Cari Blog Ini

Senin, 12 September 2016

Resiko Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Hasil gambar untuk korupsi pengadaan barang dan jasa


Berdasarkan pengalaman dan penelitian yang dilakukan TI, mulai sejak tahap awal dan akhir proses pengadaan barang dan jasa sangat rawan terjadi korupsi. Hal-hal yang menyebabkan resiko korupsi sebagai berikut:
  • Keterbatasan atau pelarangan akses mendapatkan informasi
  • Penyalahgunaan sistem penunjukan langsung atau tender tertutup
  • Keterbatasan atau tidak efisiennya pengawasan dan pemantauan selama proses tender dilakukan, bahkan dalam tahap pelaksanaan di lapangan
  • Kurangnya transparasi dalam tahap penghitungkan anggaran


Berikut merupakan gambaran beberapa faktor dan hal yang berpotensi meningkatkan resiko korupsi:


“Belanja Mendesak” di Akhir Tahun Anggaran
Belanja yang mendesak pada akhir tahun anggaran, kerap menjadi subjek terjadinya praktik korupsi. Sebab, biasanya transaksi pada periode ini kurang diawasi secara ketat. Di banyak lembaga publik, banyak dana yang tidak dibelanjakan hingga akhir tahun anggaran sehingga mendorong pejabat di lembaga tersebut untuk segera menghabiskannya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Tak aneh, jika kemudian banyak dana yang menghilang atau dihabiskan dalam sekejap menjelang akhir tahun anggaran. Dalam situasi “darurat” tersebut, biasanya proses tender dilakukan dengan penunjukan langsung meski sebenarnya proses tender terbuka masih memungkinkan.

Masa Tanggap Darurat Saat Bencana Alam atau Bencana Lainnya.
Pengadaan barang dan jasa saat terjadi bencana beresiko terjadi korupsi. Hal ini terjadi karena adanya jumlah dana yang besar dan harus dibelanjakan secara cepat untuk menanggulangi permasalahan kemanusiaan. Seperti tempat tinggal sementara, penyediaan air bersih. Berdasarkan pada resiko ini, diharapkan organisasi kemanusiaan memiliki kesadaran untuk melakukan upaya pencegahan korupsi melalui penguatan sistem distribusi bantuan dengan merekrut staf yang profesional. Resiko tersebut kian bertambah dengan adanya tekanan agar bantuan dikirim secepatnya kepada korban yang membutuhkan.

Resiko korupsi muncul disebabkan sulitnya proses pengadaan barang dan jasa, termasuk di daerah peperangan dimana bantuan dapat terjebak dalam konflik yang terjadi.
Masalah korupsi yang terjadi saat situasi darurat adalah pengelolaan prioritas bantuan yang juga membutuhkan bukti transaksi dan hal lain seperti efisiensi. Secara esensial, resiko korupsi dapat dikurangi bila sistem manajemen dilakukan secara benar, akuntabel dan transparan kepada korban.

Kurangnya Akses Informasi

Korupsi secara diam-diam telah berkembang dengan sangat pesat. Meski pemerintah secara pro aktif telah mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan atas informasi, namun penerapan yang lemah telah menyebabkan peluang untuk memanipulasi informasi tetap terjadi. Oleh sebab itu, transparansi dan kebebasan atas informasi merupakan komponen penting dalam upaya menggurangi terjadinya korupsi. Seharusnya, akses informasi disediakan secara efisien dan layak, misalnya penggunaan situs internet, atau pemasangan billboard atau pengumuman di radio dan sebagainya.

Standarisasi Dokumen Tender

Standarisasi dokumen tender dan pengadaan lainnya akan lebih mudah dipredikasi dan lebih sistematis. Bila tidak ada standarisasi dokumen tender akan menimbulkan adanya upaya manipulasi yang menyebabkan kerancuan dalam pengambilan keputusan.

Penetapan Peserta Tender

Pada umumnya, kecenderungan untuk menentukan peserta tender tertentu akan beresiko mengurangi tingkat fairness dalam proses pengadaan barang dan jasa dan biasanya diikuti dengan peningkatan biaya pembelian. Jika peserta tender telah ditetapkan, penting untuk memastikan proses tersebut dilakukan secara bersih dan jelas serta mengikuti peraturan administratif menurut aturan-aturan yang berlaku.

Keikutsertaan Perusahaan Milik Pejabat Publik

Jika perusahaan peserta tender dimiliki atau sebagian sahamnya oleh pejabat publik, maka sistem transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dipastikan berjalan dengan baik. Masalahnya, terkadang kepemilikan perusahaan tidak diperiksa terlebih dahulu. Oleh sebab itu, perlu ditambahkan persyaratan khusus bahwa seluruh peserta tender mendapat perlakuan sama. Lebih lanjut juga diperlukan informasi tentang struktur kepemilikan resmi perusahaan dalam dokumen tender.
Beberapa tanda potensi resiko yang harus diperhatikan mengenai status kepemilikan resmi perusahaan agar dapat diambil langkah-langkah pencegahannya, sebagai berikut:
  • Perusahaan dengan struktur kepemilikan tidak jelas, tetapi sering memenangkan kontrak-kontrak besar pemerintah
  • Anggota keluarga dari pejabat tinggi publik yang memegang kepemilikan dan memegang peran dalam sebuah perusahaan;
  • Kelompok masyarakat yang berhubungan dekat (kolega) dengan pejabat publik atau kelompok bisnis yang dipimpin oleh pejabat publik; dan
  • Pejabat publik kerap datang atau berhubungan dengan pemilik perusahaan

Keikutsertaan Perusahaan “Boneka”


Perusahaan-perusahaan boneka biasanya berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi secara aktif dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemiliknya. Selain itu, biasanya perusahaan semacam ini hanya dijadikan sebagai kedok oleh pejabat publik atau anggota keluarganya, sub kontraktor untuk membuat perjanjian yang kolutif antar sesama peserta tender.
Bank Dunia mengindikasikan tanda-tanda keterlibatan perusahaan semacam ini dalam tender, antara lain:
  • Ketidakjelasan bentuk pekerjaan sebagai subkontraktor pada proyek besar
  • Perusahaan tersebut terdaftar dalam yuridiksi yang memperbolehkan kerahasiaan kepemilikan dan pengelolanya;
  • Perusahaan menghendaki pembayaran faktur secara rahasia yang diatur dalam secara hukum;
  • Adanya pekerjaan yang terselubung dalam portofolionya;
  • Struktur kepemilikan terdiri dari kantor hukum atau kelompok bisnis;
  • Minimnya fasilitas yang dimiliki perusahaan;
  • Jalur komunikasi untuk perusahaan berupa tempat tinggal perorangan atau layanan mesin penjawab telepon; 
  • Tidak adanya catatan kinerja dalam database perusahaan

Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa


Dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah, ada beberapa bentuk korupsi. Bentuk yang paling sering dilakukan dan terang-terangan adalah penyuapan dan pemberian uang pelicin (uang rokok, uang bensin dan sebagainya) hingga bentuk lainnya yang lebih halus dalam bentuk korupsi politik.


Penyuapan vs Uang Pelicin. 
Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap. Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah terutama yang terkait persoalan hukum (misalnya dalam pemeriksaan bagasi oleh pihak bea cukai) atau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak. Kedua bentuk kejahatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi yang dilarang di hampir seluruh negara.



Suppy vs Demand. 
Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai “korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu melakukan apa saja kecuali bersikap “pasif”.



Kartel atau Kolusi. 
Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.



Struktur vs Situasional. 
Korupsi dalam konteks bisnis sering berbentuk “struktural”, yang berarti telah direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi “situasional” adalah tanpa direncanakan, misalnya ketika seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya agar tidak memberikan surat tilang.

Korupsi dan resiko korupsi dapat terjadi dalam seluruh proses pengadaan barang dan jasa. Korupsi dapat terjadi dalam tahapan-tahapan berikut:

  • Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan,
  • Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender,
  • Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender,
  • Tahap pelaksanaan pekerjaan,
  • Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
Diperlukan adanya upaya pencegahan dan pengawasan (atau due deligence) untuk menanggulangi munculnya “tanda-tanda bahaya” yang diperkirakan akan berpotensi korupsi.


Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis resiko korupsi adalah menemukenali dan membedakan masalah yang menyebabkan korupsi, apakah disebabkan sistem yang tidak efisiensi atau justru pelaksanaan sistemnya yang keliru. Apabila keputusan yang dihasilkan kurang memuaskan, maka pendekatan analisis berikutnya harus ditinjau dari sisi alasan penyebab kejadiannya, terutama jika diduga ada aksi kejahatan.

Tak semua masalah efisiensi dapat dikaitkan dengan korupsi, demikian pula sebaliknya. Disisi lain, hal yang terkadang terlihat sebagai tindakan korupsi dapat disebabkan oleh sebuah kesalahan kecil atau adanya kelemahan kapasitas pelaksananya. Meski upaya untuk pencegahan korupsi masih lemah, namun mungkin kelak akan diperlukan dalam sebuah reformasi sistem. Sebagai contoh, jika reformasi bertujuan mengefisiensikan proses pengadaan barang dan jasa, tetapi mengacuhkan aspek transparansi dan penyebarluasan informasi, dikhawatirkan rekomendasi yang dihasilkan akan menjadi bumerang ketika dilakukan evaluasi. Demikian pula sebaliknya. Proses pengadaan barang dan jasa yang transparan tetapi tidak efisien juga akan berdampak pada hasil dan target yang diharapkan karena proses yang terlalu lama. Berikut ini adalah contoh manifestasi dan resiko korupsi yang paling sering dijumpai dalam setiap tahapan:



Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan

  • Ketidakharusan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat,
  • Menerapkan sistem baru (yang potensial menawarkan suap) yang justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran yang sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (yang justru meminimalkan korupsi),
  • Adanya investasi yang secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada,
  • Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikan agar melebihi batas kebutuhan,
  • Suap untuk politisi dan uang “terima kasih” (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra – perjanjian tertentu dengan kontraktor),
  • Konflik kepentingan (conflict of interest- termasuk revolving door movement) dimana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.
Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender
  • Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung,
  • Menaikan atau mengurangi jumlah barang atau jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor,
  • Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, yang bertujuan menyembunyikan rencana-rencana korupsi,
  • Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender,
  • Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.
Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender
  • Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan “uang terima kasih” (kickback) atau adanya konflik kepentingan),
  • Seleksi kriteria yang sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran didalamnya,
  • Adanya pemberian informasi yang bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak diberikan kepada seluruh peserta tender,
  • Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen yang rahasia tersebut justru disebarluaskan sehingga menyebabkan proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan,
  • Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparasi hasil evaluasi penawaran),
  • Pembayaran harga yang sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender yang tidak benar.
Tahap pelaksanaan pekerjaan
  • Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang yang lebih rendah, kualitas yang kurang baik atau berbeda dari spesifikasi dari kontrak yang telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan yang memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya,
  • Re-negosiasi kontrak atau penggantian klausul kontrak yang mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan,
  • Harga yang meningkat “akibat perubahan kontrak” sebagai dampak atas perubahan spesifikasi yang disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi,
  • Munculnya tuntutan yang dibuat-buat,
  • Pengawas atau pemantau telah dibeli atau tidak independen agar mereka membuat laporan yang tidak benar atau memalsukan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya,
  • Negosiasi ulang atau penambahan perubahan yang substansial didalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.
Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
  • Akuntan dan auditor yang melakukan audit tidak jujur atau telah “dibeli” dan meluluskan banyak bukti-bukti akuntansi yang tidak benar
Sumber : Ceris Institute

Selasa, 30 Agustus 2016

MEMAHAMI PENGADAAAN BARANG DAN JASA TINGKAT DESA

Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana definisi yang tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-undang yang mengatur mengenai desa tersebut, menjabarkan beberapa hal, diantaranya definisi, kewenangan, hak dan kewajiban, penyelenggaraan desa, hingga keuangan desa. Terkait dengan keuangan desa, dalam hal ini dana desa, Permendes No 5 Tahun 2015 menyebutkan mengenai definisi dana desa, Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat, atau jika disederhanakan, dana desa merupakan seluruh dana yang dikelola dan dikeluarkan melalui APBDes. Sumber pendapatan dana desa, sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa berasal dari:

  1. Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
  2. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  3. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
  4. Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
  5. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
  6. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
  7. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Fungsi sumber-sumber dana desa tersebut diantaranya dipergunakan untuk mendukung kewenangan yang dimiliki oleh desa, yaitu kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pemerintah mendukung kewenangan desa dengan mengalokasikan sejumlah dana yang akan dikelola sekitar kurang lebih 79.000 desa (BPS, 2012). Dana yang dialokasikan untuk desa-desa tersebut, pada tahun 2015 mencapai Rp664.121,9 milyar (RAPBNP 2015). Dengan angka yang jumlahnya tidak sedikit, dibutuhkan aturan-aturan agar dana desa dapat dimanfaatkan secara ekonomis, efektif, dan efisien. Salah satunya peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa yang diatur melalui Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2013 mengenai Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
Pemerintah mengeluarkan aturan tersendiri mengenai pengadaan Barang dan Jasa untuk desa, padahal sudah ada Perpres Nomor 54 tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Apakah itu berarti Perpres Nomor 54 tahun 2010 tidak berlaku untuk desa? Ya, Perpres 54 tahun 2010 tidak berlaku untuk desa karena Dana Desa tidak termasuk dalam ruang lingkup Perpres No 54 Tahun 2010. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 Perka LKPP No 13 Tahun 2013: “Pengadaan Barang/Jasa di Desa yang pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”.
Ada beberapa poin penting dalam pengadaan barang dan jasa desa, sebagai berikut:
  1. Prinsip dan Etika
Capture

Meskipun Perpres 54 Tahun 2010 tidak berlaku untuk Pengadaan Barang/Jasa Desa, masih ada beberapa aturan yang mirip ataupun sama antara Perka LKPP No 13 Tahun 2013 dengan Perpres No 54 Tahun 2010, diantaranya prinsip dan etika pengadaan barang dan jasa, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut:
Sedangkan etika yang harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa desa yaitu bertanggung jawab, mencegah kebocoran dan pemborosan keuangan desa, dan patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
  • Pelaksanaan PBJ
Penetapan pelaksanaan pengadaan Barang dan Jasa Desa prinsipnya dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat, namun tidak serta merta dilaksanakan secara swakelola, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh desa, yaitu:
  1. Memaksimalkan penggunaaan material/bahan dari wilayah setempat.
  2. Dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat
  3. Untuk memperluas kesempatan kerja
  4. Untuk pemberdayaan masyarakat setempat
Untuk pekerjaan yang tidak mampu ditangani secara swakelola oleh desa maupun membutuhkan barang/jasa untuk mendukung swakelola yang dilaksanakan masyarakat, misalnya pembelian material pada swakelola pembangunan jembatan desa atau sewa peralatan untuk swakelola pembangunan balai desa, PBJ dapat dilaksanakan desa melalui penyedia barang/jasa.
  • Pejabat Pengadaan
Dalam Perpres 54 Tahun 2010 tugas pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh ULP/pejabat pengadaan, sedangkan dalam PBJ desa, tugas pengelolaan pengadaan PBJ desa dilaksanakan oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK), baik pengadaan secara swakelola maupun melalu penyedia barang/jasa. Tugas TPK dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa desa meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban hasil pekerjaan. Tugas TKP secara spesifik sebagai berikut:

  1. Menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB)
  2. Menyusun spesifikasi teknis barang/jasa apabila diperlukan
  3. Melaksanakan pembelian / pengadaan
  4. Memeriksa penawaran
  5. Melakukan negosiasi (tawar menawar)
  6. Menandatangani surat perjanjian (ketua TPK)
  7. Melakukan perubahan ruang lingkup pekerjaan
  8. Melaporkan kemajuan pelaksanaan pengadaan kepada kepala desa
  9. Menyerahkan hasil pekerjaan setelah selesai 100% kepada kepala desa

  • Pengadaan menggunakan penyedia barang/jasa
Untuk pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola karena desa tidak mampu, merupakan barang/jasa untuk mendukung swakelola ataupun pekerjaan konstruksi yang membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, TPK dapat melaksanakan pengadaan melalui penyedia barang/jasa dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00.
TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia barang/jasa tanpa permintaan penawaran tertulis dari TPK maupun dari penyedia. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah dan selanjutnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK
  1. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00.
TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia barang/jasa dengan cara meminta penawaran tertulis dari penyedia dilampiri dengan daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, dan satuan). Penyedia menyampaikan penawaran tertulis yang berisi daftar barang/jasa dan harga. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah dan selanjutnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK
  1. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp 200.000.000,00.
TPK mengundang dan meminta dua penawaran tertulis dari dua penyedia yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa dan spesifikasi teknisnya. Penyedia menyampaikan penawaran tertulis berisi daftar barang/jasa dan harga. TPK kemudian menilai spesifikasi teknis dari kedua calon penyedia tersebut. Jika keduanya memenuhi spesifikasi teknis, maka dilakukan tawar menawar secara bersamaan. Namun jika hanya satu yang memenuhi spesifikasi teknis, dilanjutkan dengan tawar menawar kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Jika keduanya tidak memenuhi spesifikasi teknis, maka proses akan diulang dari awal. Jika negosiasi berhasil, hasil tersebut dituangkan dalam surat perjanjian.
Jika dilihat secara umum, pengadaan barang/jasa desa relatif lebih sederhana bila dibandingkan dengan pengadaan barang/jasa menurut Perpres 54 Tahun 2010. Bahkan pengadaan barang/jasa di desa tidak harus tunduk secara saklek dan sama kepada peraturan LKPP diatas karena Perka LKPP hanyalah pedoman secara umum. Setiap daerah dapat membuat dan menetapkan aturan tersendiri sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat asalkan masih memenuhi prinsip serta etika pengadaan.

Sumber : Tatakelola.com

Minggu, 28 Agustus 2016

SOAR ANALYSIS


Analisis SOAR

Stavros, Cooperrider, dan Kelly (2003) menawarkan konsep SOAR  (Strengths, Opportunities,  Aspirations,  Results)  sebagai alternatif terhadap analisis SWOT, yang berasal dari pendekatan Appreciative  Inquiry  (AI).  Pendekatan  ini  mulai  dipopulerkan  oleh David   Cooperrider,   dalam   bukunya   Introduction  to Appreciative Inquiry (1995). Beliau sebelumnya sudah menulis dalam disertasi doktoralnya Appreciative Inquiry: Toward a Methodology for Understanding  and  Enhancing  Organizational  Innovation, di Universitas  Case  Western  Reserve,  Ohio.  Sehingga  boleh  dibilang, beliau adalah pelopor dan yang mempopulerkan pendekatan ini. Model SOAR mengubah analisis SWOT, yang sudah sangat mapan, dalam hal faktor-faktor  kekurangan  (weakness)  internal organisasi  serta  ancaman  (threats)  eksternal  yang  dihadapinya  ke dalam  faktor-faktor  aspirasi  (aspiration)  yang  dimiliki  perusahaan serta hasil (results) terukur yang ingin dicapai. Model analisis ini beranggapan  bahwa  faktor  kekurangan  dan  ancaman  dapat memunculkan perasaan negatif bagi para anggota organisasi, sehingga menurunkan motivasi mereka untuk berbuat yang terbaik. Dalam kerangka kerja SOAR, sebanyak mungkin stakeholder dilibatkan, yang didasarkan pada integritas para anggotanya. Masalah integritas menjadi sangat penting karena para stakeholder harus menyadari asumsi-asumsi yang menjadi dasar penggerak bagi para pemimpin organisasi

  1. Strength (S) Hal-hal yang menjadi kekuatan serta aset terbesar yang dimiliki diungkapkan,   baik  aset  yang  berwujud   maupun   aset  yang  tidak berwujud. Tujuan pengungkapan ini adalah untuk memberikan penghargaan terhadap segala hal-hal positif yang dimiliki, yang pasti akan selalu dimiliki baik oleh individu maupun organisasi. Kekuatan inilah  yang  akan  terus  dikembangkan   demi  kemajuan   organisasi maupun individu di masa depan
  2. Opportunities (O) Berarti dilakukannya analisis terhadap lingkungan eksternal guna mengidentifikasi peluang terbaik yang dimiliki  serta dapat dimanfaatkan oleh organisasi Lingkungan eksternal adalah sebuah wilayah yang penuh dengan berbagai macam  kemungkinan dan peluang. Salah satu syarat bagi keberhasilan suatu perusahaan adalah kemampuannya memaksimalkan peluang yang dimiliki. Hal ini mensyaratkan adanya cara pandang yang positif dalam memandang lingkungan eksternal yang berubah dengan sangat cepat
  3. Aspirations (A) Para  anggota  organisasi  berbagi  aspirasi  dan  merancang  kondisi masa  depan  yang  mereka  impikan,  yang  dapat  menimbulkan  rasa percaya diri dan kebanggaan baik terhadap diri sendiri, pekerjaan, departemen, maupun organisasi secara keseluruhan. Saling berbagi aspirasi ini menjadi hal yang sangat penting guna menciptakan  visi, misi serta nilai yang disepakati bersama, yang menjadi panduan bagi perjalanan organisasi menuju masa depan. 
  4. Results (R) Berarti menentukan ukuran dari hasil-hasil yang ingin dicapai (measurable results) dalam perencanaan strategis, guna mengetahui sejauh  mana  pencapaian  dari  tujuan  yang  telah  disepakati  bersama. Agar para anggota  organisasi  merasa  termotivasi  dalam usaha mencapai  tujuan  yang  telah  ditetapkan  ini,  maka  perlu  dirancang sistem pengakuan (recognition) dan reward yang menarik.


Tahapan Analisis


Analisis SOAR bagi perencanaan strategis dimulai dengan initiate (keputusan untuk memilih SOAR) kemudian dilanjutkan dengan   penyelidikan   (inquiry)   yang   menggunakan pertanyaan positif   guna   mempelajari   nilai-nilai   inti,   visi,   kekuatan,   dan peluang potensial.   Dalam  fase  ini,  pandangan-pandangan   dari setiap  anggota  organisasi dihargai.  Penyelidikan  juga  dilakukan guna memahami secara utuh nilai-nilai yang dimiliki oleh para anggota organisasi serta hal-hal terbaik yang pernah terjadi di masa lalu. 

Kemudian anggota organisasi dibawa masuk ke dalam fase imajinasi, memanfaatkan waktu untuk “bermimpi” dan merancang masa depan yang diharapkan. Dalam fase ini, nilai-nilai diperkuat, visi dan misi diciptakan. Sasaran jangka panjang dan alternatif strategis dan rekomendasi diumumkan. Fase selanjutnya adalah inovasi, yaitu dimulainya perancangan sasaran  jangka  pendek,  rencana  taktikal  dan fungsional, program, sistem, dan struktur yang terintegrasi untuk mencapai  tujuan masa depan yang diharapkan.  Guna tercapainya hasil  terbaik  yang  terukur,  karyawan  harus  diberikan  inspirasi melalui sistem pengakuan dan penghargaan.

Diagram Analisis SOAR

Diagram  analisis  SOAR  merupakan  diagram  yang berfungsi untuk mengidentifikasi situasi dan posisi yang dihadapi oleh perusahaan dalam persaingan bisnis menurut faktor-faktor strategi  internal  yang  dimiliki  perusahaan  dan  eksternal  yang dihadapi  perusahaan.   diagram  SOAR  menurut   Stavros, Cooperrider, and Kelley (2003) adalah sebagai berikut :


Diagram diatas menggambarkan 2 kondisi yaitu :
  1. Strategic Planning Fokus : perencanaan yang dilakukan focus berdasarkan  hasil  tabel  Strengths  dan  Opportunities. Berdasarkan kondisi dari perusahaan / organisasi
  2. Human Development Strategy : perencanaan yang fokus berdasarkan hasil tabel Aspiration dan Results. Bersumber dari semua elemen stakeholder (personal) perusahaan / organisasi.


Matrix SOAR 

Matrix Analisis SOAR dibagi menjadi 4 kondisi sebagai berikut :


Matrik SOAR berfungsi untuk menyusun faktor-faktor strategis yang menggambarkan bagimana kekuatan dan peluang  eksternal  yang  dihadapi  perusahaan  dapat  disesuaikan dengan aspirasi dan hasil terukur  yang dimilikinya. 

Penjelasan matrix SOAR : 
  1. Strategi SA : strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mencapai aspirasi yang diharapkan
  2. Strategi   OA  :  strategi   ini  dibuat  untuk   mengetahui   dan memenuhi aspirasi dari setiap stakeholder yang beriorientasi kepada peluang yang ada 
  3. Strategi SO : strategi  ini dibuat untuk mewujudkan  kekuatan untuk mencapai Hasil yang terukur 
  4. Strategi OR : Strategi ini beriorientasi kepada Peluang untuk mencapai Result yang sudah terukur 


Darfison : dari berbagai sumber

Selasa, 23 Agustus 2016

PERMENDES No. 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN


Pembangunan Kawasan Perdesaan adalah pembangunan antar desa yang dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Hal ini dalam ketentuan umum Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 tahun 2016 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan.
Peraturan Menteri ini rupanya untuk menjembatani dan menggarisbawahi pembangunan kawasan perdesaan, yang mana desa sudah memiliki RPJMDesa sendiri dan kemudian harus melihat lingkungan antar desa, kemudian apa kemauan pembangunan yang dimaui oleh Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri ini hanya melihat dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, di setujui oleh Kepala Desa dan Tokoh Masyaarakat Desa. Sementara prosesnya akan diekseskusi oleh TKPKP yang kepanjangannya adalah Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan setelah menjadi peraturan bupati atau walikota. Atau lebih tepatnya menunjukkan bahwa masih ada penguasa wilayah selain Kepala Desa, di desa-desa seluruh Indonesia.
Pembangunan Kawasan Perdesaan memunculkan sebuah lembaga baru yaitu TKPKP. Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan, selanjutnya disingkat TKPKP, adalah lembaga yang menyelenggarakan pembangunan kawasan perdesaan sesuai dengan tingkatan kewenangannya. Disebutkan begitu dalam Permendesa PDTTrans Nomor 5/2016.
Prinsip dan Tujuan Pembangunan Kawasan Perdesaan diselenggarakan dengan Prinsip (Pasal 2) Partisipasi, holistik dan komprehensif, berkesinambungan, keterpaduan, keadilan, keseimbangan, transparansi dan akuntabilitas. Tidak ada kata INKLUSIF di dalamnya. Pembangunan kawasan perdesaan bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pengembangan ekonomi, dan/atau pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif dengan mengintegrasikan berbagai kebijakan, rencana, program, dan kegiatan para pihak pada kawasan yang ditetapkan. (Pasal 3 ayat 1) dalam ayat 2 pasal 3 disebutkan bahwa prioritas Pembangunan Kawasan Perdesaan pada pengembangan potensi dan/atau pemecahan masalah kawasan perdesaa.
Penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan berdasar aturan Keputusan Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (pasal 4 ayat 2) dan untuk pembangunan kawasan tertentu diatur oleh Direktur Jenderal Tehnis masing-masing (Pasal 4 ayat 3). Penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan didalamnya adalah pengusulan kawasan perdesaan, penetapan dan perencanaan kawasan perdesaa, dan pelaporan dan evaluasi pembangunan kawasan perdesaan.

Pengusulan Kawasan Perdesaan

Pengusulan Kawasan Perdesaan dalam Permendesa Nomor 5 tahun 2016 berdasarkan prakarsa Bupati/Walikota dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa atau disusulkan oleh beberapa desa (Pasal 5 ayat 1) dan dapat dibantu oleh pihak ketiga (pasal 5 ayat 2), dan harus memiliki gagasan kawasan perdesaan sesuai pasal 3 ayat 1. Kawasan yang diusulkan disepakati oleh Kepala Desa yang wilayahnya menjadi kawasan perdesaan dengan bentuk surat kesepakatan kawasan perdesaan (Pasal 5 ayat 4) dan kemudian diserahkan kepada bupati/walikota (ayat 5). Juga harus mendapatkan persetujuan tokoh masyarakat di kawasan yang diusulkan sebagai kawasan perdesaan.

Penetapan dan perencanaan kawasan Perdesaan

Penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan ada dalam pasal 6 sampai dengan pasal 9 Permen Desa nomor 5 tahun 2016. Penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan memperhatikan RTRW Kabupaten/Kota dan RPJMD Kabupaten/Kota terutama dalam penentuan prioritas, jenis dan lokasi program pembangunan. Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan disusun oleh TKPKP Kabupaten/Kota. Yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Jangka waktu pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan rencana pembangunan kawasan perdesaan adalah rencana program pembangunan jangka menengah yang berlaku selama 5 tahun (pasal 7 ayat 1) yang terdiri atas kegiatan prioritas tahunan. Rencana pembangunan kawasan perdesaan setidaknya ada didalamnya tentang isu strategis kawasan perdesaan, tujuan dan sasaran pembangunan kawasan perdesaan, strategi dan arah kebijakan kawasan perdesaan, program dan kegiatan pembangunan kawasan perdesaan, indikator capaian kegiatan dan kebutuhan pendanaan.
Mekanisme Penyusunan rencana pembangunan kawasan perdesaan (Pasal 8) dimulai dengan Bupati/Walikota memprakarsai proses perencanaan pembangunan kawasan perdesaan melalui TKPKP kabupaten/kota, TKPKP dalam melakukan proses penyusunan rencana pembangunan kawasan perdesaan dapat dibantu oleh pihak ketiga. Pasal 8 huruf b.
Kawasan yang dapat ditetapkan sebagai kawasan perdesaan adalah beberapa desa yang berbatasan dalam sebuah wilayah perencanaan terpadu yang memiliki kessamaan, keterkaitan masalah dan potensi pengembangan dan merupakan bagian dari suatu kabupaten/kota (pasal 9 ayat 1). Pasal 9 ayat 2 menentukan tentang penetapan kawasan perdesaan harus memperhatikan kegiatan pertanian, pengelolaan sumberdaya alam dan lainnya, permukiman perdesaan, tempat pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan ekonomi perdesaan, nilau strategis dan prioritas kawasan, keserasian pembangunan antar kawasan dalam wilayah kabupaten/kota, kearifan lokal dan eksistensi masyarakat hukum ada dan keterpaduan dan keberlanjutan pembangunan.

Pembiayaan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pasal 10 mengatakan bahwa pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan merupakan perwujudan program dan kegiatan pembangunan tahunan pada kawasan perdesaan yang merupakan penguatan kapasitas masyarakat dan hubungan kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat di kawasan perdesaan. Pendanaan pelaksanaan pemabangunan kawasan perdesaan bersumber dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten/Kota, APBDesa, dan sumber lain yang tidak mengikat (pasal 11).
Dalam Pasal 12 dijelaskan bahwa (1) Pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota berdasarkan masukan dari TKPKP kabupaten/kota dan/atau Pemerintah Desa. (2) Penunjukan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada TKPKP kabupaten/kota. (3) PemerintahPusatdan/atauPemerintahDaerahprovinsi dapat menugaskan kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa berupa pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan asas tugas pembantuan. (4) Pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang terkait dalam hal pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota. (5) Pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dalam hal pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. (6) Bupati/Walikota dapat menunjuk satuan kerja perangkat daerah yang terkait atau Pemerintah Desa untuk melaksanakan pembangunan kawasan perdesaan dalam hal pendanaan berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat.(7) Bupati/Walikota dalam menunjuk pelaksana pembangunan kawasan perdesaan harus mengacu pada Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan.

Pelaporan dan Evaluasi Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pasal 13, (1) Pelaporan dan evaluasi pembangunan kawasan perdesaan dilakukan berbasis desa dan berdasarkan indikator kinerja capaian yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan. (2) Pelaksana pembangunan kawasan perdesaan melaporkan kinerja kepada Bupati/Walikota melalui Bappeda Kabupaten/Kota.(3) Laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bappeda Kabupaten/Kota tiap 3 (tiga) bulan dan dievaluasi setiap 1 (satu) tahun sejak dimulainya pelaksanaan pembangunan.
Pasal 14, (1) Hasil evaluasi terhadap laporan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) menjadi dasar Bappeda Kabupaten/Kota dalam menilai capaian Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan. (2) Penilaian terhadap capaian Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan pada periode selanjutnya. (3) Bappeda Kabupaten/Kota melaporkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) kepada Bupati/Walikota. (4) Bupati/Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) sebagai arahan kebijakan kepada TKPKP kabupaten/kota dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan pada tahun selanjutnya. (5) Bupati/Walikota melaporkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada TKPKP provinsi.

Kelembagaan TKPKP untuk Pembangunan Kawasan Perdesaan

Kelembagaan TKPKP dibahas dalam permendesa 5/2016 ini di bab 4 pasal 15 hingga pasal 20. Terdiri dari TKPKP Pusat, TKPKP Provinsi, dan TKPKP Kabupaten/Kota, dan melakukan penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan sesuai dengan lingkup kewenangannya. (pasal 15)

Apa dan siapa TKPKP Pusat, TKPKP Provinsi, TKPKP Kabupaten/Kota :

TKPKP Pusat dalam Pasal 16:
  1. TKPKP pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari unsur kementerian/lembaga yang terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
  2. TKPKP pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang bertugas melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan pada tingkat nasional berdasarkan laporan dan hasil evaluasi yang diberikan oleh TKPKP Provinsi.
  3. TKPKP pusat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berkoordinasi dengan TKPKP provinsi dan TKPKP kabupaten/kota.
TKPKP Provinsi dalam Pasal 17:
  1. TKPKP provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari unsur Kepala satuan kerja perangkat daerah yang terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
  2. TKPKP provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan pada tingkat provinsi berdasarkan laporan dan hasil evaluasi yang diberikan oleh Bupati/Walikota.
  3. Jumlah keanggotaan TKPKP provinsi disesuaikan dengan kebutuhan dan/atau kondisi daerah.
TKPKP Kabupaten/Kota dalam Pasal 18 dan 19:
Pasal 18
  1. TKPKP kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari unsur Kepala satuan kerja perangkat daerah yang terkait, Camat, Kepala Desa, Kepala Badan Kerjasama Antar Desa, dan tokoh masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
  2. TKPKP kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang bertugas untuk: a. mengkoordinasikan penetapan kawasan perdesaan; b. mengkoordinasikan penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan; c. menunjuk pelaksana pembangunan kawasan perdesaan dalam hal didelegasikan oleh Bupati/Walikota; dan d. melaksanakan arahan kebijakan sebagai hasil evaluasi laporan kinerja pembangunan kawasan perdesaan.
  3. Jumlah keanggotaan TKPKP kabupaten/kota disesuaikan dengan kebutuhan dan/atau kondisi daerah.
Pasal 19
  1. TKPKP kabupaten/kota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Pendamping Kawasan Perdesaan.
  2. Pendamping Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk: a. membantu TKPKP kabupaten/kota dalam penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan; dan b. memfasilitasi dan membimbing desa dalam pembangunan kawasan perdesaan.
  3. Pendamping Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pihak ketiga.
Dan ini yang istimewa dalam pasal 20 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan organisasi dan tata kerja TKPKP diatur dalam Keputusan Menteri. Lebih istimewa lagi adalah bab V dalam hal Pendanaan Kawasan Pembangunan Perdesaan, coba dicermati.

Pendanaan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa
  1. Pendanaan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa berupa pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan asas tugas pembantuan berasal dari DAK dan/atau Dana Tugas Pembantuan.
  2. PendanaanpenugasandariPemerintahDaerahprovinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa berupa pembangunan kawasan perdesaan berdasarkan asas tugas pembantuan berasal dari Dana Tugas Pembantuan.

Tugas Gubernur dan Menteri dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan

Menteri dan Gubernur melakukan pembinaan terhadap Pembangunan Kawasan Perdesaan (Pasal 22).

Pembinaan Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Menteri dan Gubernur

Pasal 23
  1. Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 melakukan pembinaan terhadap pembangunan kawasan perdesaan yaitu: a. standardisasi proses penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, serta pelaporan dan evaluasi pembangunan kawasan perdesaan; b. pemberian fasilitasi penguatan kelembagaan dalam pembangunan kawasan perdesaan; dan c. pemberian fasilitasi proses penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, serta pelaporan dan evaluasi pembangunan kawasan perdesaan.
  2. Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 melakukan pembinaan dalam hal: a. pemberian fasilitasi penguatan kelembagaan dalam pembangunan kawasan perdesaan; dan b. pemberian fasilitasi proses penetapan dan perencanaan kawasan perdesaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, serta pelaporan dan evaluasi pembangunan kawasan perdesaan.
sumber : http://www.jogloabang.com/pustaka/permendesa-no-5-tahun-2016-tentang-pembangunan-kawasan-perdesaan

Minggu, 21 Agustus 2016

METODE ANALISIS STAKEHOLDER


Tujuan analisis stakeholder ini

a)     Untuk mengidentifikasi minat, kepentingan, dan pengaruh para stakeholder terhadap kegiatan program / proyek yang sedang berjalan.
b)    Untuk mengidentifikasi kelembagaan-kelembagaan lokal berikut proses-proses untuk pengembangan kapasitasnya
c)     Untuk membangun pondasi dan strategi partisipasi masyarakat.

Analisis stakeholder ini merupakan instrumen yang sangat penting untuk memahami konteks sosial dan kelembagaan dari satu kegiatan program / proyek.  Hal-hal yang diungkap dari tools ini bisa memberikan informasi sangat penting seawal mungkin tentang :

a)     siapa saja yang akan dipengaruhi oleh program / proyek baik positif ataupun negatif;
b)  siapa saja yang mungkin memberikan pengaruh terhadap program / proyek baik positif ataupun negatif;
c)   individu, kelompok, dan lembaga apa saja yang perlu dilibatkan dalam program / proyek serta bagaimana caranya; dan siapa saja yang perlu dibangun kapasitasnya agar turut berpartisipasi aktif di dalamnya.


Definisi stakeholder :

Adalah orang-orang, atau kelompok-kelompok, atau lembaga-lembaga yang kemungkinan besar terkena pengaruh dari satu kegiatan program / proyek baik pengaruh itu positif maupun negatif, atau sebaliknya yang mungkin memberikan pengaruh terhadap hasil keluaran program / proyek.


Langkah-langkah melakukan analisis stakeholder


I.      Identifikasilah stakeholder-stakeholder kunci antara lain :

1.     Siapa saja penerima manfaat yang potensial dari kegiatan ini ?
2.     Siapa saja yang mungkin menerima dampak buruk dari kegiatan ini ?
3.     Apakah kelompok-kelompok yang rentan telah diidentifikasi ?  Siapa saja ?
4.  Apakah kelompok-kelompok pendukung dan kelompok-kelompok lawan juga telah diidentifikasi ?  Siapa saja ?
5.   Apa saja hubungan-hubungan yang terjadi di antara stakeholder-stakeholder tersebut


II. Lakukan assessment terhadap kepentingan-kepentingan para stakeholder dan dampak-dampak potensial yang muncul dari kepentingan-kepentingan ini :

1.   Apa saja harapan-harapan yang muncul dari para stakeholder terhadap program / proyek ini ?
2.   Keuntungan-keuntungan / manfaat-manfaat apa saja yang mungkin akan diperoleh para stakeholder ?
3.  Sumberdaya-sumberdaya apa saja yang bisa atau bahkan mungkin sangat ingin dimobilisasi oleh para stakeholeder ?
4.   Apa saja kepentingan-kepentingan para stakeholder yang berlawanan dengantujuan tujuan program/proyek ?


III. Lakukan assessment terhadap pengaruh dan kepentingan    stakeholder ini :

Untuk setiap kelompok stakeholder lakukan lakukan assessment terhadap ;

1.     Kekuasaan dan statusnya (politik, sosial, dan ekonomi)
2.     Derajat / level lembaga / organisasinya
3.     Penguasaan terhadap sumber-sumber daya yang strategis
4.     Pengaruh-pengaruh informal (seperti hubungan-hubungan personal)
5.     Relasi kekuasaan dengan stakeholder lainnya
6.     Arti penting terhadap keberhasilan program / proyek

Terdapat dua hal penting di sini, yaitu stakeholder yang mempunyai pengaruh (influence) dan stakeholder yang sangat berkepentingan / mempunyai arti penting (importance).


Pengaruh

Pengaruh/influence lebih menunjukkan tingkat kekuasaan yang dimiliki stakeholder terhadap jalannya program / proyek.  Hal ini dapat diuji melalui cara-cara pengendalian dan penguasaan mereka terhadap proses-proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui penguasaan terhadap jalannya program / proyek atau sebaliknya melalui perintangan terhadap jalannya program / proyek.  Penguasaan ini bisa berasal dari status atau kekuasaan yang memang dimiliki, ataupun melalui hubungan informal dengan pemimpin-pemimpin formal yang dia miliki selama ini.


Kepentingan

Kepentingan/importance berkaitan dengan tingkatan di mana pencapaian tujuan program / proyek sangat tergantung pada keterlibatan aktif yang diberikan oleh kelompok stakeholder bersangkutan.  Stakeholder yang berkepentingan terhadap program / proyek pada umumnya adalah yang kebutuhan-kebutuhannya bersesuaian dengan tujuan program / proyek.  Beberapa kelompok stakeholder mungkin sangat penting/importance terhadap satu program / proyek (seperti : kelompok perempuan perdesaan pada program kesehatan reproduksi), namun boleh jadi pengaruhnya/influence sangat-sangat terbatas terhadap program / proyek.  Kelompok stakeholder ini membutuhkan upaya-upaya khusus untuk lebih meningkatkan partisipasi mereka serta lebih meyakinkan mereka bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sungguh-sungguh sejalan dengan program / proyek. 

Baik pengaruh / influence maupun kepentingan / importance dari berbagai stakeholder ini bisa diranking dengan skala sederhana dan dipetakan satu sama lainny, sebagai langkah awal untuk menentukan strategi yang cocok bagi pelibatan mereka.  Kedua variabel utama ini juga bisa dilakukan assessment di tahap-tahap awal berdasarkan pengetahuan/informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang sangat mengenal “kepedulian” para stakeholder tersebut terhadap program / proyek.  Namun demikian, assessment yang lebih mendalam perlu dilakukan melalui wawancara-wawancara secara langsung (diperlukan keterampilan bertanya).


IV. Buatlah satu kerangka untuk menentukan strategi pelibatan stakeholder  :

Rencana pelibatan stakeholder ini didasarkan pada :

1.     Ketertarikan, pengaruh, dan kepentingan dari setiap kelompok stakeholder
  Upaya-upaya khusus yang diperlukan utk melibatkan stakeholder-stakeholder yang penting / yang bekepentingan namun tidak mempunyai pengaruh.
3.     Bentuk-bentuk partisipasi yang memadai pada keseluruhan siklus program / proyek.

Berdasarkan hasil tiga tahap analisis stakeholder di atas, maka beberapa rencana pendahuluan dapat disusun untuk melibatkan kelompok-kelompok stakeholder tersebut dalam tahapan-tahapan program / proyek secara berurutan.

Ø  Stakeholder yang mempunyai daya pengaruh tinggi dan kepentingan yang tinggi pula, harus bisa dilibatkan sepenuhnya di seluruh tahapan program / proyek demi untuk memberikan keyakinan pada mereka bahwa keberhasilan program / proyek adalah atas dukungan mereka.
Ø  Stakeholder yang mempunyai daya pengaruh tinggi namun tidak terlalu berkepentingan, bukanlah target utama program / proyek, namun sangat mungkin menjadi penentang / opposan atau minimal selalu mengintervensi.  Dari sini, mereka perlu mendapatkan perlakuan bahwa keberadaan mereka itu adalah penting, selalu berikan pada mereka informasi-informasi, dan berikan pengakuan terhadap pandangan-pandangan mereka, hal ini perlu dilakukan agar tidak timbul keonaran dan konflik terbuka.
Ø  Stakeholder dengan pengaruh yang kecil namun kepentingan / arti penting terhadap proyek yang sangat tinggi membutuhkan upaya-upaya khusus dan strategi-strategi khusus, agar mereka menjadi yakin bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sejalan dengan tujuan program / proyek dan keterlibatkan mereka sungguh-sungguh sangat bermakna.
Ø  Stakeholder dengan pengaruh dan kepentingan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali, mau tidak mau juga perlu dilibatkan dalam program / proyek namun tidak memerlukan statregi partisipasi / pelibatan mereka secara sangat khusus.