Cari Blog Ini

Selasa, 12 Januari 2016

Perencanaan Apresiatif-Partisipatif Desa

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mendorong banyak lembaga organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia saat ini, baik yang memiliki relasi dengan jaringan donor di luar negeri ataupun yang mengklaim dirinya mandiri, yang biasanya terkesan anti terhadap regulasi negara mendadak menjadi tidak anti regulasi. Alasannya, UU Desa dianggap memiliki poin-poin penting yang dapat mendorong desa menjadi “subjek” melalui beberapa kekuatan yang terdapat di dalamnya. Dan selanjutnya diyakini telah menghadirkan peluang dan ruang baru bagi desa untuk menjadi lebih mandiri dan berkeadilan.
Kondisi ini membawa tidak sedikit OMS atau yang disebut dengan istilah lainnya, yang pada mulanya jarang bersentuhan dengan isu-isu desa berubah haluan menjadi ahli-ahli pedesaan baru. Proposal-proposal untuk pendampingan desa dalam rangka implementasi UU Desa pastinya terus semakin menumpuk di meja donor. Isu pendampingan desa yang semakin semarak ini ibarat cendawan yang tumbuh subur kala musim penghujan datang. Dan semacam menjadi berkah baru bagi sebagian kelas menengah yang tidak terserap di dunia industri, ataupun seperti “rejeki” bagi sebagian OMS yang terancam kolaps karena sumber keuangan dari isu sebelumnya yang dikelola tidak di perpanjang oleh lembaga donor.
Diskursus kritis apakah UU Desa tersebut pada suatu saat akan menjadi alat legitimasi baru yang ampuh untuk mengintegrasikan sistem kapitalisme global ke dalam desa dengan ekonomi uang ataupun sebagai geografi pasar baru dengan ideologi pembangunan, sepertinya untuk sementara tidak mendapat “tempat” bagi sebagian OMS saat ini.
Persoalan lain bagaimana desa juga sebagai sebuah arena politik yang kompleks, di mana di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial yang saling berseberangan karena runtuhnya kehidupan subsistensi, akibat terus meluasnya ekonomi uang, sekali lagi bagi sebagian OMS juga tidak terlalu menarik untuk diperdebatkan. Karena bisa saja, yang terpenting saat ini adalah mendorong lahirnya kelas menengah baru di desa.
Hal ini sesekali menghantarkan pada suatu pertanyaan bagi OMS pegiat desa, baik yang sudah kawakan ataupun yang baru muncul pasca terbitnya UU Desa: apakah isu pendampingan desa berawal dari suatu kesadaran kritis untuk menghalau laju kapitalisme yang selama ini telah memporak-porandakan dan memicu krisis sosial ekologis desa dengan memanfaatkan celah regulasi UU Desa atau memang hanya sekedar mengerjakan proyek yang bersifat sementara mumpung isu tersebut dapat mendatangkan gelontoran dana besar? Pertanyaan ini tentunya tidak harus dijawab sekarang, melainkan lebih baik diserahkan langsung kepada para pegiat desa yang masih tertarik untuk merefleksikan apa yang sedang dilakukan.
Namun jika melihat perkembangan terkini berupa terus meningkatnya jumlah konflik agraria di seluruh wilayah pedesaan Nusantara, tidak ada salahnya mengingat kembali beberapa kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli agraria-pedesaan terkait dengan lahirnya UU Desa tersebut. Salah satunya adalah kritik yang dilontarkan oleh Gunawan Wiradi dalam sebuah workshop di Jakarta. Ia mengatakan bahwa isi dari UU Desa tidak ada yang menyinggung tentang reforma agraria. Padahal reforma agraria adalah salah satu jalan untuk menekan ketimpangan kekayaan dan konflik ruang hidup yang terus meluas di pedesaan.
Di pihak lain, bagi para pegiat desa yang memiliki “iman” bahwa UU Desa tersebut dapat menghadirkan peluang dan ruang baru bagi keadilan berdesa, mau tidak mau kini harus memikirkan bagaimana menemukan metode perencanaan yang baik untuk menuju desa ideal. Untuk menjawab pertanyaan ini, lahirlah sebuah metode perencanaan yang disebut sebagai “perencanaan apresiatif-partisipatif desa”. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya menumbuh kembangkan nilai-nilai partisipatif dan apresiatif di desa dalam rangka implementasi UU Desa.
Dalam praktiknya, kelas sosial marjinal, seperti kelompok rumah tangga miskin, perempuan dan lainnya harus dilibatkan dalam perencanaan pembangunan desa. Selain itu, berawal dari kritik terhadap ketidakakuratan data desa akibat metode perencanaan yang bersifat top-down dan teknokratis, pendekatan ini juga mengajak desa untuk melahirkan dokumen yang berpijak pada nilai-nilai partisipatif dan apresiatif. Secara ringkas, dokumen tersebut disebut dokumen Pemetaan Apresiaf Desa (PAD), yang terdiri dari dokumen kesejahteraan lokal, aset-potensi dan kewenangan. Dokumen PAD ini selanjutnya akan menjadi basis perencanaan pembangunan yang diklaim telah pro kelompok marjinal.
Sumber : http://sekolahdesa.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar