Tahun 2016 merupakan tahun kedua Pelaksanaan UU Nomor 06 Tahun 2014 tentang desa yang salah satunya mengamanahkan membangun Desa dengan memanfaatkan Dana Desa.
Penyaluran dan pelaksanaan dana desa di tahun pertama tak terlepas dari berbagai kendala teknik yang mengakibatkan penyerapan anggaran dinilai lamban. Misalnya, kesulitan desa melengkapi administrasi serta banyakya tahapan pengucuran dana desa.
Seperti yang diungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Desa (Apdesi) Ipin Arifin di berbagai media, dia mengakui, penyaluran 2015 di tingkat desa memang belum tuntas hingga saat ini. Dari informasi yang didapatkannya, kebanyakan desa yang belum menerima dana desa tahap ketiga disebabkan efek domino dari penyaluran dua tahap sebelumnya juga faktor administrasi yang masih dirasa sulit.
Selain itu, pihak Apdesi sendiri berharap bahwa wacana untuk menghapuskan sistem penyaluran secara tiga tahap bisa direalisasikan. Idealnya, tahap penyaluran Dana Desa bisa dibagi menjadi dua bagian. Dengan begitu, pemerintah punya waktu setidaknya enam bulan untuk menyelesaikan penyaluran.
Apa yang disampaikan Apdesi organisasi kelompok pemerintah desa itu merupakan kendala teknis penyaluran dana desa saja. Sementara, kendala teknis pelaksanaannya di lapangan berkaitan dengan kwalitas dan keberhasilan pelaksanaan dana desa tidaklah seindah ataupun sebesar keinginan pemerintah desa ingin menyerap dana desa.
Pemerintah desa dalam melaksanakan program pembangunan desa terlihat kurang memenuhi hasrat kebutuhan warganya. Misalnya, kondisi pelaksanaan dengan kwalitas pengerjaan infrastruktur yang terlihat asal jadi. Terkait dengan itu, tidak sedikit pemilik akun media sosial dan media menyoal pelaksanaan dana desa yang dinilai tidak sempurna.
Seperti, pelaksanaan dana desa di Labuhanbatu Sumatera Utara. Selain pengerjaannya asal jadi, warga juga menuding pelaksanaannya dimonopoli kepala desa. Pelaksanaan infrastruktur yang diharapkan membuka lapangan pekerjaan bagi warga desa hanya dirasakan sekelompok warga saja.
Parahnya, elemen masyarakat desa seperti, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengaku tidak mengetahui dan kesulitan mendapat informasi dari pemerintah desa terkait pembangunan desa menggunakan dana desa. Sementara dalam Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang dana desa, mengamanahkan BPD lah sebagai pengawas dalam pelaksanaan dana desa.
Kurang beraninya BPD dan warga desa melaksanakan fungsi dan meminta keterangan dari pihak desa tentang pelaksanaan pembangunan desa, terlihat dikarenakan adanya rasa kekeluargaan sesama warga desa. Mungkin juga disebakan kurangnya sosialisasi mengenai keterlibatan dan fungsi elemen masyarakat desa dalam pembangunan desa. Akibatnya, merasa tidak ada yang mengawasi pelaksanaannya kurang memenuhi hasrat warga desa.
Penulis menduga, kondisi desa dalam pelaksanaan tanpa pengawasan oleh lembaga desa juga terjadi di desa-desa lainnya yang ada di Sumatera Utara. Pasalnya, diketahui pengawas pelaksanaan dana desa di luar pemerintah dalam hal ini pendamping profesional yang diketahui tahun 2015 baru terbentuk di akhir tahun, bahkan sampai saat ini petugas pendamping desa yang bertugas mendampingi desa sekaligus sebagai pengawas dalam penyelengaraan dana desa belum juga difungsikan.
Jadi, supaya pelaksanaan dana desa bisa terlaksana sesuai amanah UU 6 tahun 2014 tentang desa, pemerintah pusat atau pihak lainnya yang terkait dengan program pembangunan desa sesegera mungkin merealisasikan dan memanfaatkan pendamping profesional guna mendampingi desa. Sebab selain, memiliki tugas mendampingi desa melaksanakan dana desa, pendamping desa profesional juga diharapkan mampu menggerakkan swadaya warga desa.
Selain itu, sosialisasi kepada BPD dan elemen masyarakat lainnya berkaitan dengan penyelenggaraan dana desa dan peraturan lainnya secara maksimal harus dilakukan pihak terkait, dengan tujuan supaya masyarakat yang ada di desa mengetahui fungsi keterlibatan mereka dalam membangun desa.
Rasa Peduli
Kemudian, pemerintah kabupaten sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam menjalankan program dan memiliki wewenang dalam membina desa sangat dibutuhkan keseriusannya melakukan pembinaan dan memelekkan mata pemerintah desa terkait amanah yang disandang dalam mensejahterakan masyarakat desa sendiri.
Kesadaran dan kemauan masyarakat desa itu sendiri membangun desa juga menjadi penentu berhasil tidaknya pembangunan desa. Warga harus lebih berani dan membuka diri terhadap kejadian sekitarnya. Memang, rasa saling menghargai di desa merupakan sifat yang melekat dalam diri masyarakat desa. Tapi, tanpa disadari rasa saling menghargai tanpa memilah-milah perkara membuat oknum pemerintah desa memanfaatkannya. Rasa yang ada pada diri warga desa itu menjadi sebuah ketidak pedulian oknum kepala desa terhadap kondisi desa.
Dalam pembangunan desa, selain sistem pemerintah, elemen masyarakat desa dan petugas yang dibentuk pemerintah melaksanakan pembangunan desa, keikutsertaan lembaga swadaya masyarakat dan pers juga sangat diharapkan perannya dalam membangun desa, bukan saja sebagai kontrol sosial, tapi kedua lembaga ini bisa memberikan masukan baik terhadap warga, dan pemerintah desa bagaimana pentingnya membangun desa.
Memang, rasa tanggungjawab pemegang dan pelaksana amanah, seperti, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa serta petugas yang dibentuk guna mensukseskan pembangunan desa itulah diatas segalanya yang bisa mewujudkan cita-cita membangun desa.
Pasalnya, bagaimanapun bagusnya teori dan program yang disusun. Tanpa ada rasa peduli dan tanggungjawab dari pemegang dan penyelenggara amanah, maka semuanya itu hanya akan menjadi sebuah sejarah yang tercatat dalam sebuah buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar