Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Januari 2016

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PERSIMPANGAN JALAN (Kritik dan Tanggapan)



Berbicara tentang pemberdayaan atau empowerment tidak Berbicara tentang pemberdayaan atau empowerment tidak bisa dipisahkan dari perspektif dan paradigma yang membingkainya. Sebuah perspektif dan paradigma akan dominan atau menjadi arus utama jika bisa menjadi jalan keluar dari kondisi yang tidak diinginkan atau lebih singkatnya menjadi antitesis dari tesis yang disebut gagal mencari jalan keluar. Demikian pula sebuah perspektif dan paradigma yang menjadi arus utama (antitesis) tidak selamanya dianggap sempurna karena bisa jadi di tengah jalan mengalami penyimpangan dan kegagalan dan akhirnya digulingkan oleh tesis baru yang lebih sempurna menawarkan jalan keluar. Karena konsep pemberdayaan adalah hasil dari sebuah perspektif dan paradigma, maka konsep tersebut juga akan mengalami alur evolusi seperti di atas, bisa menjadi arus utama, bisa berada di persimpangan jalan, dan bisa menjadi arus yang diangap gagal

Saat ini konsep pemberdayaan memang sedang mendominasi dan menjadi rujukan akedemisi, praktisi, dan pengambil kebijakan dalam mengatasi permasalahan masyarakat yang masih dalam belenggu kemiskinan dan ketertinggalan karena dianggap lebih baik dari konsep sebelumnya yaitu konsep community development yang usung oleh prespektif pertumbuhan. Tetapi dalam perjalanannya konsep pemberdayaan ini juga tak kunjung jua menuai hasil yang diharapkan semula. Menurunnya angka kemiskinan yang menjadi isu utama dari cita-cita pemberdayaan juga tak kunjung signifikan. Padahal sudah berapa banyak sumber daya yang digelontorkan kepada masyarakat dengan berbagai skema bantuan untuk usaha produkstif dan penguatan kelembagaan masyarakat miskin. Masyarakat hanya bisa berdaya jika ada pihak eksternal yang menopang keberdayaan masyarakat, tetapi setelah pihak eksternal tidak ada lagi maka kembali lagi tidak berdaya seperti semula. Penyimpangan-penyimpangan konsep, pelaku, dan implementasinya juga kerap mewarnai setiap program yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Berdasarkan kenyatan di atas, konsep pemberdayaan kini ada di persimpangan jalan antara masihkah membawa harapan kesuksesan atau harus mengganti konsep baru sebagai antitesis pemberdayaan. Meskipun demikian pemberdayaan menurut penulis masih menjadi “obat” yang bisa diharapkan mujarab mengobati ketidakberdayaan masyarakat dibanding dengan konsep-konsep sebelum dan lainnya. Karena konsep pemberdayaan masih menempatkan masyarakat sebagai pelaku perubahan. Namun perlu penajaman di tataran konsep dan implementasi yang semakin memberi tempat dominan kepada masyarakat.
Konsep pemberdayaan selama ini masih mengasumsikan ada pemberdaya dan yang diberdayakan. Pihak eksternal negara, NGO, ataupun swasta sebagai pemberdaya sedangkan masyarakat sebagai obyek yang diberdayakan. Seringkali pihak pemberdaya membawa nilai-nilai baru yang seragam untuk diterapkan di masyarakat. Pihak eksternal memberi bantuan atas nama pemberdayaan tapi bentuk programnya, mekanismenya dan aplikasinya harus sesuai dengan aturan pihak eksternal. Idealnya pemberdayaan adalah berangkat dari nilai-nilai dan dinamika internal masyarakat, berasal dan dilakukan atas kekuatan masyarakat sendiri pihak eksternal hanyalah pemancing atau perangsang kekuatan masyarakat. Asumsinya, masyarakat sejak terbentuknya sudah memiliki nilai-nilai lama yang menjadi kekuatan bersama. Masyarakat juga memiliki pengalaman kekuatan berkembang dengan kemampuannya sendiri sesuai dengan lokalitasnya atau dikenal dengan kearifan lokal. Dalam masyarakat juga terbentuk suatu sistem yang diakui bersama dan menjadi mapan melalui dinamika sosial yang panjang dan teruji. Atas asumsi itulah sebenarnya masyarakat memiliki “tenaga dalam” untuk berdaya sendiri. Dan tenaga dalam tersebut dikenal dengan nama modal sosial.
Program-program bantuan atas nama pemberdayaan selama ini justru menghancurkan modal-modal sosial yang sudah tertanam mengakar dalam masyarakat. Di wilayah dampingan penulis yang awalnya sebelum ada program-program CSR, masyarakat masih giat gotong-royong memperbaiki jalan desa, saluran air, penghijauan, dan kerja bakti bersih desa. Tetapi setelah ada bantuan program-program pemberdayaan, justru berganti dengan segala sesuatu yang diuangkan, masyarakat akan mau bertindak jika ada uangnya. Dalam kaitan penajaman pemberdayaan, bahwa di dalam masyarakat sendiri sebenarnya menyimpan tenaga dalam yang cukup besar berupa modal sosial. Sayangnya modal sosial tersebut hilang tergerus oleh konsep pemberdayaan yang seragam dan “paketan” dari pihak eksternal. Oleh karena itu masyarakat harus diberi kewenangan berlebih dalam menentukan dan merumuskan kebutuhan, potensi/sumberdaya, peluang dan tantangan secara mandiri. Pihak eksternal boleh berperanan, tapi jenis dan porsi peranannya bukan ditentukan oleh pihak eksternal, melainkan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sesuai dengan kebutuhan yang dirancang masyarakat itu sendiri.
Dari penajaman di atas, proses perubahan tersebut benar-benar menempatkan masyarakat sebagai basisnya. Dengan demikian dorongan dan mekanisme perubahan dari dalam lebih ditempatkan dalam posisi primer, sementara dorongan dari pihak eksternal lebih bersifat sekunder. Hal ini berarti bahwa kendali perubahan oleh masyarakat sendiri, sehingga menghindari proses perubahan justru dikendalikan dari luar. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan misalnya untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa melalui media yang mengakar kuat yakni rembug desa, sedangkan contoh jaminan sosial hari tua oleh keluarga dan institusi kekerabatan, mengatasi kebutuhan mendadak atau hajatan dengan sistem imbal balik, gagal panen atau paceklik dengan lumbung desa dan contoh lain yang diamanatkan oleh agama seperti zakat dan infaq untuk orang yang tidak mampu maupun sarana ibadah dan sarana umum/publik.
Kembali lagi pada pernyataan pemberdayaan masyarakat dipersimpangan jalan, memang benar apa yang terjadi saat ini, akan tetapi masa berada dipersimpangan jalan ini dapat segera kita tarik mengarah kepada jalan harapan kesuksesan melalui kemampuan menyempurnakan dan melakukan akomodasi terhadap perubahan dalam kehidupan masyarakat. Bagi pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sekarang ini menempati arus utama, kesempatan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan demi perubahan sruktural masih cukup terbuka. Hal ini disebabkan karena berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada sampai saat ini baru dalam tahap mulai memunculkan anomali, belum sampai mengarah ke krisis.
Sumber : http://ademosindonesia.or.id/
Penulis: Ahmad Shodikin

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Potensi Bentang Alam

Seiring dengan berjalannya pendekatan Warsawa lewat pembicaraan iklim, ini adalah saat untuk melihat kembali kerangka kerja pembangunan internasional yang sedang dikontekstualisasikan. Di sini, terdapat lima pertanyaan yang dipertimbangkan:

1. Latar belakang–Siapakah yang menyerukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan mengapa?
Di tahun 2015, target dan indikator anti kelaparan yang tercantum dalamTujuan Pembangunan Milenium PBB (MDGs) akan berakhir. Laporan Satuan Tugas PBB berjudul “Realizing the Future We Want for All (Mewujudkan Masa Depan yang Kita Butuhkan untuk Semua)” mengakses kemajuan yang impresif untuk mencapai MDGs, meski tantangan-tantangan pencapaian masih ada di beberapa negara. Laporan ini juga mengidentifikasi beberapa kelemahan konseptual dari MDGs, kebanyakan mengenai kegagalannya untuk mengatasi lingkungan hidup secara lintas sektoral; kebutuhan beberapa tujuan untuk memperdalam dampaknya (misal, akses terhadap pangan yang bernutrisi ketimbang sekedar mencukupi jumlahnya); dan tantangan untuk membangun kemitraan untuk pembangunan yang tidak membagi dunia menjadi negara penerima bantuan dan donor, namun menggarisbawahi persamaan dan tanggung jawab masing-masing demi kepentingan bersama.
Sebuah konsep dimunculkan oleh pembuat kebijakan – pertalian pangan-energi-air –  bertujuan untuk menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan dan lingkungan hidup yang sehat dengan mempertimbangkan bagaimana masing-masing dari tiga elemen tersebut berkorelasi secara internal dan saling terpengaruh oleh pembuatan keputusan. Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) menuliskan dalam riset terbaru adanya kebutuhan untuk perubahan dari perspektif berorientasi konservasi menuju peningkatan integrasi untuk tujuan pengentasan kemiskinan.
Untuk mengatasi dengan lebih baik lagi hubungan antara kemiskinan yang akut dan degradasi lingkungan hidup yang tersebar luas; Kolombia, Guatemala, Peru, dan Uni Emirat Arab menyerukan untuk merubah paradigma – mempertimbangkan isu lingkungan menjadi butir sendiri sehingga menjadi delapan butir (MDG7), sehingga terlepas dari tujuh tujuannya dan akan menjadi konsep yang koheren dan berdaya jangkau luas yang akan memandang kesehatan dan produktivitas lingkungan hidup sebagai isu yang penting. Negara-negara ini kemudian menyerahkan proposal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam pembukaan “Rio+20” Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan tahun 2012. Dokumen hasil Rio+ memperkuat posisi ini dengan memberikan mandat untuk mengembangkan SDGs ke Majelis Umum PBB yang terdiri atas Kelompok Kerja Terbuka dengan 30 anggota. Dalam proses paralel, Sekjen PBB Ban Ki-moon mengadakan sebuah ‘Pertemuan Tingkat Tinggi Pihak Penting’ untuk mengeksplorasi kerangka kerja umum untuk agenda pembangunan pasca-2015.
2. Prosesnya – di manakah posisi kita sekarang dan bagaimana langkah selanjutnya?
Di bulan Mei 2013, Sekjen pertemuan tingkat tinggi PBB menyampaikan laporannya, merekomendasikan lima perubahan transformasional untuk agenda pembangunan terbaru. Salah satunya dinyatakan untuk ‘menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai inti,’ sebuah pergeseran utama dari MDGs, yang hanya berhubungan dengan keberlanjutan dengan konteks yang terbatas lewat tujuan terfokus pada lingkungan. Laporan ini juga menyerukan pada negara-negara untuk membentuk ‘kemitraan global yang baru’ – yang sangat relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bumi kita saat ini: efek buruk perubahan iklim, semisal: yang menghantam negara secara tak terduga dan hanya dapat ditangani jika dunia berkolaborasi bersama.
Penting untuk menandai bahwa tugas utama panel tingkat tinggi ini adalah untuk merancang kerangka kerja dengan mengusulkan pedoman umum dalam beberapa tahun ke depan menuju 2015. Namun, panel ini tidak mengembangkan SDGs – ini adalah pekerjaan yang masih berproses, dan menjadi ketentuan Kelompok Kerja Terbuka Majelis Umum PBB (OWG). Hingga kini, OWG telah menyelenggarakan empat rapat untuk membicarakan sekitar empat isu, diantaranya, pendekatan konseptual tujuan-tujuan baru, pengentasan kemiskinan dan degradasi lahan. Diskusi berikutnya, yang akan berakhir di bulan Februari, adalah menyelenggarakan pengumpulan masukan dan saran terhadap tema inti dari kelompok pemangku kepentingan yang beragam. Pekerjaan sesungguhnya yaitu merancang SDGs belum dimulai.
3. Lanskap dan SDGs – Apakah potensi pendekatan lanskap?
Dalam pertemuan sebelumnya tentang SDGs dengan OWG, pembicaraan masih mengenai isu-isu yang terpisah satu sama lain: Dalam sebuah pertemuan, para anggota menganalisis dinamika populasi dan pola konsumsi baru; pertemuan terpisah lainnya berfokus pada produksi pertanian, desertifikasi, dan degradasi lahan. Namun tantangan sebenarnya ada di bagaimana menghubungkan hal-hal tersebut untuk menerjemahkan contoh-contoh sebelumnya menjadi pertanyaan yang konkret: “Bagaimana kita mencukupi kebutuhan pangan bagi populasi yang akan mencapai 9 milyar pada tahun 2050 tanpa terlalu banyak membebani ekosistem kita? Bagaimana kualitas dan kuantitas pangan ditingkatkan tanpa menyebabkan kerusakan yang tak tertanggulangi bagi planet kita? Kembali lagi, pertanian diperkirakan akan menjadi pemicu utama deforestasi di penjuru bumi. Pendekatan lanskap yang menyoroti aktivitas-aktivitas lahan yang beragam menawarkan sebuah cara untuk memikirkan tentang hubungan antara lingkungan dan pembangunan dengan cara yang terintegrasi. Sektor berbasis lahan, termasuk pertanian, kehutanan, perikanan, dan perkotaan, adalah penting untuk mencapai “Big 5’ aspirasi pembangunan dari pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, adaptasi perubahan iklim dan mitigasi, konservasi keanekaragaman hayati dan penciptaan ekonomi hijau. Seperti deforestasi yang tidak melulu mengenai isu kehutanan namun lebih dipicu karena pertumbuhan kalaparan akan pangan dan energi, produksi pangan bukan hanya masalah pertanian. Hasil-hasil pertanian bergantung pada masukan dari sistem lain: Perkiraan 75% dari air bersih, misal, datang dari hutan yang berfungsi sebagai spon raksasa dalam siklus air. Jadi alih-alih mendelegasikan tanggung jawab berbasis sektor dan target spesifik, pendekatan lanskap di tingkat konsep yang lebih tinggi dapat mengarah ke koordinasi yang lebih baik di antara pemanfaatan perebutan lahan, sehingga tujuan interrelasi untuk  pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.
4. Menyiapkan agenda – Bagaimana tujuan lanskap yang berkelanjutan akan terlihat?
Terdapat beberapa cara untuk menangani lanskap berkelanjutan sebagai bagian SDGs. Salah satu kemungkinannya adalah tujuan yang berdiri sendiri untuk lanskap. Dalam rangka memastikan bahwa tujuan ini mempertimbangkan aspek lain dari tata guna lahan, ini dapat mengkompromikan target lain, di mana masing-masing dengan seperangkat indikator untuk mengukur kemajuan. Semisal, Sekjen CIFOR, Peter Holmgren, belum lama ini mengusulkan sebuah SDG lanskap berdasar empat tujuan: penghidupan, jasa ekosistem yang berkelanjutan, efisiensi sumber daya dan polusi, dan pangan serta produksi non pangan.
Screen Shot 2013-11-02 at 16.57.30
Kemungkinan alternatif SDG yang berdiri sendiri dalam lanskap berkelanjutan mungkin akan menjadi rancangan target yang mampu memperpendek lintasan tujuan: Sebuah tujuan tentang ketahanan pangan, semisal, dapat dihubungkan dengan pengelolaan daerah aliran sungai yang lestari.
5. Pertanyaan terbuka – Apakah yang masih harus kita pelajari mengenai lanskap?
Berpikir tentang laskap SDG mengarahkan kepada tiga isu yang berhubungan dengan rancangan pengukuran dan implementasi tujuan-tujuannya.
Di masa lalu, kritikan yang ditujukan terhadap MDGs sering disebut ‘Tujuan Pembangunan Minimum.” Ini terdengar sinis di awalnya namun realitas di lapangan memang di antara delapan tujuan dalam MDGs faktanya tidak semua negara berharap untuk setuju, namun lebih kepada apa yang dapat mereka setujui. Data dan metode di banyak negara sangat sederhana sehingga tidak mampu mengatasi hal-hal di luar butir-butir tersebut. Realitasnya adalah pemerintah lintas global yang bekerja di sektor dan di banyak negara berkembang, terutama wilayah terpencil, menemukan bahkan indikator dasarnya semisal ‘tingkat kelulusan sekolah’ tidak tersedia. MDGs memanfaatkan apa yang tersedia – jika kerangka kerja pembangunan dapat bekerja melebihi hal tersebut, data yang diperbaiki dan pembangunan kapasitas untuk lembaga nasional harus menjadi bagian dari agenda.
Kedua, pengukuran hasil pembangunan lintas lanskap membutuhkan rancangan kolektif: “Barang” semisal ketentuan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi lewat sektor berbasis lahan harus diukur/dibandingkan dengan polusi dan emisi yang ‘buruk’. Hal ini adalah rancangan yang jauh lebih rumit daripada kerangka kerja sebelumnya.
Terakhir, implementasi tujuan lanskap kombinasi merepresentasikan tantangannya sendiri: Kementerian dan lembaga pemerintah menggarisbawahi sektor-sektor semisal ‘lingkungan’, ‘energi’ atau ‘pertanian’ masih merupakan realitas di banyak negara dan integrasi horisontal masih kurang. Sistem tradisional ini juga direfleksikan dengan bagaimana lembaga internasional dirancang dan bagaimana kesepakatan internasional berhubungan dengan lingkungan dan kemiskinan yang kebanyakan muncul secara paralel. Sebuah tujuan yang terintegrasi tentang lanskap dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan ini.
Sementara berbagai pertanyaan ini masih ada, jawabannya pun masih sama: Kita membutuhkan peningkatan riset menuju bagaimana lanskap yang berkelanjutan mendukung pembangunan dan kombinasi solusi kebijakan untuk mendukungnya
Sumber : http://blog.cifor.org  Penulis : Ann-Kathrin Neureuther

Rabu, 27 Januari 2016

Strategi Pemberdayaan Nelayan Miskin


Ada banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan, di antaranya adalah yang berkaitan dengan fluktuasi musim-misim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen yang diindikasikan dengan ketergantungan masyarakat nelayan dengan juragan atau tengkulak. Faktor terakhir ini menjadi persoalan kultural yang sampai saat ini masih dihadapi para nelayan. Ketergantungan ini pula yang menyebabkan masyarakat nelayan selalu kalah di dalam memperoleh akses produksi, akses distribusi dan akses pemasaran, sehingga menjadi satu hal yang logis jika skala produksi nelayan cenderung sedikit dan produktivitasnya rendah


Berangkat dari permasalahan ini maka perlu ada upaya pemberdayaan ekonomi nelayan agar terjadi peningkatan pendapatan mereka. Pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kultural untuk melepasakan nelayan dari jeratan kuasa kaum tengkulak. Agar nelayan menjadi lebih berdaya untuk dapat mengelola produksi ikan ikan mereka sekaligus paham mengenai akses pemasaran produksi ikan mereka, seperti salah satu contohnya adalah melakukan evaluasi program pemberdayaan dari pemerintah. Sebenarnya, bukannya tidak pernah ada usaha pemberdayaan nelayan yang dilakukan oleh pemerintah, namun setelah banyak dilakukan evaluasi, program-program pemberdayaan nelayan tersebut belum mampu menawab permasalahan yang dihadapi nelayan. 

Misalnya saja program pemerintah tahun 1974 yang berbentuk Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Bimas, namun sayangnya program kredit tersebut belum mampu mengatasi kesulitan ekonomi nelayan. Tidak sedikit program kredit itu mengalami kemacetan karena nelayan kesulitan dalam mengembalikan kredit, ada banyak faktor yang menyebabkan kemacetan kredit ini seperti penghasilan kecil nelayan yang kesulitan memperoleh hasil tangkapan ikan, besarnya biaya operasi, kerusakan peralatan tangkap, jaringan perdagangan ikan yang sangat merugikan dan persepsi yang salah tentang program kredit pemerintah yang dianggap nelayan sebagai pemberian cuma-cuma tanpa perlu mengembalikan lagi kredit uang tersebut. 

Pasca otonomi daerah, pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2000 meluncurkan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sebagai upaya menuntaskan kemiskinan masyarakat nelayan. Meskipun secara konseptual program PEMP ini berbasis pemberdayaan, namun pada implementasinya program tersebut sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi penuntasan kemiskinan nelayan. 

Beberapa faktor yang menyebabkan program-program pemerintah tidak berhasil : 
  1. Pendekatan yang dilakukan cenderung lebih bersifat struktural dan mengabaikan variabel-variabel kultural yang ada di dalam masyarakat 
  2. Ada indikasi kebocoran dana program di tingkat implementasi dan penyaluran dana yang seringkali salah sasaran antara oknum pemerintah dengan konsultan pelaksana program 
  3. Program-program yang dijalankan tersebut tidak memiliki jaminan keberlanjutan dan akuntabilitas publik. Program lebih bersifat proyek sehingga memperdulikan keberlangsungan program 
  4. Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan tidak mempunyai mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas, sehingga kemungkinan penyelewengan program tersebut besar 
Dalam implementasinya, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) sering menghadapi kondisi dilematis. Di satu sisi DKP ingin memberikan prioritas pinjaman kepada masyarakat sesuai dengan konsep PEMP namun di sisi lain hal ini terbentur dengan kemnyataan di lapangan bahwa sedemikian miskinnya nelayan sehingga sering tidak bisa mengembalikan dana pinjaman bergulir. Akibatnya, pelaksana program di lapangan seringkali mengambil jalan pintas dengan memberikan pinjaman kepada nelayan yang dianggap mampu mengembalikan pinjaman. Sehingga, yang terjadi adalah program yang salah sasaran dan masyarakat nelayan tetap saja miskin. 

Kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai fenomena yang menyangkut banyak aspek, struktural dan kultural, kemiskinan mereka tidak hanya karena aspek individual mereka saja, tetapi juga menyangkut masalah alam lingkungan, organisasi dan kesalahan implementasi kebijakan dari pemerintah. Dengan demikian, pemberdayaan harus dilakukan dengan kerangka pendekatan yang komprehensif dan holistik dengan memperhatikan sistem nilai, kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat, potensi lokal, unit usaha masyarakat dan daya dukung lingkungan. 

Secara umum, hal yang harus dilakukan antara lain : 
  1. Mengubah sikap mental petani (perubahan nilai-nilai budaya) : Bisa dilakukan dengan cara mengkonsolidasikan nilai-nilai positif seperti perencanaan hidup, optimisme, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas kerja, perubahan perilaku konsumtif, dll. Sehingga harus ada upaya menciptakan nelayan yang profesional di bidangnya, misalnya dengan pemberian pengetahuan, skill, dan penanaman nilai-nilai moral (etika). 
  2. Revitalisasi modal sosial dalam kegiatan pemberdayaan : Memperkuat sikap saling percaya dan bisa dipercaya baik dalam bentuk relasi vertikal maupun relasi horizontal (high trust economy) di antara pelaku ekonomi di sektor kelautan (juragan, tengkulak, nelayan) maupun kepercayaan antara pemerintah selaku agen pembangunan dengan nelayan. Hal penting menyangkut modal sosial ini adalah merevitalisasi kelembagaan lokal (kelompok nelayan, koperasi nelayan, sistem bagi hasil, sistem pelelangan, sistem pemasaran). Fungsi kelembagaan tersebut harus benar-benar diberdayakan sebagai wadah yang mengakomodasi dan mengartikulasi kepentingan nelayan. Institusi kelembagaan harus mampu berperan sebagai intermediasi antara kepentingan nelayan dengan pihak-pihak eksternal. Dalam hal jaringan pemasaran, maka perlu segera dijalin kerjasama antara nelayan dengan perusahaan. Peran nelayan harus diubah dari buruh menjadi pelaku pasar yang memiliki akses terhadap pasar. Bahkan menjadi satu langkah yang bijaksana jika pemerintah menetapkan peraturan tentang harga dasar ikan di pasaran untuk membantu nelayan yang sering dirugikan pihak-pihak pasar. 
  3. Pemberdayaan harus di design secara berkelanjutan : Tidak cukup dilakukan hanya dengan sebuah bentuk ‘proyek’, tetapi memerlukan waktu panjang sampai nelayan benar-benar mandiri dan berdaya. Yang tidak kalah pentingnya adalah keterpaduan antar sektor dan antar departemen (kelautan dan perikanan) mutlak diperlukan dalam rangka mendukung pembangunan masyarakat nelayan. Jangan sampai dinas cenderung membuat kebijakan sendiri-sendiri, sehingga perlu ada kesatuan langkah yang dapat menghasilkan sinergi dalam memanfaatkan potensi yang ada.

Sumber : http://www.kompasiana.com  Penulis : Dhanu Arviansyah 

Jumat, 22 Januari 2016

Program Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PKKPM) sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan di Desa

1. Latar Belakang PKKPM
Salah satu dari visi misi Presiden Joko Widodo adalah mengajak seluruh elemen pemerintah untuk kembali pada prinsip dasar, yaitu menciptakan service delivery system yang memberikan ruang bagi masyarakat kurang mampu untuk menikmati hasil pembangunan melalui seluruh sektor pembangunan. Pelaksanaannya sendiri diarahkan pada sektor-sektor kunci yaitu pertanian, perikanan, dan perkebunan, serta wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan yaitu perdesaan, pesisir, daerah sekitar hutan, dan daerah terpencil.
Saat ini, isu kesenjangan digunakan sebagai instrumen Key Performance Indicator (KPI) bagi seluruh penyelenggara dan lembaga negara, khususnya yang terkait langsung dengan isu kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan. Dari tahun 2009 hingga 2014, tren kondisi kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia terus mengalami penurunan namun penurunannya melambat sejak tahun 2011, yaitu kurang dari 1 juta penduduk miskin per tahunnya. Di saat yang bersamaan, terjadi perlambatan laju pertumbuhan pada sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja pada penduduk miskin sehingga penurunan angka pengangguran sejak tahun 2012 pun cenderung melambat, yaitu kurang dari 0,3% per tahunnya.
Di Indonesia, penduduk yang berpenghasilan 40% terbawah diperkirakan berjumlah 47,3 juta orang yang terdiri dari nelayan, petani gurem, pekerja informal perkotaan, serta pekerja industri mikro dan kecil. Ditambah dengan jumlah masyarakat miskin tanpa aset yang diperkirakan sejumlah 17 juta orang, maka perkiraan jumlah masyarakat sangat miskin berjumlah 64,3 juta orang. Masalah utama dibalik angka ini adalah adanya ketertinggalan pada kualitas, produktivitas, dan daya saing SDM yang bersangkutan.
Selain itu, ketimpangan dan kemiskinan juga terjadi karena berbagai faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi. Adapun kondisi makroekonomi yang mendorong terjadinya ketimpangan ini adalah karena alokasi upah yang tidak sepadan di beberapa sektor, perubahan komposisi kontribusi sektoral terhadap pertumbuhan ekonomi, dan juga terjadinya booming komoditas tertentu yang hanya dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Masyarakat miskin pun masih belum mampu untuk memperoleh akses untuk sumberdaya produktif.
Ketidakmampuan masyarakat miskin untuk memperoleh sumberdaya produktif seperti pelatihan dan lembaga keuangan disebabkan oleh minimnya akses mereka terhadap pelayanan dasar, khususnya pendidikan. Kurangnya akses kesehatan dan infrastruktur mengambil tempat pada alokasi pendapatan mereka yang sudah sangat minim, sehingga sulit untuk mengakses pendidikan jika tidak ada pendidikan gratis. Minimnya pemenuhan hak-hak dasar bagi masyarakat kurang mampu, ditambah dengan pertumbuhan penduduk kelompok ekonomi menengah ke bawah yang cenderung tinggi menjadi salah satu faktor utama dari terjadinya kemiskinan di Indonesia.
Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan Indonesia pada tahun 2019 berada di antara 7,0% – 8,0% atau menurun sebesar 2,5% dari perkiraan angka kemiskinan di akhir tahun 2015. Target ini akan dicapai dengan berbagai strategi yang direncanakan dalam arah kebijakan penanggulangan kemiskinan, yang salah satunya adalah Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan atau P2B.
P2B adalah pengembangan sektor unggulan dan potensi lokal, perluasan akses permodalan dan layanan keuangan melalui penguatan sistem layanan keuangan mikro, peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat kurang mampu melalui peningkatan kualitas pendampingan kewirausahaan, dan optimalisasi pemanfaatan lahan tidak produktif bagi masyarakat kurang mampu. Strategi ini ditujukan untuk mendorong masyarakat kurang mampu agar lebih mandiri secara ekonomi dan lebih kuat dalam hal kohesi sosial dengan penguatan pada aspek peningkatan keterampilan, serta akses terhadap modal dan pasar. Untuk strategi ini, dilakukan beberapa program pengembangan mata pencaharian dan pengembangan infrastruktur pendukung ekonomi, seperti Peningkatan Kesejahteraan Keluarga berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PKKPM).
2. Pembahasan PKKPM
Program Peningkatan Kesejahteraan Keluarga berbasis Pemberberdayaan Masyarakat (PKKPM) merupakan kegiatan dari strategi utama dalam Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B) untuk pengembangan mata pencaharian dan infrastruktur pendukung ekonomi. PKKPM memiliki sasaran kecamatan miskin dan rumah tangga kurang mampu; tersebar di 183 kecamatan yang tersebar di 102 kabupaten. Pelakuan program ini nantinya akan by name by address masyarakat miskin berdasarkan indeks kemiskinan wilayah (IKW). Dengan demikian, pemanfaatan sasaran sangat jelas individu-individunya dan dapat dipertanggungjawabkan.PKKPM bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan pedesaan yang dapat mendorong peran aktif pemerintah daerah dan memperkuat koordinasi lintas pemangku kepentingan yang terkait dalam kegiatan-kegaiatan pengentasan kemiskinan. Peruntukkan PKKPM dengan pemberian pelatihan, bantuan modal, dukungan sarana prasarana ekonomi, serta pendampingan.
Sumber utama pendanaan PKKPM berasal dari APBN yang tertuang dalam sumber utama dana program PKKPM (APBN 2015). Sumber pendanaan PKKPM lainnya berasal dari APBD Provinsi (dukungan pembinaan), APBD Kabupaten (dukungan pembinaan), swadaya masyarakat, serta partisipasi dunia usaha atau pihak lain yang tidak mengikat. Komponen dana PKKPM Tahun Anggaran 2015 adalah sebagai berikut.
  • Administrasi kegiatan
  • Bantuan teknis konsultan manajemen nasional dan konsultan manajemen wilayah
  • Bantuan teknis pendampingan masyarakat dan aparat pemerintah desa dan kabupaten oleh fasilitator
  • Peningkatan kapasitas dan pelatihan pendamping
  • Dukungan aparat pemerintahan
  • Pemberian bantuan sosial berupa dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
Tabel 1. Rencana dan Alokasi PKKPM 2015
Komponen KegiatanCakupan AlokasiAlokasiCatatan
Pengembangan usaha/kerja keluarga dan dukungan sarana prasarana26 kecamatanRp 78 Milyar
  • Masing-masing kecamatan dialokasikan Rp 3 Milyar yang terbagi 50:50 untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi dan dukungan sarana prasarana ekonomi.
  • 26 kecamatan merupakan lokasi uji coba yang mewakili beberapa karakteristik wilayah dan sebagai pengujian terhadap penyempurnaan pedoman PKKPM.
Penyediaan Infrastruktur Ekonomi (PIE)157 kecamatanRp 314 Milyar
  • Dialokasikan ke masing-masing kecamatan dengan rata-rata sebesar Rp 2 Milyar.
  • Lokasi merupakan kecamatan miskin dan memiliki keterbatasan infrastruktur ekonomi.
Pendampingan Pemberdayaan183 kecamatanRp 83 Milyar
  • 17,5% dari total alokasi PKKPM
  • Pembiayaan pendampingan untuk pengembangan usaha/kerja keluarga dan dukungan sarana prasarana dan PIE
TotalRp 475,01 Milyar
Sumber: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

Tahapan Kegiatan PKKPM
  1. Pembentukan Kelompok
Pertama, pembentukan kelompok selama 2 s/d 3 bulan dengan kriteri kelompok masyarakat miskin yang belum pernah tergabung dalam kelompok pemberdayaan dan merupakan wakil dari keluarga miskin.
Kedua, KPI untuk Kelompok Penghidupan Berkelanjutan adalah partisipasi dalam kelompok, aktivitas menabung, aktivitas simpan pinjam, rutinitas pertemuan kelompok, identifikasi minat kerja/usaha, dan pengembangan ekonomi lokal yang dihitung selama 3 s/d 4 bulan. Khusus untuk Kelompok Usaha, KPI-nya adalah pengembangan perencana penghidupan/usaha serta jumlah tenaga kerja terampil.
Ketiga, pendampingan dan pembinaan dilakukan selama 5 s/d 8 bulan dengan KPI: jumlah wirausaha baru, jumlah pekerja formal, dan arus penguliran modal.
  1. Identifikasi Potensi Daerah dan Infrastruktur Pendukung Ekonomi RTM
Hal yang pertama dilakukan adalah memetakan profil kelompok sasaran. Pemetaan dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan mengagregasi data untuk melihat profil umum dari sasaran program.
Setelah itu, dilanjutkan dengan mengidentifikasi potensi pertumbuhan dan dibandingkan dengan profil kelompok sasaran. Perbandingan dilakukan dengan penyusunan potensi unggulan (di antaranya melalui rekomendasi KPJU Unggulan Kabupaten) dan pemilihan KPJU Unggulan sesuai dengan profil Rumah Tangga sasaran program.t
Terakhir, dilakukan penilaian kelayakan pengembangan sektor/komoditas dengan mengidentifikasi pelaku pasar yang berkaitan dengan Komoditas/Produk/Jenis Usaha (KPJU) Unggulan serta menyelenggarakan Forum Usaha.
  1. Pengembangan Kapasitas Masyarakat
Pengembangan kapasitas penerima program dilakukan dalam dua tahap yaitu penguatan kapasitas pengelolaan kelompok dan pengembangan keahlian dan keterampilan. Dalam tahap pertama, dilakukan pelatihan bagi pengurus kelompok, pelatihan bagi anggota kelompok, dan pendampingan intensif. Tahap kedua sendiri berisi in house training, pemagangan, studi banding, pendampingan, coaching oleh pelaku yang sudah sukses di bidang yang relevan, dan bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja.
  1. Penyaluran Modal dan juga Pengembangan Infrastruktur Ekonomi (PIE) Pendukung Usaha/Kerja
Kegiatan Pengembangan Infrastruktur Ekonomi (PIE) dibagi menjadi dua, kegiatan di tingkkat kabupaten dan tingkat kecamatan. Pada tingkat kabupaten, diawali dengan mengidentifikasi KPJU unggulan dan dilanjutkan dengan penyelenggaraan Forum Usaha. Rangkaian ini akan menghasilkan KPJU Prioritas dan Infrastruktur Ekonomi yang direkomendasikan. Sementara, pada tingkat kecamatan, kegiatan diawali dengan pemilihan dan penyepakatan infrastruktur ekonomi yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan. Hal ini akan menghasilkan daftar infrastruktur terpilih dan infrastruktur terbangun.
Perlu dicatat bahwa kategori kegiatan yang dibiayai dari dana PIE adalah aset-aset fisik yang merupakan kebutuhan vital dari rumah tangga kurang mampu dalam meningkatkan perekonomian rumah tangganya.
  1. Penyaluran Kerja dan Pengembangan Wirausaha
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi PKKPM tentu diperlukan. Monitoring untuk mengetahui kemajuan dan permasalahan pelaksanaan kegiatan PKKPM sementara evaluasi dilakukan secara berkala. Pengambilan kebijakan (pusat dan daerah) berasal dari internal dan eksternal. Dari internal dapat berasal dari masyarakat melalui evaluasi partisipatif oleh peserta program dan masyarakat non peserta program dan masyarakat juga memonitori internal dari pelaksana program.
Sementara, dari eksternal, PKKPM dimonitori oleh Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan LSM. Selain itu, pemantauan proses pelaksanaan dan studi kasus rumah tangga juga dimonitori oleh eksternal.
1. Potensi Masalah dari PKKPM dan Rekomendasi
2. Adanya Rumah Tangga Miskin di dalam klaster yang tidak miskin
Rumah Tangga Miskin dan kecamatan miskin merupakan salah satu sasaran dalam PKKPM. Dari program yang sudah ada, belum ada kejelasan regulasi untuk Rumah Tangga Miskin yang berada di kecamatan yang tidak tergolong miskin. Oleh karena itu, status Rumah Tangga tersebut dalam PKKPM masih dipertanyakan. Pemerintah perlu membuat menetapkan indikator yang jelas untuk kriteria Rumah Tangga yang tergolong dalam Rumah Tangga Miskin.
  1. Birokrasi untuk mengikuti PKKPM
Seperti halnya PNPM Mandiri, usaha/kerja yang terlibat dalam PKKPM memerlukan kejelasan dalam teknis pelaksanaan. Mulai dari penentuan tujuan bantuan, pendirian usaha/kerja, penentuan fasilitator, hingga pembuatanMemorandum of Understanding kerja sama.
Kejelasan birokrasi ini diperlukan salah satunya untuk menghindari terjadinya pailit.
 Oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2015
Referensi
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (2015). Kebijakan, Strategi, dan Langkah-Langkah Pelaksanaan PKKPM/PIE
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Arah Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2015-2019
Muklis (2015). Petunjuk Teknis Pencairan Dana Bantuan Sosial Program Peningkatan     Kesejahteraan Keluarga Berbasis Pemberberdayaan Masyarakat
Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan dan Pengurangan Resiko Bencana

Senin, 18 Januari 2016

Apa itu Dana Desa dan Manfaatnya

Pada tahun 2015, alokasi dana desa yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp20,76 triliun untuk 74.093 desa di seluruh Tanah Air, sedangkan pada 2016 ini meningkat dua kali lipat menjadi Rp46,9 triliun. Peningkatan alokasi dana desa tersebut tentu saja menunjukkan komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan dari desa. Infrastruktur di wilayah pedesaan pun kini menjadi sasaran utama pemanfaatan dana desa tersebut.



Pemberian dana desa merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberikan pengakuan dan kejelasan kepada desa-desa di seluruh Tanah Air akan status dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Negara memberikan kewenangan kepada setiap desa dalam melestarikan adat dan tradisi serta budaya masyarakat desa. Selain itu, desa juga diberikan kewenangan dalam pembangunan serta berpartisipasi dalam menggali potensi desa dengan mendorong pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif.



Pemerintahan desa juga diharapkan dapat lebih terbuka serta bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan di desa dengan tujuan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang akhirnya memberikan kesejahteraan bersama dan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Guna memastikan pemanfaatan dana desa agar tepat sasaran, Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan mengingatkan bahwa dana desa 2016 yang sudah dianggarkan sebesar Rp47 triliun agar diserap seluruhnya di desa-desa dan sedapat mungkin dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat desa.



"Dana desa harus digunakan untuk keperluan padat karya. Barangnya dibeli di desa, tidak ke kota. Uang harus terus beredar di desa. Kalau pun dana tersebut digunakan untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan namun hanya bisa ditemui di kota, maka penggunaan uang itu tidak berlebihan," ujar Presiden Jokowi.



Untuk itu, Presiden menginstruksikan semua kepala daerah dari level gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa agar bekerja sama dengan lembaga jasa keuangan. Tujuannya, agar dana desa digunakan untuk membiayai proyek infastruktur padat karya, seperti irigasi, jalan desa dan penyediaan fasilitas air bersih, dengan menyerap material bahan bangunan lokal, serta menggunakan kontraktor daerah.



Namun, pengusaha daerah itu juga perlu mendapat dukungan permodalan dari perbankan.



"Saya meyakini peredaran uang yang ada di daerah akan semakin baik. Jangan sampai uang yang sudah ditransfer ke daerah dari APBN, di sananya dua hari, balik lagi ke Jakarta. Kasihan daerah," kata Kepala Negara


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) telah meminta para kepala desa agar dana desa 2016 difokuskan pada pembangunan infrastruktur desa. Pembangunan infrastruktur desa akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat desa, sebab pembangunan infrastruktur akan memberdayakan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) masing-masing desa. Marwan mendorong agar dana desa segera dipakai dengan menjalankan program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur maupun program-program berbasis potensi lokal desa.



"Saya tidak henti-hentinya mengajak para kepala desa dan semua elemen masyarakat desa untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur desa. Juga membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal. Jangan ragu-ragu apalagi takut memakai dana desa," ujar Menteri Marwan.

Marwan mencontohkan program padat karya tersebut misalnya dengan membangun infrastruktur desa yang memanfaatkan tenaga lokal desa, menggunakan bahan-bahan baku dari desa, sehingga manfaat dana desa pun bisa dirasakan semua masyarakat di desa tersebut.

"Dana desa adalah amanat undang-undang Desa dan telah menjadi komitmen pemerintah Jokowi-JK meningkatkan jumlah dana desa. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat bisa melakukan inovasi-inovasi dengan memanfaatkan dana desa sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Oleh karena itu, Marwan mengingatkan agar semua aparat dan masyarakat desa bekerja cepat menggunakan dana desa dengan basis potensi lokal sehingga seluruh dana desa itu akan terserap dan tidak dikembalikan ke pusat. Pemerintah sangat berharap dana desa dapat berputar di desa sehingga mampu menghidupkan perekonomian desa. Jika ekonomi desa bergerak positif, maka tentunya akan mampu mendongkrak perekonomian nasional sekaligus membantu mengentaskan kemiskinan warga di wilayah pedesaan.

Marwan Jafar yang merupakan Menteri Desa pertama sejak Indonesia merdeka ini menambahkan, proses dan prosedur dana desa tidak perlu dibuat rumit. Jika sudah masuk ke rekening desa, maka dapat langsung digunakan untuk membangun infrastruktur pedesaan.

"Bagi desa yang jalannya rusak maka bangun jalan desa. Jika saluran irigasinya tidak ada, langsung buat saluran irigasi dengan dana desa," katanya.

Melalui Peraturan Kementerian Keuangan nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa, pemerintah pun berupaya agar mekanisme penggunaan dana desa dibuat sesederhana mungkin sehingga masyarakat tidak kesulitan menerima maupun menggunakannya. Template penggunaan dana desa sudah disampaikan ke semua daerah agar disosialisasikan ke desa-desa.

"Cukup dua lembar kertas berisi rencana program desa, kemudian buat dua lembar kertas berisi realisasi penggunaan dana desa sebagai laporan. Enggak usah dibuat ribet yang malah menghambat pembangunan. Dana desa ini hak desa dan jangan sampai mengendap dan kembali ke pusat," kata Menteri Marwan.

Meski demikian, memang tidak mudah merealisaskan penggunaan dana desa agar fokus pada pembangunan infrastruktur saja. Pasalnya, banyak desa yang telah memiliki program sendiri, misalnya ada desa yang mengajukan untuk menjadi pusat kebudayaan desa atau membangun perkebunan desa, dan lain-lain. Namun di sisi lain, program pemberian dana desa sangat diharapkan turut membantu pengentasan kemiskinan di Tanah Air, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pedesaan masih menjadi "rumah" bagi penduduk miskin Indonesia.


Sumber : Warta Ekonomi 17-1-2015
Penulis/Editor: Ferry Hidayat