Pengantar
Paparan singkat ini bertujuan untuk memberikan wacana bagi semua stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat dan partai politik) tentang pentingnya kemitraan (partnership) dan membangun kluster aktivitas ekonomi dalam pengembangan ekonomi lokal khususnya dalam memasuki era otonomi daerah ini. Informasi yang disampaikan mencoba menyajikan beberapa referensi dan hasil kajian akademis sebelumnya dikombinasikan dengan pengalaman serta data-data empiris, kerjasama UNDP, UN-HABITAT dan Kantor Meneg PPN/Bappenas sejak tahun 1997 – 2002. Disadari sepenuhnya, KPEL tidaklah menjadi “panacea” atas problem pembangunan yang melanda saat ini, namun setidaknya cukup prospektif dan visione mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, dan telah memberikan bukti yang nyata dalam : mengurangi disparitas antar para pelaku ekonomi, antar daerah, antar sektor; menginisiasi mobilisasi sumber daya khususnya sumber pendanaan dari investor lokal, BUMN/BUMD, investor internasional; serta berpotensi untuk menurunkan tingkat ketergantungan atas pinjaman (loan) luar negeri.
Pendahuluan
Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang selama ini menjadi “credo” negara-negara berkembang dalam mengejar ketertinggalannya dari negara-negara kapitalis maju, atau yang lebih dikenal dengan paradigma pertumbuhan, telah membawa sejumlah perubahan penting. Disamping berbagai prestasi yang berhasil dicapainya, tercatat sederatan persoalan pelik yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi diatas. Diantaranya adalah semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, semakin beratnya beban hutang luar negeri yang harus ditanggung, masifikasi, undimendionalisasi, degradasi kualitas lingkungan hidup secara terus menerus, proses dehumanisasi tersamar yang nyaris tak terkontrol, dan masih banyak lagi. Untuk implikasi terkahir ini, apresiasi terhadap manusia hanya ditempatkan sebatas kontribusinya terhadap pembangunan (Tjokrowinoto, 1996:28; Tjokrowinoto, 1998:19). Pada tingkat yang paling nyata, terjadi eliminasi peran masyarakat disatu sisi dan dominasi negara di sisi lain. Tidak heran kalau partisipasi menjadi wacana sentral pembangunan selama beberapa dekade terakhir sebagai wujud kritik, sekaligus kontribusi terhadap upaya perombakan paradigma pembangunan menuju paradigma yang lebih manusiawi, tercerahkan dan menyentuh nilai-nilai mendasar dari pembangunan.
Munculnya upaya perombakan paradigma pembangunan serta implikasi-implikasi praktis yang mengikutinya selama beberapa dekade terkahir ini tidak terlepas dari peran serta agen-agen non-pemerintah, atau yang di tanah air popular dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan misi dan visinya yang agak berbeda – untuk tidak mengatakan bertentangan- dengan misi dan visi negara, kelompok tersebut menjadi aktor pembangunan alternatif, yang dengan agenda-agenda visionernya berusaha menggerogoti posisi dan peran dominan negara disatu sisi dan mengangkat eksistensi masyarakat disisi lain. Lembaga ini berusaha melakukan koreksi terhadap paradigma pembangunan yang diadopsi sebelumnya dengan fokus meletakkan negara pada peran yang sebenarnya dan masyarakat pada posisi yang seharusnya. Dengan agenda tersebut, LSM tidak jarang – minimal dari sudut pandang negara – menjadi kompetitor negara.
Salah satu nilai penting-sekaligus kontroversial-yang diperjuangkan LSM dalam kerangka perubahan diatas adalah pemberdayaan (empowerment). Isu tersebut menjadi isu dominan sejak sekitar dekade 1970-an walaupun bibit-biitnya sudah mulai tumbuh sejak beberapa dekade sebelumnya. Bersamaan dengan munculnya nilai-nilai baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya good governance (Grindle, 1998) atau human governance(Falk, 1997), tema tentang pemberdayaan masyarakat semakin aktual dan upaya untuk mewujudkannya merupakan tantangan pembangunan yang paling kontemporer. Tetapi mengapa pemberdayaan?
Pertanyaan diatas memiliki tingkat urgensi yang sangat tinggi jika realitas pembangunan dan implikasi yang ditimbulkannya sebagaimana terjadi selama ini menjadi pertimbangan utama. Para inisiator gagasan tersebut beranggapan bahwa pembangunan yang dijalankan selama ini telah mengeliminasi peran dan posisi masyarakat untuk secara utuh ditaklukkan dibawah dominasi dan hegemoni negara. Dalam kerangka kerja yang demikian, perhatian hanya akan difokuskan pada hitungan-hitungan ekonomi makro yang memang langsung berhubungan dengan legitimasi suatu pemerintahan. Implikasinya adalah tidak adanya jaminan sustainabilitas kebijakan. Masa depan kebijakan sepenuhnya bergantung pada inisiatif dan sumberdaya yang disediakan pemerintah. Orientasi yang bersifat supply-driven itu coba dirombak dengan meletakkan manusia pada pusat lingkaran konsentrik pembangunan, sedangkan dimensi-dimensi pembangunan lainnya (ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan sebagainya) berperan sebagai pendukung realisasi eksistensi manusia. Dalam konteks yang demikian, manusia tidak hanya dilihat sebagai tujuan atau objek utama pembangunan tetapi juga sekaligus menjadi aktor sentral yang peran dan kontribusinya menentukan masa depan pembangunan itu sendiri. Dengan cara pandang seperti itu, kapasitas manusia mendapat prioritas utama, dan oleh karenanya dijadikan semacam moral bencmark. Artinya, kinerja pembangunan hanya akan dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan kapasitas manusia – atau mengeliminasinya. Hal itu sejalan dengan pemikiran pembangunan kontemporer dimana pembangunan dilihat sebagai proses pengembangan kapasitas personal dan institusional untuk dapaat memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (Korten, 1990:67). Cara pandang inilah yang dipromosikan oleh para pendukung paradigma People-Centered Development atauCapacity Building yang muncul selama beberapa dekade terakhir ini.
Bagi Indonesia yang sedang giat melaksanakan pembangunan, wacana diatas sangat menarik dan telah direspons secara positif dalam berbagai paket pemabnguann dan kebijakan publik secara umum. Pemberdayaan menjadi “trademark” atapun jargon yang dapat dicontohkan pada agenda dan kegiatan apa saja. Kondisi ini, dalam batas-batas tertentu, telah menyebabkan reduksi makna pemberdayaan sekaligus membelokkan pemberdayaan dari orientasi awalnya. Dengan kata lain, pemberdayaan telah semakin kehilangan makna substantifnya bersamaan digunakannya konsep tersebut untuk berbagai situasi dan kondisi (Ife, 1996:56). Kecenderungan itu dapat dilihat dari beberapa paket pembangunan berisi pemberdayaan yang dijalankan selama ini, terutama oleh pemerintah pusat. Betapa banyak program pemberdayaan yang dijalankan namun berakhir dengan kegagalan. Atau pada kondisi lain, misi pemberdayaan yang diemban program-program tersebut justru bermuara pada semakin tidak berdayanya kelompok masyarakat yang seharusnya diberdayakan. Banyak kelompok target yang menjadi sasaran pemberdayaan justru menjadi korban dari program pemberdayaan itu sendiri. Kasus-kasus kegagalan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan sejenisnya adalah contoh paling nyata yang merefleksikan kegagalan dan misorientasi kebijakan pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dengan beberapa program pemberdayaan lain yang dijalankan selama ini.
Selain itu, kegagalan kebijakan-kebijakan pemberdayaan juga disebabkan oleh tidak adanya pendekatan yang baik dan integral yang mampu menjamin sustainabilitas. Dalam konteks itu, banyak pengamat menyakini bahwa intervensi kelembagaan merupakan salah satu jalan keluar yang menjanjikan (Rubin & Rubin, 1986). Dengan berbagai karakter inherennya, pendekatan ini mampu menjamin sustainabilitas kebijakan apapun yang sedang dijalankan sejauh diintroduksi secara konsisten. Tuntutan ini sekaligus menjadi salah satu titik terlemah dalam berbagai program pemberdayaan yang dijalankan selama ini.
Permasalahan
Persoalan kontemporer dan paling fundamental dari pembangunan di Indonesia dalam kerangka pemberdayaan adalah bagaimana mengangkat kekuatan ekonomi lokal sebagai basis perekonomian nasional. Persoalan tersebut berkaitan dengan dua pertanyaan pokok, yaitu pertama, bagaimana peran dan kontribusi perekonomian lokal terhadap perekonomian nasional selama ini, dan kedua, bagaimana melakukan upaya optimalisasi atas peran dan kontribusi tersebut. Termasuk dalam konteks ini adalah bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh masyarakat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001). Pandangan transformatif melihat bahwa sebenarnya perekonomian lokal dapat memberikan kontribusi riil dalam porsi yang signifikan jika terdapat upaya serius pemerintah untuk mendayagunakan. Misalnya dengan membuka akses yang seluas-luasnya serta menciptkaan iklim yang kondusif. Pandangan itu berangkat dari kenyataan bahwa pembangunan yang dijalankan selama ini telah menyebabkan marginalisasi terhadap perekonomian lokal, dan oleh karenanya, dibutuhkan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk mengangkatnya kembali. Upaya inilah yang selama ini dikemas dalam paket pemberdayaan.
Isu pokok yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dalam konteks pemberdayaan ekonomi lokal adalah bagaimana membangun kapasitas itu sendiri sehingga mereka mampu mengelola potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal. Kapasitas dimaksud pada gilirannya merupakan fungsi dari dan ditentukan oleh tingkat akses masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan kemampuan ekonomi mereka dan iklim yang konsudif dimana mereka bekerja. Secara lebih spesifik akses dimaksud berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya ekonomi seperti modal, lokasi usaha atau lahan, informasi pasar, teknologi serta sarana dan prasarana produksi lainnya. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, keterbatasan akses pada aspek-aspek perekonomian diatas telah membatasi peluang mereka untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya. Hal itu dapat ditelusuri dari rendahnya tingkat penghasilan masyarakat yang dari waktu ke waktu belum menunjukkan dinamika yang cukup berarti.
Realitas keterbatasan diatas tidak dapat dilepaskan dari persoalan pada aspek lain yang juga turut menentukan yaitu rendahnya daya dukung kelembagaan (institutional carrying-capacity) dan organisasi manajerial sebagai prasyarat optimalisasi pengelolaan potensi atau sumberdaya perekonomian. Lemahnya daya dukung kelembagaan tersebut berimplikasi pada mudahnya nasib ekonomi masyarakat dipermainkan oleh fluktuasi pasar yang antara lain disebabkan oleh ulah para pelaku ekonomi yang kuat. Masa depan perekonomian masyarakat semakin terhimpit ditengah permainan kekuatan-kekuatan ekonomi besar disatu sisi serta rendahnya dukungan dan perlindungan regulative negara disisi lain. Dalam kondisi tersebut, sangat masuk akal jika upaya pemberdayaan masyarakat mendapat prioritas penanganan, sedangkan negara dan aktor-aktor lainnya belum begitu banyak disentuh. Namun harus disadari bahwa pemberdayaan pada hakekatnya merupakan proses integral yang melibatkan semua dimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, institusi-institusi diluar masyarakat, yaitu negara dan kalangan swasta sebagai pilar penopang good governance, harus juga diberi perhatian.
Terpusatnya perhatian pada upaya pemberdayaan masyarakat, terutama untuk golongan yang kurang beruntung (powerless), merupakan cara pandang simplistik yang berusaha mengeliminasi persoalan ketidakberdayaan pada kelompok masyarakat. Sementara realitas ketidak berdayaan pada dua pilar good governance lainnya masih agak luput dari perhatian. Hal itu menjadi salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, gagalnya program-program pemberdayaan selama ini adalah masih kuatnya peran negara, dan oleh karenanya, sangat bias kepentingan negara yang antara lain dapat dilihat dari model pendekatan yang digunakana (Fakih, 1996). Karenanya, untuk masa-masa yang akan datang, upaya pemberdayaan dalam hal apapun harus terlebih dahulu menjawab beberapa pertanyaan fundamental berikut:
Pertama, siapa atau kelompok mana yang harus diberdayakan? Pertanyaan tersebut akan mengarahkan pada upaya identifikasi secara obyektif dan relatif komprehensif aktor-aktor mana yang menentukan masa depan pembangunan, tetapi mengalami banyak keterbatasan, dan oleh karenaya, harus dijadikan sasaran pemberdayaan. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi lokal, pertanyaan tersebut akan mengarah pada economic cluster yang semakin spesifik seperti kelompok petani, nelayan, pengusaha kecil, pedagang eceran, dan sebagainya. Identifikasi semacam itu sangat penting sehingga nantinya dapat ditetapkakn strategi yang tepat dalam sebuah konteks yang spesifik. Sebaliknya, identifikasi yang kabur dan cenderung bias akan berakibat pada kesalahan menentukan kelompok sasaran serta strategi implementasinya. Muaranya adalah, lagi-lagi, terjadinya kegagalan dalam upaya pemberdayaan.
Kedua, dalam hal apa kelompok-kelompok yang telah diidentifikasi tadi harus diberdayakan? Atau singkatnya, apa yang mau diberdayakan? Pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan persoalan fundamental apa yang benar-benar dialami suatu kelompok. Dikatakan fundamental apa benar-benar dialami suatu kelompok. Dikatakan fundamental karena persoalan tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan dan akses mereka dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan derajat keberdayaannya. Pada tataran yang lebih riil, pertanyaan tersebut akan berhubungan dengan pilihan hidup seseorang atau suatu kelompok, proses definisi kebutuhan untuk mewujudkan pilihan tersebut, bagaimana pengembangan gagasan, bagaimana mengembangkan institusi atau organisasi pendukung, sumberdaya apa yang paling dibutuhkan, apa aktivitas-aktivitas ekonomi pokoknya, bagaimana sistem produksi, dan sebagainya. Dengan demikian, upaya pemberdayaan tidak saja memiliki objek yang jelas tetapi juga fokus yang spesifik.
Ketiga, bagaimana atau dengan cara apa pemberdayaan dilakukan ? pertanyaan tersebut berkaitan dengan strategi yang akan ditempuh untuk mengupayakan pemberdayaan. Pertanyaan itu sangat mendasar, dan karenanya, harus dijawab dengan tepat sehingga upaya implementasi program-program pemberdayaan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Sebaliknya, pilihan strategi yang keliru akan berakibat pada gagalnya misi pemberdayaan yang diemban suatu program atau kebijakan. Atau lebih buruk lagi, program pemberdayaan yang coba diintroduksi untuk memperbaiki nasib target group itu tidak memberikan solusi apa-apa, tetapi malah menciptakan masalah baru.
Ketiga pertanyaan pokok diatas sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan derivatif yang terkandung dalam sebuah paradigma. Dengan kata lain, terlepas dari dimensi-dimensi paradigmatik lain, sebuah paradigma akan memiliki implikasi praktis bagi ketiga persolaan tersebut. Kenyataan empiris bahwa ketiga pertanyaan tersebut belum terlalu diperhatikan dalam dinamika dan operasionalisasi kebijakan-kebijakan pemberdayaan di tanah air sekaligus merefleksikan kurang jelasnya bangun paradigma apa yang sebenarnya sedang digunakan. Misalnya apa yang dilakukan pemerintah melalui Program Jaring Pengaman Sosial – Penanggulangan Kemiskinan (JPS-PK) seperti Program IDT, PDM-DKE, program-program karitatif lainnya. Ambisi pemberdayaan yang dibawa program-program tersebut tidak banyak mengubah realitas ketidakberdayaan kelompok miskin. Secara hipotetis, salah satu penyebab kegagalan itu dapat ditelusuri dari ketidakjelasan jawaban atas ketiga pertanyaan diatas. Bahkan sustainabilitas program-program itu sama sekali tidak dapat dijamin. Begitu pemerintah mengundurkan diri, maka berakhir pula program tersebut. Misi pemberdayaan dengan sendirinya tidak tercapai. Bahkan barisan kaum miskin yang perlu diberdayakan semakin bertambah panjang. Demikian halnya dengan beberapa program pemberdayaan lain yang dijalankan sekarang ini seperti “Gerbang Dayaku” oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Akankah mengalami nasib yang sama ?
Pengertian
Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development)
Edward J. Blakely (1994), mendefenisikan Local Economic Development “ = f (natural resources, labor, capital, investment, entrepreneurships, transport, communication, industrial composition, technology, size, export market, international economic situation, local government capasity, national dan state government spending and development supports). All of these factors may be important. However, the economic development practitioner is never certain which factor has the greatest weight in any given situation”. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa “..... The central feature of locally based economic development is in the emphasis on endogenous development using the potensial of local human and physical resources to create new employment opportunities and to stimulate new, locally based economic activity”.
Sementara itu, The World Bank (2001) mendefinisikan “.....Local Economi Development (LED) is the process by which public, business and non governmental sector partners work collectively to create better conditions for economic growth and employment generation”. The aim is to improve the quality of life for all. Practicing local economic development means working directly to build the economic strength of all local area to improve its economic future and the quality of life of its inhabitats. Prioritizing the local economy is crucial if communities today depends upon them being able to adopt to the fast changing and increasingly competitive market environment”.
Dari sisi masyarakat, Pengembagan Ekonomi Lokal diartikan sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai mausia. Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem masarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian. Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman, 2001).
Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu dilandasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Dalam ekonomi yang makin terbuka, ekonomi makin berorientasi pada pasar, peluang dari keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Dalam keadaan ini harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golongan ekonomi yang lebih maju. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomi lokal.
Pengembangan ekonomi lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan sumberdaya manusianya, lembaganya dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembangkan ekonomi lokal tidak cukup hanya dengan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusianya, tetapi juga diperlukan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola sumberdaya manusia yang sudah maju, dan memerlukan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan lembaga ekonomi lokal tersebut berkembang. Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan lembaga kemitraan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat) dengan demikian membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang bersangkutan yang menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha. Untuk selanjutnya, komunikasi multi arah menjadi kebutuhan dasar dalam pengembangan lembaga kemitraan tersebut.
Kemitraan (Partnership)
Kemitraan pada hakekatnya merupakan wujud yang ideal dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang dan saling menguntungkan serta saling menghidupi berdasarkan asas kesetaraan dan kebersamaan. Dengan kemitraan diharapkan dapat menumbuhkan dan menjamin keberlanjutan jaringan kelembagaan untuk mendukung inisiatif lokal dalam pengembangan ekonomi lokal (Haeruman, 2001).
Sejalan dengan itu, Edward J. Blakely (1994) menguraikan Public-Private-Partnerships : “No matter what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to enter into new relationships to make the development process work. This approach is much more than the public sector merely offering cooperation to the private sector to facilitate economic activities for private gain; it is far more than occaional meetings between the municipal council and local business organizations, such as the chamber of commerce. Although these activities are important, and perhaps integral to good business/government relations, they do not constitute true partnerships among the sectors. Partnerships are shared commitments to pursue common economic objectives jointly determined by public, private, and community sectors and instituted as joint actions.
Pola kemitraan adalah salah satu konsep yang sudah banyak dikenal. Dalam pola ini diharapkan suatu lembaga mampu berfungsi sebagai penampung aspirasi para anggota kemitraan tersebut. Perlu diingat bahwa salah satu fungsi dari lembaga kemitraan adalah arus mampu mencerminkan keikutsertaan para anggotanya (participatory approach) dan mengikutsertakan masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di daerah mereka masing-masing.
Dari pengalaman yang lalu, keikutsertaan sektor swasta dan wakil dari masyarakat sangat berperan dalam meningkatkan dinamika suatu kemitraan. Bahkan kalau perlu lembaga kemitraan tersebut dipimpin oleh wakil dari swasta atau wakil dari masyarakat. Hal ini akan sangat mempengaruhi keinerja dari kemitraan itu sendiri. Dengan prinsip “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”, para anggota akan lebih untuk mengutarakan berbagai masalah atau tantangan yang dianggap menjadi ganjalan dalam membangun daerahnya. Banyak pengamat menunjukkan bahwa kecenderungan didunia usaha sekarang bukan kepada membangun usaha yang semakin besar, tapi kepada unit usaha kecil atau menengah dan independen sehingga menjadi lincah dan cepat tanggap dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang cepat di pasar. Peluang pasar akan terdiri bukan atas peningkatan permintaan yang besar, melainkan atas peluang-peluang kecil.
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan tersebut harus memiliki dasat-dasar etika bisnis yang dipahami bersama dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Hal ini erat kaitannya dengan peletakan dasar-dasar moral berbisnis bagi pelaku-pelaku kemitraan. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam melaksanakan kemitraan merupakan suatu solusi dalam mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Komposisi kemitraan itu sangat bervariasi, tetapi merupakan representasi pelaku ekonomi seperti produsen, pedagang, eksportir, pengolah, pemerintah daerah/pusat, perguruan tinggi, lembaga riset lain, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya.
Lebih lanjut, Herman Haeruman (2001) mengelaborasi kemitraan sebagai suatu proses. Proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana itu diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi terus-menerus oleh pihak yang bermitra. Dengan demikian terjadi alur tahapan pekerjaan yang jelas dan teratru sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Karena kemitraan merupakan suatu proses maka keberhasilannya diukur dengan pencapaian nilai tambah yang didapat oleh pihak yang bermitra baik dari segi material maupun non-material, nilai tambah ini akan berkembang terus seusai dengan meningkatnya tuntutan untuk mengadaptasi berbagai perubahan yang terjadi. Singkatnya, nilai tambah yang didapat merupaknn fungsi dari kebutuhan yang ingin dicapai
Dalam mengembangkan kemitraan, masing-masing partner harus sensitif dan menunjukkan komitmen dan empatinya tidak saja terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan bersangkutan tetapi terutama terhadap apa yang menjadi tujuan masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap anggota harus sensitif terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan, tujuannya sendiri, serta tujuan individual identik dengan mencabut akar kemitraan itu sendiri (The Peter F. Drucker Foundation, 1996; Austin, 2000; The Jean Monnet Program, 2001).
Secara sederhana, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal atau disingkat dengan akronim “KPEL” adalah suatu pendekatan untuk mendorong aktivitas ekonomi melalui pembentukan kemitraan masyarakat-swasta-pemerintah dan memfokuskan pada pembangunan aktivitas kluster ekonomi, sehingga terbangun keterkaitan (linkage) antara pelaku-pelaku ekonomi dalam satu wilayah atau region (perdesaan/kota/kecamatan/kabupaten/propinsi) dengan market (pasar lokal, nasional dan pasar internasional) (UNDP, UN-HABITAT & BAPPENAS, 2002). KPEL juga merupakan instrumen untuk mendukung terciptanya :
- Pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya lokal
- Peningkatan pendapatan dan penciptaan peluang lapangan kerja
- Perencanaan yang terintergrasi - baik vertikal dengan horizontal maupun sektoral dan regional (daerah); pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam konteks desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang masih mencari bentuk seperti sekarang ini, pemilihan dan aplikasi suatu strategi pengembangan ekonomi lokal menjadi begitu krusial. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa dengan implementasi paket desentralisasi UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 per 1 Januari 2001 lalu, tidak sedikit daerah otonom di Indonesia yang hanya mengetahui aspek kewenangannya sebagai birokrasi di daerah, bukan sebagai stimulator pembangunan ekonomi di daerah. Juga terdengar agak ironis apabila suatu daerah otonomi tidak persis mengetahui posisi dan berkah sumberdayanya sendiri karena selama ini tidak pernah secara sistematis membuat dan mengembangkan peta potensi sumberdaya ini. Dengan logika paling sederhana pun, cukup sukar bagi suatu daerah untuk merumuskan arah dan sasaran pengembangan ekonomi lokal apabila tempat awal berpijaknya (initial steps) tidak diketahui atau tidak dikuasainya (Arifin, 2001).
Lebih lanjut, Arifin (2001) menjelaskan bahwa pendekatan, strategi atau paradigma perencanaan pembangunan ekonomi berbasis permintaan (demand-driven) ini sebenarnya telah lama dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional, walaupun tidak pernah secara baik diterapkan di Indonesia. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, pendekatan ini dilandasi dan diturunkan dari teori-teori ekonomi pembangunan yang sudah mapan, dan didukung dengan bukti empiris yang cukup. Pada intinya, pendekatan berbasis peemintaan ini menyakini bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang luas (broad-base) suatu daerah minimal harus memiliki dua kondisi sebagai berikut:
Pertama, daerah tersebut harus mampu dan berhasil dalam memasarkan produk (barang dan jasa) ke wilayah lain dalam suatu negara atau ekspor ke luar negeri. Kedua, penerimaan ekspor itu harus menghasilkan dampak ganda (multiplier effect) atau perputaran tambahan pendapatan dalam perekonomian lokal, minimal melalui pembelian faktor produksi dan pengeluaran rumah tangga terhadap barang konsumen oleh segenap aktor ekonomi yang terlibat dalam aktivitas produksi dan ekspor. Kedua prakondisi ini hanya dapat terjadi apabila suatu daerah memiliki suatu keterkaitan yang efisien, yang menghubungkan produsen, pedagang dan supplier di daerah perdesaan dan perkotaan di daerah tersebut dan sekitarnya. Dalam terminologi ekonomi regional, argumen seperti diatas dikenal dengan istilah pengembangan keterkaitan desa-kota atau rural-urban linkages.
Pengembangan ekonomi lokal dengan basis permintaan ini tentu saja diarahkan untuk meningkatkan tingkat keterkaitan atau integrasi daerah-daerah otonomi di Indonesia-khususnya lagi daerah-daerah yang tertinggal-kedalam pasar yang lebih luas atau ke dalam arus utama perekonomian (economic mainstream). Oleh karenanya, pendekatan berbasis permintaan ini sering pula disebut pendekatan berbasis pasar (market-driven) karena orientasi utamanya adalah untuk memperbaiki akses pasar, minimal menghubungkan atau bahkan menciptakan pasar, di tingkat domestik dan internasional, bagi aktor ekonomi produksi dan ekspor di daerah. Fokus pendekatan ini dapat bermacam-macam, namun yang sering dipilih dalam suatu disain implementasi pendekatan berbasis permintaan untuk pengembangan ekonomi lokal adalah dengan kluster ekonomi (economic clusters), terutama yang merupakan kunci atau “starting point” utama di daerah. Pertimbangan fokus kluster ekonomi-bukan semata wilayah geografis – tetapi adalah untuk menerapkan suatu kombinasi strategi keunggulan komparatif (comparative advantage) dan kompetitif sekaligus (competitive advantage).
Istilah kluster ekonomi itu sendiri sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu aktivitas ekonomi yang agak sejenis atau berkelompok dan berbasis suatu komoditas yang sama. Pada tingkat yang lebih luas, kluster ekonomi suatu komoditas tertentu, pasti mencakup perusahaan besar, usaha kecil dan menengah, industri rumah tangga dan institusi pendukung lain yang terlibat dalam produksi, pengolahan, perdagangan dan ekspor dalam konteks integrasi dengan pasar yang lebih luas tersebut. Dengan sendirinya, istilah “ekspor” dalam konteks ini atau dalam ekonomi regional secara umum tidak hanya mencakup kegiatan perdagangan ke luar negeri saja, tetapi juga meliputi aktivitas perdagangan ke daerah lain dalam suatu wilayah ekonomi. Penekanan yang diperlukan adalah pada dampak berganda dari penerimaan perdagangan ekspor tersebut kepada aktivitas ekonomi lain, yang meliputi segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Untuk menjalankan fokus kluster ekonomi itu, seluruh aktor pengembangan ekonomi lokal haruslah memiliki informasi dan pengetahuan mendalam tentang beberapa hal kunci berikut: tingkat permintaan dunia, permintaan domestik, tingkat dan pasokan produksi primer (barang mentah), keterkaitan ke belakang dan ke depan (pengolahan, pengolahan lanjutan, pemasaran ekspor), serta jasa pendukung yang dapat menopang perputaran ekonomi lokal seperti jasa kredit, sarana dan infrastruktur lain yang relevan. Seluruh aktor ekonomi lokal harus pula memiliki pemahaman lebih mendalam tentang kendala dan peluang, tingkat kebekerjaan pasar atau institusi yang melingkupinya, derajat inisiatif, aspek insentif dan disinsentif yang mempengaruhi laju investasi oleh sektor swasta, termasuk pula suatu strategi intervensi kebijakan-baik yang harus dirumuskan oleh pemerintah daerah, maupun oleh pemerintah pusat, plus serangkaian rencana aksi atau implementasi kebijakan tersebut beserta komponen evaluasinya. Salah satu langkah aplikasi pendekatan berbasi permintaan ini adalah pemberdayaan kemitraan atau forum triparit pelaku ekonomi dan stakeholders: swasta, pemerintah dan masyarakat madani (civil society). Paradigma perencanaan berbasis permintaan di atas akan sangat kompitabel dengan desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah, karena merupakan suatu katalisator pada sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good corporate governance) dan diharapkan lebih transparan dan accountable kepada masyarakat luas. Pemberdayaan kemitraan tripartit itu dilandasi pada tujuan dan semangat bersama untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama dalam merumuskan suatu rencana dan kegiatan pembangunan di daerah untuk pengembangan ekonomi lokal.
Strategi Program KPEL
Dalam pelaksanaan Program KPEL, terdapat dua strategi inti yang diformulasikan sedemikian rupa dan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya sebagai berikut :
- Memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta) , untuk berdialog mengenai pembangunan ekonomi. Melalui forum ini, seluruhstakeholder berpartisipasi dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring dan evaluasi.
- Mendorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan kluster ekonomi sebagai suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan pendapatan dan peluang lapangan kerja. Hal ini dapat dicapai melalui identifkasi pasar serta pengembangan, diversifikasi dan pemasaran dari cluster komoditas terpilih (UNDP, UN-Habitat & Bappenas, 2002).
Menurut Bapak ekonomi kelembagaan (the patron saint) Thorstein Veblen (1926), kelembagaan adalah settled habits of thought common to the generality of men. Kelembagaan dianggap sebagai suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi (predictability) dalam hubungan antarmanusia. Walaupun kelembagaan (sosial) sangat peduli pada pemecahan masalah-masalah koordinasi sosial, kelembagaan tidak mesti mengawasi dirinya sendiri (self-policing). Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal, seperti negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencuri hak-hak orang lain.
Sementara itu, John R. Commons (1934), mendefinisikan kelembagaan adalah collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomis juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang berupa manajemen atau tidak sekadar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan itu dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns). Jadi, kelembagaan itu adalah kegiatan kolektif dalam suatu kontrol atau yuridiksi, pembebasan atau liberasi dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu, seperti disebutkan di atas.
Dari uraian definisi dan kelembagaan di atas, kelembagaan menentukan “bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty), bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya (ketidakmampuan atau exposure)” (Commons, 1968, hlm. 6). Bromley (1989) secara tegas mengatakan bahwa kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan (ordered relationships) antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai hak orang lain, privilis dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut.
Strategi 2, berupaya mendorong kerangka kelembagaan yang terbentuk untuk melakukan kluster aktivitas ekonomi yang terencana, jelas, dan terarah sebagai “starting point”. Kriteria untuk pemilihan kluster aktivitas ekonomi yang dapat diterapkan pada pengembangan ekonomi lokal dengan basis atau pendekatan permintaan adalah sebagai berikut :
Pertama, potensi permintaan dari luar daerah (pasar ekspor) besar. Kriteria ini merupakan kriteria dasar dari suatu pendekatan market-driven. Informasi dasar mengenai potensi permintaan ini haruslah digali dan dikuasai, karena merupakan pra-syarat awal untuk menentukan strategi pembangunan berikutnya. Dengan kata lain, potensi pasar inilah yang sebenarnya basis informasi bagi pemilihan, perumusan dan implementasi strategi keunggulan kompetitif dengan pasar yang lebih luas. Tingkat permintaan pasar yang sebenarnya –bukan permintaan semu (fake demand)- harus mampu diketahui dan dianalisis kecenderungan dan implikasinya kepada ekonomi lokal. Jika diperlukan, data rinci dan diidentifikasi lain mengenai pelaku ekonomi di pasar luar negeri itu harus juga dikuasai dan dijadikan acuan utama pengambilan keputusan.
Kedua, potensi mampu tumbuh tinggi di atas rata-rata dan sustainable. Kriteria ini secara implisit mengandung semangat strategi keunggulan komparatif, yang mungkin saja dapat kompatibel dengan komoditas unggulan daerah. Pada langkah awal ini pun tidaklah terlalu bijak apabila pengembangan ekonomi lokal masih berlandaskan unsur coba-coba dengan berbasis komoditas sama sekali baru, dengan tingkat pertumbuhan rendah, walaupun mungkin potensial. Komponen keberlanjutan juga perlu diperhatikan agar dampak berganda dari pengembangan kluster dapat diciptakan dan dipertahankan pada masa-masa mendatang.
Ketiga, melibatkan usaha kecil-menengah. Kriteria ini sebenarnya secara ekonomi dan politik dapat diterima secara luas, apalagi ditengah-tengah perubahan paradigma strategi pembanguanan ekonomi untuk mengembangkan ekonomi rakyat, tidak bertumpu pada konglomerasi dan usaha besar semata. Dengan sendirinya, pengembangan ekonomi lokal dengan basis industri atau usaha besar seperti pertambangan minyak dan gas bumi, batu bara dan sebagainya yang cenderung terpusat pada beberapa aktor saja atau enclave economy, tidak termasuk dalam pendekatan barbasis permintaan ini. Tingkat keterkaitan kluster ekonomi industri besar ini umumnya telah cukup tinggi, sehingga tidak perlu relevan untuk dibahas dalam pengembangan ekonomi lokal ini.
Keempat, menciptakan lapangan kerja produktif bagi kelompok rumah tangga miskin. Kriteria ini, selain berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pembangunan, juga berdasarkan pertimbangan politik atau kebijakan pemihakan yang harus ditunjukkan oleh pemerintah daerah, dan sektor swasta beserta komponen masyarakat madani lainnya. Lapangan kerja produktif hanya dapat diciptakan apabila, pendapatan dari perdagangan itu menciptakan dampak ganda (multiplier effects) bagi aktivitas ekonomi lain, yang secara konsisten diharapkan meningkatkan pendapatan kelompok rumah tangga miskin di daerah. Dari sinilah, esensi pemihakan kepada kelompok pendapatan rendah dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif dapat dikembangkan secara konsisten (Arifin, 2001).
Langkah Metodologi KPEL
Untuk mendukung pelaksanaan strategi (1) dan (2) berdasarkan pengalaman empiris, telah diformulasikan 13 langkah metodologi dalam implementasi KPEL, hanya sebagai “guideline” yang dapat dilaksanakan oleh semua stakeholders dalam suatu region secara generik. Ketiga belas langkah tersebut dikelompokkan kedalam 3 phase yaitu “phase initiation”, “phase implementation” dan “phase institutionalise”, dimana ketiga phase tersebut tidak bersifat “linear” dan “sequen” sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah (UNDP, UN-Habitat dan Bappenas, 2002).
“Phase – Initiation”, adalah phase untuk menjelaskan bagaimana mengawali sebuah program yang terdiri atas :
“Phase Implementation” adalah fase untuk menjelaskan bagaimana mengimplementasikan program KPEL yang terdiri atas:
“Phase Institutionalise” adalah phase untuk meformalkan institusi yang terbentuk sebagai pranata pembangunan yaitu :
- Sosialisasi Program KPEL. Sosialisasi merupakan tahap awal untuk dapat memperkenalkan dan menjelaskan Program KPEL kepada semua stakeholder, apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, siapa yang akan dilibatkan, serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya dan manfaat yang diperoleh baik bagi masyarakat, bagi swasta mupun bagi pemerintah.
- Seleksi dan pelatihan kader PEL. Pelatihan kader ini dimaksudkan sebagai agen implementasi (fasilitasi persiapan dan pelaksanaan) dan “prime mover” dalam mendukung berjalannya Program KPEL di daerah. Kehadiran kader selaku “change agent” diharapkan akan semakin mempercepat proses transpormasi, perubahan dan reformasi sesuai dengan kebutuhan semua stakeholder.
- Indentifikasi dan Pemilihan Kluster. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pengembangan kegiatan ekonomi melalui kluster terpilih sebagai “starting point”. Tahapan yang dilakukan adalah mengidentifikasi sejumlah cluster potensial, kemudian memilih cluster yang akan dikembangkan sesuai dengan kesepakatan dari stakeholder daerah.
- Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (K-PLED). Kegiatan ini dilakukan dengan mengidentifikasi stakeholder (pemerintah, masyarakat dan swasta) untuk kemudian secara bersama-sama membangun kemitraan yang berfungsi sebagai forum dialog, penyusunan strategi dan pengambilan keputusan, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal.
- Mengadakan penelitian baseline survey. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi guna membantu forum kemitraan dalam membuat keputusan yang terkait dengan potensi pasar bagi kluster aktivitas ekonomi dan diversifikasi komoditas yang akan dikembangkan.
- Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian kolektif dari masyarakat produsen tersebut, mengingat kelompok ini merupakan relatif kelompok terlemah dalam forum kemitraan.
- Fasilitasi dukungan teknis. Fasilitasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu, perbaikan proses produksi dan meningkatkan nilai jual dalam pengembangan kluster bagi kemitraan di daerah. Dukungan teknis dapat berasal dari semua stakeholder seperti Bappeda, Dinas, Departemen Teknis, BUMN/BUMD, Swasta, Pengusaha, Konsultan, serta instansi terkait lainnya.
- Deseminasi informasi pasar. Mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi pasar dimaksudkan untuk memastikan semua anggota forum kemitraan khususnya kelompok produsen memperoleh akses yang sama terhadap informasi pasar (harga, peluang, transaksi), stakeholder dan kluster sehingga terjamin adanya hubungan yang setara dan saling menguntungkan dalam setiap proses transaksi.
- Fasilitasi input dan umpan balik bagi kebijakan dan perencanaan. Memanfaatkan dan mendayagunakan forum kemitraan sebagai forum untuk memberikan masukan bagi kebijakan perekonomian daerah, perencanaan infrasruktur ekonomi dan proses-proses pembangunan lainnya.
- Mobilisasi sumber daya. Untuk menjamin keberlanjutan dan kelangsungan forum kemitraan di daerah, maka perlu dilakukan mobilisasi sumber daya baik sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya keuangan, aset pengalaman, teknologi dalam konteks kerjasama sektoral dan daerah. Sumberdaya tersebut dapat berasal dari pemerintah, lembaga donor, pihak swasta, pengusaha lokal, masyarakat.
- Branding. Mengidentifikasi peluang, akses pemasaran, dan meningkatkan nilai jual komoditas dengan mempromosikan”brand” atau produk ekonomi lokal.
- Membangun/memperkuat kemitraan di tingkat Propinsi (Pro-PLED). Kemitraan di tingkat propinsi mempunyai posisi kunci dan peran penting yaitu menstimulasi pertumbuhan ekonomi regional dan sebagai “aliansi strategis” untuk mendorong terciptanya “lingkage” antar satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kabupaten dengan propinsi, propinsi dengan dengan propinsi lainnya, propinsi dengan nasional dan dunia internasional.
- Melembagakan/melegalisasikan forum kemitraan. Untuk memperkuat peran dan posisi yang dilakukan oleh forum kemitraan serta keberlanjutannya, maka perlu dilembagakan. Forum kemitraan ini dapat berada di 1) dalam koordinasi dan legalisasi pemerintah, 2) dapat berdiri sendiri dan merupakan suatu lembaga yang independen, 3) serta dapat pula berada dalam suatu lembaga pelaksana tertentu seperti misalnya LSM atau organisasi masyarakat lainnya. Pilihan untuk ketiga “options” di atas sangat tergantung dari kemauan dan kesepakatan forum kemitraan yang terbentuk.
Lessons Drawing KPEL
1. Participatory decision making
Kuantitas hasil tangkapan udang oleh nelayan-nelayan lokal sangat rendah karena sistem perizinan perikanan di Kabupaten Sorong yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memperbolehkan kapal-kapal pukat harimau memasuki aeral mereka. Forum kemitraan tripartid di tingkat kabupaten (pemerintah, masyarakat, dan swasta) berhubungan dengan Tim Pengkajian Ekonomi Kabupaten Sorong, dan DPRD melobi pemerintah pusat. Hasilnya, kewengan izin penangkapan ikan dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Sorong dan menetapkan aturan baru, yaitu memberlakukan batasan zona tangkap ( 10 mil) untuk usaha-usaha besar. Implikasinya, kuantitas hasil tangkapan udang semakin berlipat ganda.
2. Understanding Markets
Sebelum intervensi KPEL, para petani kelapa di Sulawesi Utara mendapatkan informasi harga pasar hanya dari pedagang-pedagang lokal yang datang ke tempat mereka. Tetapi, dengan jatuhnya harga kelapa internasional tahun 2000, para pedagang sering berspekulasi menggunakan fluktuasi harga harian untuk mendapatkan keutungan yang sebesar-besarnya. Akibatknya, timbul ketidakharmonisan dan konflik antara para pedagang dengan petani-petani tersebut. Sadar akan kebutuhan dan pentingnya akses yang sama terhadap informasi pasar guna meminimalkan pemburu-pemburu rente, forum kemitraan di tingkat propinsi (pemerintah, masyarakat, swasta) menginisiasi penyebarluasan informasi pasar. Forum kemitraan tingkat propinsi menyebar luaskan harga harian kelapa dan kopra melalui radio lokal, radio transmiter milik petani, membuka warnet di lokasi-lokasi strategis dan bekerja sama dengan koran lokal (Manado Post sejak Desember 2000). Adanya akses informasi harga pasar tersebut, semakin meningkatkan posisi tawar para petani sehingga tercipta persaingan yang sehat, efisien dan berdasarkan prinsip-prinsip dagang yang “fair”
3. Access to infrastructure, facilities and urban centre
Kemampuan forum kemitraan di Kabupaten Tanggamus, Lampung menggerakkan semua stakeholder seperti Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perbankan, serta instansi terkait lainnya, memberikan konstribusi yang nyata dalam penyediaan sarana dan prasasana. Keterlibatan para penyuluh yang handal dalam produksi kopi, ketersediaan fasilitas komunikasi, alat transportasi, akses ke sistem perbankan, teknologi dan infrastruktur lainnya dari dinas teknis terkait sangat membantu peningkatan kualitas mutu produksi kopi sehingga mempunyai nilai jual tinggi
4. Diversification
Jatuhnya harga kelapa di pasar internasional, menuntut forum kemitraan KPEL di Propinsi Sulawesi Utara melakukan trobosan lain guna meningkatkan nilai jual produksi kelapa tersebut. Melalui studi diversifikasi yang dilakukan seorang tenaga ahli dari Srilanka bekerja sama dengan forum kemitraan kabupaten dan perguruan tinggi (UNSRAT), diperoleh hasil bahwa produk turunan kepala dapat mengasilkan Nata-de-Coco, Minyak Klentik dan Arang Tempurung. Data penelitian menunjukkan bahwa, penghasilan Nata-de-Coco dapat menambah pendapatan petani sekitar 12 % per bulan dan produsen arang tempurung memperoleh tambahan pendapatan Rp 100.000,- per bulan. Disamping itu, 98 % hasil dari minyak kelapa mampu menggantikan pemakaian minyak dari kelapa sawit yang relatif mempunyai harga yang lebih tinggi.
5. Capacity Building
Hasil survey pada awal tahun 2001 terhadap 70 nelayan di Sorong, dengan jelas menunjukkan perbedaan yang nyata antara nelayan yang mendapatkan pelatihan (fasilitasi teknis) dan yang tidak mendapat pelatihan yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan melalui forum kemitraan. Pendapatan bersih rata-rata untuk mereka yang berpartisipasi dalam pelatihan meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak berpartisipasi. Disamping itu, nelayan yang mengikuti pelatihan mempunyai pengetahuan, peralatan, dan rasa percaya diri yang lebih baik.
2000
|
2001
|
Perubahan
| ||||
Tanpa*
|
Dengan*
|
Tanpa*
|
Dengan*
|
Tanpa*
|
Dengan*
| |
Lokasi Teminabuan
| ||||||
Tangkapan (kg)
|
15
|
41.9
|
11.6
|
47.1
|
-23%
|
13%
|
Harga (Rp/Kg)
|
30.000
|
30.000
|
60.000
|
60.000
|
100%
|
100%
|
Penjualan (Rp)
|
448.980
|
1.255.650
|
693.000
|
2.827.740
|
54%
|
125%
|
Pendapatan Bersih (Rp)
|
321.180
|
912.700
|
504.150
|
2.134.715
|
57%
|
134%
|
Lokasi Inanwatan
| ||||||
Tangkapan (kg)
|
20.8
|
20.6
|
19
|
32.2
|
-9%
|
56%
|
Harga (Rp/Kg)
|
17.500
|
17.500
|
40.000
|
40.000
|
129%
|
129%
|
Penjualan (Rp)
|
364.397
|
360.477
|
760.000
|
1.289.333
|
109%
|
129%
|
Pendapatan Bersih (Rp)
|
214.563
|
237.410
|
370.000
|
648.267
|
72%
|
173%
|
* Dengan atau tanpa pelatihan
6. Network and urban-rural lingkages
Di Sulawesi Utara, forum kemitraan di tingkat kabupaten berhasil mempromosikan prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan menciptakan network antara eksportir (Ferry Kokali, Direktur PT. Mikaindo) dengan para nelayan-nelayan tingkat lokal. Kesepakatan yang dibentuk adalah PT. Mikaindo meminjamkan mesin perahu dan es batu secara gratis kepada nelayan dan pembayaran tunai setiap hasil tangkapan sesuai dengan harga yang berlaku pada saat itu. Hasil tangkapan semakin tinggi dan mereka mendapat keuntungan 10 kali lipat dari biasanya. PT. Mikaindo mendapat jaminan dari forum kemitraan bahwa setiap nelayan akan loyal bekerja sama dan mendapat pasokan yang kontinue sehingga perusahaan ini mampu melakukan ekspor ke pasar internasional. Perusahaan ini akhirnya merupakan salah satu eksportir ikan yang terbesar di Propinsi Sulawesi Utara
7. Integrated planning and cross sectoral and inter-regional link
KPEL mendorong terciptanya perencanaan yang menyeluruh dan terintegrasi antar semua stakeholders serta kerjasama pembangunan sektoral dan daerah. Hal ini terjadi karena dalam forum kemitraan yang diwakili oleh semua stakeholders, bersama-sama memusatkan perhatiannya pada sebuah strategi bersama berikut rencana kerjanya (action plan), guna mengembangkan kluster ekonomi yang terpilih. Dengan sendirinya, semua rantai kegiatan dari pra-produksi sampai dengan pasca produksi, melibatkan semua unit usaha dan semua stakeholder.
8. Information transparancey
Pengalaman di Sulawesi Utara, dimana forum kemitraan menyebar luaskan informasi harga kelapa melalui radio lokal, sistem radio transmiter milik petani, warnet di lokasi strategis dan kerjasama dengan koran lokal “Manado Post”. Transparansi informasi meningkatkan posisi tawar, meminimalkan biaya transaksi (transaction cost) dan mendukung terciptanya prinsip-prinsip perdagangan yang adil dan sehat
9. Political will
Forum kemitraan di Kabupaten Sorong merupakan contoh yang sangat menarik, mengingat pemerintah daerah memberikan dukungan penuh walaupun penggerak utama aktivitas ekonomi adalah swasta dan masyarakat. Bahkan, melalui APBD, forum kemitraan ini mendapat bantuan dana sebesar Rp 25 juta dari Bupati Sorong, John Wahane. Hal yang sama juga terjadi di Propinsi Sumatera Barat, dimana forum kemitraan mendapat bantuan dana APBD sebesar Rp 60 juta rupiah. Di Propinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Buton dan Muna, masing-masing mendapat bantuan Rp 50 juta rupiah.
Dukungan pendanaan juga diperoleh dari 26 BUMN seperti di Propinsi Banten, mendapat dukungan dana sekitar 29.685 miliar rupiah untuk Kabupaten Cilegon, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten dan Kota Tanggerang. Beberapa BUMN yang berpartisipasi diantaranya adalah PT. Karakatau Steel, Pertamina, PT. Telkom, PT. Sucofindo, PT. Bank Mandiri, dan sebagainya (Bappeda Banten, 2002).
Penutup
Strategi, paradigma atau pendekatan berbasis permintaan di Program KPEL ini jelas masih dalam taraf wacana dan ujicoba. Artinya, pemberdayaan forum kemitraan dan modifikasi yang diperlukan untuk daerah-daerah lain di Indonesia harus dikerjakan. Pemberdayaan kemitraan yang baik apabila pengambilan keputusan dilakukan secara otonom dan bersama-sama oleh seluruh stakeholders. Di banyak negara termasuk Indonesia pada saat ini, pemerintah memandang dirinya semata hanya bertugas untuk membuat suatu kebijakan dan kurang mananggapi kebutuhan produsen skala kecil dan usaha kecil menengah pada umumnya.
Organisasi atau forum kemitraan swasta-pemerintah dan masyarakat ini bukanlah merupakan alat atau kepanjangan pemerintah, namun sebagai organisasi otonom yang bebas mengajukan proposal sendiri. Organisasi itu diharapkan segera dapat mengimplementasikan program-programnya sendiri, terutama apabila cukup tersedia dana dari pihak luar pemerintah dan melakukan advokasi pandangannya dan membuat rekomendasi terhadap rencana dan kebijakan publik di daerah.
Pengalaman berharga dari Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (Partnership for Local Economic Development) kerjasama UNDP, UN-Habitat dan Bappenas memperlihatkan bahwa anggota forum kemitraan di luar pemerintah secara perlahan mulai menyadari bahwa mereka mempunyai peran baru. Tadinya, mereka menjadi penonton pasif dalam pembangunan. Sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk berperan aktif sebagai agen perubahan. Anggota kemitraan dari pemerintah juga mulai belajar bahwa mereka tidak lagi membuat keputusan dari atas ke bawah, namun mereka sekarang mendapat kesempatan untuk mengalokasikan sumber dana publik berdasar kebutuhan masyarakat dan pasar.
Program KPEL juga berangkat dari adanya kelangkaan sumber daya dan konflik yang timbul dari kelangkaan tersebut, tetapi lebih mementingkan pengelihatan ke depan, khususnya mengenai “rule of the game” atau tata cara sekumpulan kepentingan yang akan tercipta. Jadi, permasalahan mengenai konflik dan pertentangan kepentingan tidak dapat dibahas hanya dengan prinsip-prinsip optimalisasi dan maksimisasi saja, tetapi memerlukan alat analisa alternatif misalnya mengapa terdapat konflik, apakah karena perbedaan kekuasaan, keinginan, perilaku, dan sebagainya.
Dengan tetap berlandaskan pada semangat desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus merangsang dunia usaha swasta untuk menggarap dan memanfaatkan insiatif di tingkat daerah atau tingkat lokal untuk mengembangkan sektor pertanian, sektor perikanan, sektor perkebuanan dan basis sumber daya alam lainnya. Pemerintah daerah dilarang keras membunuh inisiatif lokal, begitupun, pemerintah pusat juga perlu memberikan insentif yang lebih besar lagi untuk inisiatif investasi di tingkat daerah, demi masa depan pembangunan ekonomi kita yang lebih cerah
Daftar Pustaka
- Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001.
- Asian Development Bank dan Kelompok Kerja Pengembangan UKM. Lokakarya Penguatan UKM Mempercepat Agenda Reformasi Kebijakan. Hotel Borobudur, 17 April 2002.
- Berman, Evan M, 1995. “Empowering Employess in State Agency : a Survey of Recent Progress, :International Jurnal of Public Administration, Vol. 18, No. 5, Pp. 833-850.
- Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second Edition. Sage Publications, Inc. 1994.
- Bromley, Daniel. 1989. Economic Interests and Institutions. New York : Basil Blackwell.
- Commons, John R. Institutional Economic : Its Place in Political Economy. Madison : University of Wisconsion Press. 1934.
- Fakih, Mansour, 1996. Masyarakat Sipil Menuju Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Korten, David. 1990. Getting to 21 st Century : Voluntary Action and the Global Agenda, Connecticut : Kumarin Press.
- Haeruman, Herman. Js. “Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Lembaga Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat”. Sosialisasi Nasional Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. Hotel Indonesia, 2001.
- Martaamidjaja, Soedradjat. A. Agriculture System in Indonesia. The Agency for Agricultural Education and Training. 1993/4.
- Prijono, Onny S. dan A.M.W. Pranarka, ed. (1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : CSIS.
- Rubin & Rubin, 1986, Organization Theory : Structure, Design and Applications, New Jersey : Prentice Hall.
- Tjokrowinoto, Moeljarto, 1996. Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Tjokrowinoto, Moeljarto, 1998. Macro-Optimism and Micro-Scepticism : Two Dimensions of Indonesian Poverty Alleviation Politics, Tokyo : ILCAA.
- The World Bank Urban Development Unit. Local Economic Development, LED Quick Reference Guide. October 2001.
- The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnership”, Report.
- UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July 2002.
- Veblen, Thorstien. The Theory of Leisure Class : An Economic Study of Institutions. New York : Vanguard Press. 1926
Tidak ada komentar:
Posting Komentar