Cari Blog Ini

Senin, 12 September 2016

Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa


Dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah, ada beberapa bentuk korupsi. Bentuk yang paling sering dilakukan dan terang-terangan adalah penyuapan dan pemberian uang pelicin (uang rokok, uang bensin dan sebagainya) hingga bentuk lainnya yang lebih halus dalam bentuk korupsi politik.


Penyuapan vs Uang Pelicin. 
Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap. Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah terutama yang terkait persoalan hukum (misalnya dalam pemeriksaan bagasi oleh pihak bea cukai) atau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak. Kedua bentuk kejahatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi yang dilarang di hampir seluruh negara.



Suppy vs Demand. 
Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai “korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu melakukan apa saja kecuali bersikap “pasif”.



Kartel atau Kolusi. 
Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.



Struktur vs Situasional. 
Korupsi dalam konteks bisnis sering berbentuk “struktural”, yang berarti telah direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi “situasional” adalah tanpa direncanakan, misalnya ketika seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya agar tidak memberikan surat tilang.

Korupsi dan resiko korupsi dapat terjadi dalam seluruh proses pengadaan barang dan jasa. Korupsi dapat terjadi dalam tahapan-tahapan berikut:

  • Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan,
  • Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender,
  • Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender,
  • Tahap pelaksanaan pekerjaan,
  • Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
Diperlukan adanya upaya pencegahan dan pengawasan (atau due deligence) untuk menanggulangi munculnya “tanda-tanda bahaya” yang diperkirakan akan berpotensi korupsi.


Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis resiko korupsi adalah menemukenali dan membedakan masalah yang menyebabkan korupsi, apakah disebabkan sistem yang tidak efisiensi atau justru pelaksanaan sistemnya yang keliru. Apabila keputusan yang dihasilkan kurang memuaskan, maka pendekatan analisis berikutnya harus ditinjau dari sisi alasan penyebab kejadiannya, terutama jika diduga ada aksi kejahatan.

Tak semua masalah efisiensi dapat dikaitkan dengan korupsi, demikian pula sebaliknya. Disisi lain, hal yang terkadang terlihat sebagai tindakan korupsi dapat disebabkan oleh sebuah kesalahan kecil atau adanya kelemahan kapasitas pelaksananya. Meski upaya untuk pencegahan korupsi masih lemah, namun mungkin kelak akan diperlukan dalam sebuah reformasi sistem. Sebagai contoh, jika reformasi bertujuan mengefisiensikan proses pengadaan barang dan jasa, tetapi mengacuhkan aspek transparansi dan penyebarluasan informasi, dikhawatirkan rekomendasi yang dihasilkan akan menjadi bumerang ketika dilakukan evaluasi. Demikian pula sebaliknya. Proses pengadaan barang dan jasa yang transparan tetapi tidak efisien juga akan berdampak pada hasil dan target yang diharapkan karena proses yang terlalu lama. Berikut ini adalah contoh manifestasi dan resiko korupsi yang paling sering dijumpai dalam setiap tahapan:



Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan

  • Ketidakharusan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat,
  • Menerapkan sistem baru (yang potensial menawarkan suap) yang justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran yang sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (yang justru meminimalkan korupsi),
  • Adanya investasi yang secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada,
  • Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikan agar melebihi batas kebutuhan,
  • Suap untuk politisi dan uang “terima kasih” (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra – perjanjian tertentu dengan kontraktor),
  • Konflik kepentingan (conflict of interest- termasuk revolving door movement) dimana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.
Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender
  • Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung,
  • Menaikan atau mengurangi jumlah barang atau jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor,
  • Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, yang bertujuan menyembunyikan rencana-rencana korupsi,
  • Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender,
  • Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.
Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender
  • Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan “uang terima kasih” (kickback) atau adanya konflik kepentingan),
  • Seleksi kriteria yang sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran didalamnya,
  • Adanya pemberian informasi yang bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak diberikan kepada seluruh peserta tender,
  • Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen yang rahasia tersebut justru disebarluaskan sehingga menyebabkan proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan,
  • Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparasi hasil evaluasi penawaran),
  • Pembayaran harga yang sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender yang tidak benar.
Tahap pelaksanaan pekerjaan
  • Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang yang lebih rendah, kualitas yang kurang baik atau berbeda dari spesifikasi dari kontrak yang telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan yang memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya,
  • Re-negosiasi kontrak atau penggantian klausul kontrak yang mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan,
  • Harga yang meningkat “akibat perubahan kontrak” sebagai dampak atas perubahan spesifikasi yang disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi,
  • Munculnya tuntutan yang dibuat-buat,
  • Pengawas atau pemantau telah dibeli atau tidak independen agar mereka membuat laporan yang tidak benar atau memalsukan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya,
  • Negosiasi ulang atau penambahan perubahan yang substansial didalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.
Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
  • Akuntan dan auditor yang melakukan audit tidak jujur atau telah “dibeli” dan meluluskan banyak bukti-bukti akuntansi yang tidak benar
Sumber : Ceris Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar