Cari Blog Ini

Selasa, 12 Januari 2016

INDEKS DESA MEMBANGUN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN DESA

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar melihat, kemiskinan menjadi penyebab utama perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pada tahun 80-an, sekitar 78 persen jumlah penduduk Indonesia ada di pedesaan. Namun saat ini jumlah penduduk kota dan desa hampir berimbang.
Penduduk kota telah mencapai 49,8 persen sementara persentase penduduk desa justru mengalami penurunan menjadi hanya 50,2 persen dibandingkan pada tiga puluh lima tahun yang lalu. “Jika tren urbanisasi ini dibiarkan, maka diperkirakan tahun 2025 nanti sekitar 65  persen penduduk Indonesia akan berada di kota,” kata Marwan seperti dikutip kemendesa.go.id, Selasa (20/10).
Ketimpangan antara penduduk di desa dan kota, menurut Marwan bisa dilihat dari Indeks kedalaman kemiskinan di desa dan kota. Pada tahun 2014 persentase penduduk desa yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 13,8 persen, sedangkan penduduk kota berjumlah lebih kecil yaitu 8,2 persen.
Jika ditelisik lebih jauh, imbuh Marwan, tingkat kemiskinan di desa jauh lebih dalam dan lebih parah dibandingkan di kota. Hal itu dibuktikan dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan di kota 1,25 sementara di desa jauh lebih besar yaitu mencapai 2,24. Semakin tinggi nilai indeks ini artinya semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.
“Indeks Keparahan Kemiskinan di kota 0,31 sementara di desa 0,56. Semakin tinggi nilai indeks artinya semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin,” imbuhnya.
Karena itulah, kemudian Kemendesa PDTT meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) untuk memberikan perspektif yang komperhensif dalam mengatasi persoalan yang muncul di pedesaan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan yang menyebabkan masyarakat desa hijrah ke kota.
Marwan Jafar mengatakan seiring dengan diluncurkan IDM sebagai referensi desa membangun, Kementerian Desa PDTT juga juga telah menetapkan tiga Program Unggulan yaitu Jaring Komunitas Wiradesa (JKWD), Lumbung Ekonomi Desa (LED), dan Lingkar Budaya Desa (LBD). Program Jaring Komunitas Wiradesa, menurut Marwan, diarahkan untuk mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan desa sehingga mereka menjadi subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil.
Sedangkan Program Lumbung Ekonomi Desa didesain untuk mendorong muncul dan berkembangnya geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan ekonomi di desa. Dan yang ketiga, Lingkar Budaya Desa sebagai program yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.
“Program Unggulan akan selalu dijadikan acuan utama dalam merumuskan kegiatan-kegiatan prioritas setiap tahun. Program unggulan itulah yang akan menghasilkan dampak terukur bagi peningkatan kemajuan dan kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat desa,” paparnya.
Program Unggulan tersebut, menurut Marwan, dikembangkan dengan kerangka kerja yang didasarkan pada penegasan atas lokus dimana upaya pencapaian sasaran pembangunan Desa itu ditujukan. “Penegasan lokus dimaksudkan adalah pada 15.000 Desa yang ditetapkan berdasar Indeks Desa Membangun. Di dalam lokus 15.000 Desa itu terdapat 1.138 Desa perbatasan, dan kesemuanya ditujukan mencapai target sesuai sasaran dalam RPJMN 2015-2019,” tutup Marwan.
Sementara itu, terkait peluncuran IDM ini, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS berpendapat, Desa Membangun telah menjadi konsep strategis bagi pembangunan nasional yang bersifat bottom up. Partisipasi masyarakat desa adalah salah satu kunci sukses pembangunan nasional yang dinahkodai pemerintahan Jokowi-JK.
Menurut Sadu, proses pembangunan sudah tidak bisa lagi menjadikan masyarakat desa sebagai obyek, apalagi sekedar penonton. Masyarakat desa harus menjadi pelaku utama pembangunan, sehingga upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di desa menjadi keniscayaan.
“Proses pembangunan  dan menemukan inovasi itu kata kuncinya. Inisiatif kreatifitas masyarakat desa harus ditingkatkan dalam konsep pembangunan yang bersipat bottom up seperti sekarang,” ujarnya.
Untuk daerah tertinggal, lanjut dia, harus ada pendampingan intensif sekaligus transfer ilmu agar kelak masyarakat bisa menibgkatkan partisipasinya dalam pembangunan. Termasuk pendampingan dalam memberi pelayanan agar desa tertinggal bisa segera membangun.
Sadu juga mengingatkan bahwa kementerian dan lembaga lain sebaiknya tidak lagi hanya terfokus pada program-program non pemberdayaan langsung ke desa, karena sistem itu tidak bisa membangkitkan partisipasi masyarakat.
“Yang penting sekarang program itu harus memberi titik tekan pada pemberdayaan masyarakat desa. Kalau program hanya bersifat top down dari pusat ke desa, maka tak ada sisi pemberdayaannya,” tandas Sadu.
Pengamat ekonomi dari Core Indonesia Dr. Hendri Saparini menilai banyak potensi desa di Indonesia yang belum muncul ke permukaan. Padahal jika potensi itu dimafaatkan, maka upaya membangun ekonomi desa akan lebuh mudah dan cepat terlaksana.
“Potensi di daerah harus diperjelas dan dirumuskan dalam buku agar terlihat lebih jelas. Sebab ini jadi acuan juga dalam menjaankan program desa,” ujar Hendri.
Masalah yang ada di desa, lanjut dia, harus segera ditindaklanjuti agar proses pembangunan bisa berjalan secara merata. Ketimpangan pembangunan antar desa dan antar daerah juga perlu mendapat perhatian khusus. Pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, serta penguatan desa berbasis potensi lokal harus dijalankan secara simultan.
“Peningkatan ekonomi untuk membantu membangun desa itu tentu yang sesuai dengan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Membangun desa yang melibatkan masyarakat memang harus,” ujarnya.
Hendri menilai program yang mensejahterakan masyarakat harus dijalankan berkelanjutan. “Dengan begitu akan ada langkah-langkah program peningkatan secara terus menerus,” tukasnya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar