuangan, seperti tampil dalam tabel 1 berikut.
Terlihat dari data tersebut bahwa provinsi dengan jumlah desa yang banyak, memperoleh alokasi dana desa lebih besar, seperti terlihat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Namun ada satu provinsi dengan jumlah desa lebih sedikit namun memperoleh alokasi besar yaitu Papua. Hal ini terjadi karena faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam mengalokasikan ke tiap daerah (jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis daerah tersebut.

Resiko/Potensi Inefektivitas Penyaluran Dana Desa
Studi yang dilakukan untuk menguji kesiapan pemerintah daerah dalam menerima anggaran desa, menyatakan bahwa jika anggaran Desa benar dicairkan maka perlu dipersiapkan beberapa proses untuk memastikan agar anggaran ini digunakan dengan sebagaimana mestinya. Proses tersebut antara lain perlunya disiapkan aturan yang mengawal transfer dana desa dari APBN ke Desa dan aturan terkait pengelolaan keuangan dan asset desa. Hingga saat ini kesiapan terkait regulasi dana desa hingga ke level pemerintah daerah belum ada. Selain peraturan, perlu juga dipersiapkan juga koordinasi yang bagus di pemerintah pusat mengenai kementerian yang nantinya mengawal dana desa ini. Dari amanatnya, anggaran desa ini akan dikawal oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, namun seluruh perangkat desa dan perangkat pemerintah daerah yang ada, berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini juga menjadi potensi masalah jika tidak dikoordinasi dengan baik.
Kualitas SDM yang bermutu di pemerintah desa juga perlu disiapkan dengan serius oleh pemerintah, mengingat belum ada program capacity building bagi perangkat desa dalam mendukung pembangunan di daerah. Kemudian yang tidak kalah penting adalah perlunya pembinaan dan pengawasan bagi pemerintah desa dalam menggunakan dana desa ini.
Kualitas SDM di desa perlu ditingkatkan karena untuk menerima dana desa, pemerintah desa wajib memiliki program pembangunan yang tercermin dalam RPJM Desa dan RKP Desa (PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa). Hingga saat ini belum semua pemerintah daerah memiliki RPJM Daerah atau RKP Daerah. Hal ini menjadi pertanyaan apakah pemerintah desa mampu menyiapkannya dalam jangka waktu saat ini hingga masa pencairan pertama dana desa dilaksanakan (April 2014). Jika memang desa mampu menyiapkannya, perlu dipastikan bahwa rencana pembangunan desa yang disusun apakah sejalan dengan perencanaan di pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Provinsi, atau bahkan sejalan dengan perencanaan pemerintah pusat.
uns 2uns 3
Selain masa persiapan pencairan dana desa, yang menjadi bahan pertimbangan pula adalah pengelolaan keuangan di desa. Untuk memberi gambaran, Hingga tahun 2013, masih banyak LKPD yang memperoleh opini tidak memberikan pendapat (TMP) dari BPK (Grafik 2), sebenarnya hal ini merupakan peningkatan dari periode sebelumnya, namun kondisi ini terjadi setelah lebih dari 10 tahun Pemda diwajibkan membuat laporan keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintah 2005. Di Grafik 3, disampaikan bahwa masih banyak provinsi yang memperoleh opini audit tidak wajar dan tidak memberikan pendapat dari BPK sejak tahun 2009 hingga 2013. Sesuai PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dinyatakan bahwa Kepala Desa wajib menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap semester tahun berjalan. Dengan adanya temuan BPK tersebut maka perlu disiapkan pulacapacity building bagi perangkat desa untuk menyiapkan laporan keuangan yang wajar sesuai standar akuntansi yang berlaku.
Menanggapi pengelolaan keuangan yang lemah di pemerintah daerah, maka diperlukan tenaga pengawas/auditor yang memadai juga hingga ke tingkat desa. Hal ini perlu dikaji ulang lagi kesiapan auditor pemerintah Indonesia. Proses pengawasan juga dapat dibantu oleh pihak Pemerintah Daerah Tingkat I/Provinsi, namun jika dilihat kembali ke undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan dana desa ini, Pemerintah Daerah Tingkat I/Provinsi tidak dilibatkan dalam mekanisme penyaluran hingga pelaporan dan pengawasan dana desa ini.
Kesimpulan
Program dana desa ini merupakan program yang memberikan banyak peluang. Bagi masyarakat, terutama dari segi ekonomi. Pemberian dana desa yang dimana tidak di sertai dengan adanya Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan potrnsial maka akan memicu penyimpangan ataupun penyelewengan. Ketidak siapan masyarakat ini akan menjadi bumerang bagi pengolah dana desa. Sehingga tidak hanya pengawasan yang pelu di tingkatkan namun pelatihan dan sosialisasi juga perlu adanya. Membangun sistem ketatadesaan yang jelas tegas untuk memperkokoh struktur kelembagaan Desa yang baik.
Dalam hal birokrasi penyaluran dana desa dengan mempermudah administrasi tentang pencairan dana desa. Pengawasan penyaluran dan penggunaan Dana Desa oleh Badan Audit khusus di Desa yang berada dibawah Badan Permusyawaratan Desa (BPD)pendamingan extra yang dimana ada beberapa pihak untuk menegakkan hukun yang ada.
Pelatihan kepada jajaran Aparatur Negara di Desa, kelak mengrti dan faham dalam terlaksanya program dana desa. UU Desa
Pasal 112 (4) “Pemberdayaan masyarakat Desa sebagai mana dimaksud pada ayat(3) dilaksanakandengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.”
Yang sangat berperan dalam hal sebagai berikut :
  • Membangun kapasitas dan membimbing aparatur desa.
  • Memberdayakan kelompok dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam siklus pembangunan.
  • Mengkoordinasikan para pemangku kepentingan dan memfasilitasi keterkaitan dengan sektor-sektor.
  • Mendorong terbangunnyaa kuntabilitas dan kepatuhan terhadap prosedur.
  • Memastikan terjadinya proses perencanaan yang partisipatif
  • Memastikan hasil kegiatan pembangunan desa berkualitas, pro-poor dan bermaanfat luas.
Dalam hal kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia pada daerah Perdesa serta daerah perkotana sangatlah terlihat dan perlu ada nya pengkajian tentang persebarannya.
Referensi
  • Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia http://bps.go.id di akses pada 15 September 2015
  • IHPS Semester 1 Tahun 2014, BPK RI http://IHPS.go.id di akses pada 15 September 2015
  • KPK. Potensi Persoalan Pengelolaan Dana Desa.http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa di akses pada 15 September 2015
  • UU Desa Pasal 112(4)
  • Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
sumber:fmeindonesia

Program Pemerintah Dalam Upaya Pembangunan Desa

Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa Sanskerta, nawa (sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan). Dalam konteks perpolitikan Indonesia menjelang Pemilu Presiden 2014, istilah ini merujuk kepada visi-misi yang dipakai oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden Joko Widodo/Jusuf Kalla berisi agenda pemerintahan pasangan itu. Dalam visi-misi tersebut dipaparkan sembilan agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan
Adapun ke-9 Nawacita tersebut adalah :
  1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
  2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan demokratis
  3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
  4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
  5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar, Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera.
  6. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
  7. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
  8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional
  9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan

Yang akan kita perdalam di kajian ini adalah nawacita ke 6 khususnya tentang pembangunan desa
ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH2015 – 2019
Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perdesaan
Sesuai dengan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa, tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, membangun potensi ekonomi lokal , serta pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pada periode tahun 2015-2019 pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan desa dan masyarakatnya, serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan untuk mendorong pengembangan perdesaan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi serta mendorong keterkaitan desa-kota. Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2015-2019 dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
  1. Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan Bagi Masyarakat Miskin dan Rentan di Desa : a) Meningkatkan peran dan kapasitas pemerintah daerah dalam memajukan ekonomi masyarakat miskin dan rentan. b) Meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dan rentan dalam pengembangan usaha berbasis potensi lokal; c) Memberikan dukungan bagi masyarakat miskin dan rentan melalui penyediaan lapangan usaha, dana bergulir, kewirausahaan, dan lembaga keuangan mikro.
  2. Peningkatan Ketersediaan Pelayanan Umum dan Pelayanan Dasar Minimum di Perdesaan. a) Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perdesaan dalam hal perumahan, sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase lingkungan) dan air minum. b) Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perdesaan dalam bidang pendidikan dan kesehatan dasar (penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan serta tenaga pendidikan dan kesehatan). c) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar dalam menunjang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat perdesaan yang berupa akses ke pasar, lembaga keuangan, dan toko saprodi pertanian/perikanan. d) Meningkatkan kapasitas maupun kualitas jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, dan jaringan transportasi.
  3. Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan. a) Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, melalui fasilitasi dan pendampingan berkelanjutan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan desa. b) Meningkatkan keberdayaan masyarakat adat, melalui penguatan lembaga adat dan Desa Adat, perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai dengan perundangan yang berlaku.. c) Meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan sosial budaya masyarakat dan keadilan gender(kelompok wanita, pemuda, anak, dan TKI)
  4. Perwujudan Tata Kelola Desa yang Baik. a) Mempersiapkan peraturan teknis pendukung pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, PP No 43/2014 tentang peraturan pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa, dan PP No 60/2014 tentang Dana Desa. b) Memfasilitasi peningkatan kapasitas pemerintah desa. c) Memfasilitasi peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga lembaga lainnya di tingkat desa. d) Mempersiapkan data, informasi, dan indeks desa yang digunakan sebagai acuan bersama dalam perencanaan dan pembangunan, serta monitoring dan evaluasi kemajuan perkembangan desa.. e) Memastikan secara bertahap pemenuhan alokasi Dana Desa. f) Memfasilitasi kerjasama antar desa
  5. Perwujudan Kemandirian Pangan dan Pengelolaan SDA-LHyang Berkelanjutan dengan Memanfaatkan Inovasi dan Teknologi Tepat Guna di Perdesaan. a) Mengendalikan pemanfaatanruang kawasan perdesaan melalui redistribusi lahan kepada petani/nelayan (land reform), serta menekan laju alih fungsi lahanpertanian, kawasan pesisir dan kelautan secara berkelanjutanMemfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kemandirian pangan dan energi perdesaan. b) Memfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakatdalam pemanfaatan, pengelolaan, dan konservasi SDA dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, dan berwawasan mitigasi bencana;
  6. Pengembangan Ekonomi Perdesaan. a) Meningkatkan kegiatan ekonomi desa yang berbasis komoditas unggulan, melalui pengembangan rantai nilai, peningkatan produktivitas, serta penerapan ekonomi hijau. b) Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan pasar desa. c) Meningkatkan akses masyarakat desa terhadap modal usaha, pemasaran dan informasi pasar. d) mengembangkan lembaga pendukung ekonomi desa seperti koperasi, dan BUMDesa, dan lembaga ekonomi mikro lainnya.

UU Desa No 6 tahun 2014 beserta sejumlah peraturan turunannya telah disahkan. Tujuan dari UU tersebut antara lain memajukan perekonomian masyarakat di pedesaan, mengatasi kesenjangan pembangunan kota dan desa, memperkuat peran penduduk desa dalam pembangunan serta meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa.
Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan kepada desa. Salah satunya adalah alokasi khusus APBN untuk pedesaan. Dana tersebut akan dibagikan kepada seluruh desa di Indonesia dengan nilai nominal dan proses sebagaimana yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 60 tahun 2014. Pada RAPBN 2015 dana yang diusulkan Pemerintah sebesar Rp 9.1 triliun.
Undang Undang Desa diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan kemiskinan yang memang secara proporsi lebih besar berada di pedesaan, dan menekan kesenjangan pendapatan antara kota dan desa serta mengoreksi arah pembangunan selama ini yang bias urban.
Data dari BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 15%, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional (kota dan desa) yang sebesar 11,2% tahun 2013. Belum lagi mempertimbangkan jumlah penduduk yang hampir miskin (sedikit berada di atas garis kemiskinan). Olahan data CORE Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata prosentase penduduk perdesaan yang hampir miskin (2 kali di atas garis kemiskinan) di kawasan perdesaan pada tahun 2013 dapat mencapai 61%. Kelompok masyarakat inilah yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan makanan pokok, dll.
Di samping itu, tingkat kesenjangan pendapatan di pedesaan, juga cenderung melebar dalam satu dekade terakhir, tercermin dari koefisien gini ratio yang meningkat dari 0,29 (2002) menjadi 0,32 (2013) meskipun angka ini berada di bawah koefisien gini ratio perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk desa juga lebih memprihatinkan dibanding perkotaan, tercermin dari persentase penduduk berpendidikan tertinggi SD atau lebih rendah hingga 70% (2013).
Lemahnya dukungan terhadap sektor pertanian ditambah dengan tekanan hidup desa yang tinggi mengakibatkan semakin tertekannya petani di pedesaan. Sebagian di antara mereka harus kehilangan lahan dan menjadi buruh tani, atau bermigrasi ke perkotaan, sehingga jumlah rumah tangga petani semakin lama semakin berkurang. Lemahnya daya saing sektor pertanian ini pulalah yang mengakibatkan perubahan struktur ekonomi di banyak daerah di Indonesia dimana telah terjadi pergeseran sektor utama di sejumlah propinsi dari pertanian menjadi non-pertanian.
Akan tetapi, di sisi lain, ada beberapa kekhawatiran mengenai dampak pengalokasian sejumlah besar dana tersebut ke pedesaan. Sejauh mana dana tersebut efektif berdampak pada perbaikan kinerja sektor pertanian yang pada gilirannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, serta bagaimana meminimalkan penyimpangan-penyimpangan penggunaan dana tersebut akibat keterbatasan kapasitas, kualitas dan akuntabilitas sumber daya manusia khususnya di pedesaan.
Perlu dilakukan beberapa upaya untuk memuluskan implementasi, mengantisipasi potensi penyimpangan, dan untuk mencapai tujuan UU Desa, maka perlu dilakukan, pertama, perlunya perumusan definisi maupun kriteria yang tepat bagi desa yang akan mendapatkan alokasi dana. Hal ini dimaksudkan agar tujuan diberlakukannya UU Desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan mengurangi kesenjangan dapat tercapai. Kedua, mensosialisasikan UU Desa kepada masyarakat perdesaan agar masyarakat desa dapat memahami maksud dari UU tersebut sehingga dapat memanfaatkan dana tersebut secara produktif. Ketiga, pentingnya memberikan pendampingan kepada aparat di desa dalam perumusan program, pembukuan, dan sistem pelaporan, misalnya dengan memanfaatkan PNPM. Sistem pelaporan juga harus dibuat sederhana untuk mempermudah pengelola dana di desa yang secara umum terbatas secara kapasitas dan infrastruktur. Keempat, pemerintah perlu pula memperkuat aspek pemantauan dalam pelaksanaan dan penggunaan dana tersebut oleh di tingkat desa, agar potensi penyelewengan dan penyimpangan dapat dihindari.
Meskipun persoalan yang terkait dengan UU Desa ini sangat kompleks, UU ini sangat penting sebagai upaya mengoreksi sistem pengelolaan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi kurang memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri, dan lebih condong/bias ke perkotaan.
sumber : fmeindonesia

Sabtu, 16 April 2016

Pemberdayaan Manajemen Usaha Ekonomi Bagi Perempuan


Perempuan Sebagai Tiang Penyangga Kehidupan Keluarga

Secara sosial dan administrasi formal kepala keluarga selalu dilekatkan kepada laki-laki sebagai suami. Namun realita kesehariannya manajemen ekonomi rumah tangga biasanya ditumpukan kepada perempuan sebagai istri. Istri yang berposisi sebagai ibu dari anak anaknya secara naluri mempunyai keterpanggilan untuk melindungi dan menghidupi anak anaknya. Kebutuhan hidup anggota keluarga menjadi ranah yang dikelola oleh ibu rumah tangga. Ibu tumah tangga sebagai pengelola untuk kehidupan anggota rumah tangga mempunyai tanggung jawab untuk“mengiguhkan” pendapatan keluarga yang dapat mencukupi kebutuhan hidup anggota keluarga dan mendukung cita cita masa depan anggota keluarga. Ketika pendapatan keluarga sangat minim, membutuhkan kecerdasan khusus dalam mengelolanya sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidup dan mendukung cita cita keluarga.

Banyak kasus ketidak mampuan mengelola pendapatan keluarga yang minim untuk mencukupi kebutuhan dan mendukung cita cita mengakibatkan terjadinya “hancurnya” kehidupan rumah tangga itu sendiri. Budaya di Indonesia khususnya di Jawa, tanggung jawab pengelolaan ekonomi rumah tangga ditanggung oleh ibu rumah tangga. Posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga sebagai penyangga keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Perempuan sebagai ubu rumah tangga mempunyai fungsi sebagai “fasilitator” pemberdayaan keluarga yang dapat mengoptimalkan dan effisiensi pendapatan keluarga dan sekaligus sebagai pemasok atau menambah pendapatan keluarga yang dihasilkan oleh kepala keluarga (suami). Ada lima aspek yang harus dijalankan perempuan sebagai penopang kehidupan rumah tangga, yaitu;

Pertama, kemampuan untuk memenihi kebutuhan dasar secara kritis. Artinya kebutuhan manusia banyak dikonstruksi oleh kemauan industri melalui media massa yang sangat intens memprovokasinya. Semua kebutuhan yang ada dikepala manusia banyak merefrensi kepada iklan iklan yang ada pada Televisi, Radio, Poster, dan Spanduk. Misalnya saja kebutuhan alat pembersih diri, sebagian manusia meniru iklan iklan sabun dan sampo. Sehingga ketika ditanya kebutuhan tentang alat pembersih sebagian besar orang akan menunjuk sabun. Apakah tidak ada alternatip lain selain sabun? Begitu juga dengan pakaian, perumahan sampai kesehatan, hampir kebutuhan keluarga dipengaruhi oleh iklan televise, radio dll.

Kedua, mampu menganalisis secara kritis terhadapa berbagai usaha atau karya yang akan dilakukan. Aapakah usaha usaha itu benar benar menguntungkan dirinya atau justru menguntungkan pihak lain? Contohnya, para peternak ayam ras, dimana mulai dari bibit, obat, makanan, peralatan sampai penjualan hasil sangat tergantung dengan pihak luar keluarga. Maka secara perhitungan ekonomis usaha ini sebetulnya lebih menguntungkan pihak diluar keluarga bukan menguntungkan keluarga peternak sendiri. Dengan kata lain para peternak hanya sebagai buruh murah industri poltry.

Ketiga, mampu mengakses kepada pusat pusat suberdaya khususnya permodalan dan teknologi. Para perempuan sebagai penopang ekonomi keluarga, sebaiknya mampu dan trampil berkomunikasi dengan pusat pusat sumberdaya publik. Seperti Bank, transportasi, teknologi dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk meudahkan keluarga untuk memanfaatkan sumber daya tersebut.

Keempat, kemampuan untuk mengelola sumberdaya secara efektip dan effisien. Artinya ketrampilan menejemen menjadi sangat penting sebagai ibu rumah tangga. Menejemen adalah suatu proses untuk mencapai tujuan secara systematis dan berkesinambungan. Barbagai perkembangan menejmen perlu dikritisi sehingga dapat memilih instrumen yang paling tepat untuk diterapkan. Berbagai menejemen telah berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan khidupan manusia. Bahkan sampai saat ini berbagai modul pelatihan menejemen kewiraswastaan rumah tangga terus diperbaiki. Terutama dalam model kepemimpinan kewiraswastaan keluarga saat ini banyak menggunakan leadership by vision dan tran-formative leadership.

Kelima, kemampuan menciptakan pasar. Pada perkembangan terakhir ketrampilan pasar kewiraswastaan rumah tangga bukan saja mampu membaca pasar tetapi kemampuan untuk menciptakan pasar. Sebab tanpa ada kemampuan untuk menciptakan pasar, para keluarga wiraswasta hanya akan didikte oleh para penguasa industri yang bermain dibalik kekuatan media massa. Dengan demikian akan memberi peluang kepada masyarakat untuk dikonstruksi pihak lain akan kebutuhan kebutuhan dasarnya.


Manajemen Usaha Keluarga

Peran perempuan dalam menjalankan manajemen usaha yang dikelola perempuan tidak pernah lepas dari fungsi dan tugas pokok sebagai ibu rumah tangga sebagai pengelola rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak dan menjadi partner suami. Oleh karena itu manajemen usaha keluarga merupakan penjabaran cita cita keluarga yang di bawah tanggung jawab dan ”arahan” kepala keluarga. Manajemen usaha keluarga adalah merupakan perangkat sistem untuk mewujudkan visi atau cita cita keluarga di masa yang akan datang. Tanpa cita cita keluarga yang jelas, tidak akan ada sistem manajemen usaha keluarga yang solid dan tepat.

Perangkat sistem untuk mewujudkan visi atau cita cita keluarga mempunyai tiga aspek utama.

Pertama, aspek perencanaan usaha keluarga. Perencanaan usaha keluarga membutuhkan kemampuan dalam hal; 
  1. Kemampuan membaca peluang usaha yang layak dan menguntungkan dilakukan oleh potensi dan kapasitas sumber daya keluarga. 
  2. Kemampuan mengidentifikasi sumber sumber daya keluarga baik kapasitas dan kemampuan yang dimiliki anggota keluarga. 
  3. Memperhatikan posisi tempat tinggal keluarga hubungannya dengan kelayakan membuka usaha, 
  4. Mengidentifikasi ”potensi modal” keluarga yang dapat digunakan untuk perencanaan usaha. 
  5. Mengenali dan mengakrabi sanak saudara, handai tolan, dan kawan kawan yang dapat menjadi ”pendukung” usaha keluarga.
  6. Menentukan bentuk barang atau jasa yang akan menjadi komonditas usaha.Acuan utama penetuan bentuk barang atau jasa yang akan menjadi komonditas usaha keluarga harus mengacu kepada prospek potensi masa depan pengguna atau pasar. 
  7. Membanngun kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendukung perangkat yang dibutuhkan untuk mengopersionalkan barang atau jasa yang menjadi komonditas usaha keluarga
  8. Mengkalkulasi perhitungan potensi atau prospek keuntungan dan resiko kerugian.


Kedua, pengorganisasian pelaksanaan usaha kelurga, yang mempunyai langkah langkah strategis sebagai berikut; 
  1. Mengkaji, mempelajari, belajar pada pengalaman orang lain atau ikut bekerja pada usaha orang lain yang mempunyai usaha yang mempunyai kesamaan komonditas barang atau jasa yang sedang direncanakan. 
  2. Mengenali atau bekerja sama dengan berbagai pihak yang menguasai bahan baku atau alat yang dibutuhkan mengopersionalkan barang atau jasa yang menjadi komonditas usaha keluarga. 
  3. Mengenali dan mengidentifikasi tingkat kebutuhan/permintaan dan kemampuan daya beli calon pengguna produksi atau jasa dari usaha keluarga yang direncanakan
  4. Memilih dan menentukan tempat usaha yang memperhatikan posisi tempat tinggal keluarga namun tidak tergantung dengan posisi tersebut. 
  5. Menyeleksi dan menentukan tenaga operator pengelola usaha keluarga sesuai dengan kompetensi dan karakter dirinya. 
  6. Menyusun ”proposal” kerja sama permodalan, tempat usaha, alat usaha dan pemasaran dengan berbagai pihak yang ”terpercaya”.


Ketiga, kemampuan untuk membangun kepercayaan. Ada beberpa strategi untuk membangun kepercayaan antara lain: (a) Menjaga integritas pribadi yang konsekuen, jujur dan bertanggung jawab. (b) Mampu menemukan kekhasan diri untuk membangun image positip keberadaannya. (c) Mengembangkan open management, sebagai bentuk transparansi segala transaksi keuangannya kepada stakeholder. (d) Bernai melakukan public accountability. Artinya ada keberanian mempertanggung jawabkan kepa masyarakat luas terhadap penggunaaan suberdayanya.

Keempat, mempunyai kemampuan untuk membangun karakter diri yang tidak mudah menyerah dalam kesulitan. Sebagai contoh para wiraswastawan di Thailand lebih kuat menghadapi krisis ketimbang masyarakat Indonesia. Ada seorang pengusaha Thailand yang malamnya sebagai direktur mengumumkan bahwa perusahaannya bangkrut, pagi harinya sudah membuka usaha makanan martabak di depan bekas kantornya. Kalau pengusaha Indonesia sebagian besar kalau bangkrut tidak cepat bangkit, tetapi justru putus asa.

Kelima, mampu mengorganisir manusia yang tidak menopang pada elemen: (a) Modal atau uang. Banyak manusia tidak dapat mengorganisir orang tanpa ditopang oleh modal atau uang. Seorang wiraswasta tanpa ditopang elem inipun mampu. (b) Otoritas keilmuan. Banyak manusia tidak dapat mengorganisir orang tanpa ditopang oleh otoritas keilmuannya. Seorang wiraswasta tanpa ditopang elem inipun mampu. (c) Kekuasaan, Banyak manusia tidak dapat mengorganisir orang tanpa ditopang olehkekuasaan. Seorang wiraswasta tanpa ditopang elem inipun mampu.


Nick-preneurship Sebagai Strategi Manajemen Usaha yang dikelola Perempuan

Manajemen usaha yang paling layak dan sesuai dengan peran dan fungsi perempuan di dalam keluarga Indonesia adalah menggunakan manajemen usaha dalam perspektip nick- preneurship. Prinsip manajemen nick-preneurship adalah small is profitable, dimana usaha barang dan jasa yang berbasis kepada hoby secara individual dengan menggunakan berbagai bahan baku yang tersedia dalam keseharian dan menggunakan momentum pemasaranya melalui relasi dan kegiatan harian para perempuan.

Contoh (1) nick-preneurship usaha makanan/katring; adalah bagi perempuan yang hoby memasak maka sebaiknya mempunyai usaha produksi atau jasa pembuatan makanan. Bahan baku makan yang digunakan sebaiknya menggunakan bahan bahu yang setiap harinya digunakan untuk membuat makanan keluarga. Cara penjualannya bisa menitipkan produksi makanan kepada warung warung terdekat, atau dititikan anak atau saudaranya yang pergi ke sekolah atau bekerja.

Contoh (2) nick-preneurship rias dan alat kosmetik; adalahperempuan yang hoby merias diri di salon, maka sebaiknya mempunyai usaha jasa rias. Bahan bakunya adalah alat alat kosmetik yang biasa dipakai oleh dirinya dan teruji kualitasnya. Sehingga disamping berusaha sebagai jasa merias juga bisa menjadi distributor alat kecantikan. Para pelanggannya adalah bermula dari saudara atau kawan dekatnya.

Contoh (3) nick-preneurhip produksi hiasan rumah; adalah bagi perempuan yang hoby merangkai bunga, maka sebaiknya membuka usaha produksi bunga hias baik imitasi maupun buka alami. Bahan bakunya bisa dari barang barang “bekas” atau tanaman hias yang sudah dipakai atau disenangi. Cara penjualannya bisa melalui hubungan keluarga, teman atau menitipkan pada toko toko yang dipercaya.

Keunggulan manajemen usaha dengan perspektip nick-preneurship adalah tidak terlalu membutuhkan modal usaha yang relatip besar, dan pengelolaannya tidak terlalu mengurangi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Sumber: fajardesa.blogspot.co.id

Sabtu, 09 April 2016

Potensi Kelemahan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Pada Tataran Kebijakan Sebelum Pencairan Dana Desa

Penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengukuhkan keberadaan desa sebagai subyek dalam pembangunan. Hal ini selaras dengan tujuan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan serta menciptakan upaya kemandirian daerah dengan potensi yang dimilikinya. Undang-Undang tersebut memberikan dorongan kepada masyarakat untuk membangun dan mengelola desa secara mandiri. Untuk itu, setiap desa akan mendapatkan dana melalui Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN) dengan jumlah yang sangat signifikan.
Besarnya dana desa yang akan diterima setiap desa di seluruh Indonesia menimbulkan kekhawatiran bagi banyak pihak. Terdapat potensi adanya kesalahan pengelolaan dana desa mulai dari pengganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporannya. Untuk itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di desa, maka dituntut adanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, baik atas keuangan, kinerja, maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kajian dan penelitian BPKP pada tataran kebijakan sebelum pencairan dana desa ada beberapa potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan dana desa, antara lain sebagai berikut:
  1. Adanya keterlambatan penerbitan kebijakan mengenai dana desa dan terjadinya perubahan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan pengelolaan dana desa;
  2. Terdapat potensi kelemahan akuntabilitas berupa:
  1. perbedaan jangka waktu RPJM Kabupaten/Kota dengan RPJM Desa dapat menimbulkan disharmoni pembangunan antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan desa;
  2. kualitas akuntabilitas perencanaan dan penganggaran dana desa dapat berkurang mengingat kurangnya keterbukaan;
  3. perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kekhasan daerah sehingga berpotensi bagi tidak tercapainya sasaran, tujuan, dan visi desa, yakni kesejahteraan masyarakat desa;
  4. ketiadaan indikator berikut target pembangunan desa berpotensi mengakibatkan pembangunan desa tidak terarah;
  5. perencanaan dan penganggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat/hajat hidup orang banyak sehingga berpotensi menjadikan pembangunan desa tidak efektif, efisiensi, dan ekonomis;
  6. pertanggungjawaban publik oleh kepala desa dalam perencanaan dan penyusunan anggaran belum dilakukan baik kepada Badan Permusyawaratan Desa maupun kepada masyarakat desa;
  7. keterlambatan ketersediaan pedoman umum dan pedoman teknis berpotensi kepada keterlambatan dimulainya pembangunan desa yang bersumber dari dana desa dan ketidaksesuaian pengelolaan dana desa dengan ketentuan yang seharusnya.
Berdasarkan hasil kajian tersebut BPKP menyarankan beberapa hal untuk:
  1. Melakukan kajian dana desa setelah dana desa cair dan pelaksanaan pengelolaan dana desa telah dilakukan. Hal ini perlu dilakukan agar diperoleh gambaran komprehensif mengenai potensi kelemahan akuntabilitas pengelolaan keuangan dana desa.
  2. Melalui Deputi Kepala BPKP terkait, agar memberi masukan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong pemerintah daerah agar segera menyusun dan menerbitkan pedoman umum dan pedoman teknis pelaksanaan penggunaan Dana Desa
Sumber : BPKP

Rabu, 06 April 2016

Daftar Peraturan Bupati yang Dibutuhkan untuk Penerapan Undang-Undang Desa

PERATURAN BUPATI YANG DIPERLUKAN DALAM IMPLEMENTASI UU DESA

Sejumlah Peraturan Bupati (Perbup) diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Perbup tersebut menterjemahkan hal-hal yang diatur dalam UU Desa menjadi semakin jelas dan operasional. Karena itu, gerakan desa perlu mendorong para bupati di daerahnya untuk menetapkan perbup itu.

Apa saja Perbup yang dibutuhkan oleh desa? Berikut ini adalah daftar Perbup untuk mengimplementasikan UU Desa :

  1. Perbup Tentang Pembentukan Desa Persiapan (Pasal 10 ayat 5). Dalam hal rekomendasi Desa persiapan dinyatakan layak, bupati/walikota menetapkan peraturan bupati/walikota tentang pembentukan Desa persiapan.
  2. Perbup Tentang Penghapusan dan pengembalian Desa persiapan ke Desa induk (Pasal 16 ayat (2)Penghapusan dan pengembalian Desa persiapan ke Desa induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
  3. Perbup Tentang Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (Pasal 37 ayat 2). Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota menetapkan peraturan bupati/walikota tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Perbup Tentang Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa (Pasal 81 ayat (5)Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
  5. Perbup Tentang Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah (Pasal 82). (1) Selain menerima penghasilan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah. (2) Tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari APB Desa dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota”.
  6. Perbup Tentang Pengalokasian ADD dan Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian ADD (Pasal 96). (4) Pengalokasian ADD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. (5) Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian ADD diatur dengan peraturan bupati/walikota.
  7. Perbup Tentang Pengalokasian dan tata cara pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa (Pasal 97). (3) Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa diatur dengan peraturan bupati/walikota.
  8. Perbup Tentang Tata cara penyaluran ADD dan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (Pasal 99 ayat (2). Tata cara penyaluran ADD dan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.
  9. Perbup Tentang Pengadaan barang dan/atau jasa di Desa (Pasal 105). Pengadaan barang dan/atau jasa di Desa diatur dengan peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.


http://forumwarga.or.id/Yossy Suparyo