Cari Blog Ini

Senin, 12 September 2016

Resiko Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Hasil gambar untuk korupsi pengadaan barang dan jasa


Berdasarkan pengalaman dan penelitian yang dilakukan TI, mulai sejak tahap awal dan akhir proses pengadaan barang dan jasa sangat rawan terjadi korupsi. Hal-hal yang menyebabkan resiko korupsi sebagai berikut:
  • Keterbatasan atau pelarangan akses mendapatkan informasi
  • Penyalahgunaan sistem penunjukan langsung atau tender tertutup
  • Keterbatasan atau tidak efisiennya pengawasan dan pemantauan selama proses tender dilakukan, bahkan dalam tahap pelaksanaan di lapangan
  • Kurangnya transparasi dalam tahap penghitungkan anggaran


Berikut merupakan gambaran beberapa faktor dan hal yang berpotensi meningkatkan resiko korupsi:


“Belanja Mendesak” di Akhir Tahun Anggaran
Belanja yang mendesak pada akhir tahun anggaran, kerap menjadi subjek terjadinya praktik korupsi. Sebab, biasanya transaksi pada periode ini kurang diawasi secara ketat. Di banyak lembaga publik, banyak dana yang tidak dibelanjakan hingga akhir tahun anggaran sehingga mendorong pejabat di lembaga tersebut untuk segera menghabiskannya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Tak aneh, jika kemudian banyak dana yang menghilang atau dihabiskan dalam sekejap menjelang akhir tahun anggaran. Dalam situasi “darurat” tersebut, biasanya proses tender dilakukan dengan penunjukan langsung meski sebenarnya proses tender terbuka masih memungkinkan.

Masa Tanggap Darurat Saat Bencana Alam atau Bencana Lainnya.
Pengadaan barang dan jasa saat terjadi bencana beresiko terjadi korupsi. Hal ini terjadi karena adanya jumlah dana yang besar dan harus dibelanjakan secara cepat untuk menanggulangi permasalahan kemanusiaan. Seperti tempat tinggal sementara, penyediaan air bersih. Berdasarkan pada resiko ini, diharapkan organisasi kemanusiaan memiliki kesadaran untuk melakukan upaya pencegahan korupsi melalui penguatan sistem distribusi bantuan dengan merekrut staf yang profesional. Resiko tersebut kian bertambah dengan adanya tekanan agar bantuan dikirim secepatnya kepada korban yang membutuhkan.

Resiko korupsi muncul disebabkan sulitnya proses pengadaan barang dan jasa, termasuk di daerah peperangan dimana bantuan dapat terjebak dalam konflik yang terjadi.
Masalah korupsi yang terjadi saat situasi darurat adalah pengelolaan prioritas bantuan yang juga membutuhkan bukti transaksi dan hal lain seperti efisiensi. Secara esensial, resiko korupsi dapat dikurangi bila sistem manajemen dilakukan secara benar, akuntabel dan transparan kepada korban.

Kurangnya Akses Informasi

Korupsi secara diam-diam telah berkembang dengan sangat pesat. Meski pemerintah secara pro aktif telah mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan atas informasi, namun penerapan yang lemah telah menyebabkan peluang untuk memanipulasi informasi tetap terjadi. Oleh sebab itu, transparansi dan kebebasan atas informasi merupakan komponen penting dalam upaya menggurangi terjadinya korupsi. Seharusnya, akses informasi disediakan secara efisien dan layak, misalnya penggunaan situs internet, atau pemasangan billboard atau pengumuman di radio dan sebagainya.

Standarisasi Dokumen Tender

Standarisasi dokumen tender dan pengadaan lainnya akan lebih mudah dipredikasi dan lebih sistematis. Bila tidak ada standarisasi dokumen tender akan menimbulkan adanya upaya manipulasi yang menyebabkan kerancuan dalam pengambilan keputusan.

Penetapan Peserta Tender

Pada umumnya, kecenderungan untuk menentukan peserta tender tertentu akan beresiko mengurangi tingkat fairness dalam proses pengadaan barang dan jasa dan biasanya diikuti dengan peningkatan biaya pembelian. Jika peserta tender telah ditetapkan, penting untuk memastikan proses tersebut dilakukan secara bersih dan jelas serta mengikuti peraturan administratif menurut aturan-aturan yang berlaku.

Keikutsertaan Perusahaan Milik Pejabat Publik

Jika perusahaan peserta tender dimiliki atau sebagian sahamnya oleh pejabat publik, maka sistem transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dipastikan berjalan dengan baik. Masalahnya, terkadang kepemilikan perusahaan tidak diperiksa terlebih dahulu. Oleh sebab itu, perlu ditambahkan persyaratan khusus bahwa seluruh peserta tender mendapat perlakuan sama. Lebih lanjut juga diperlukan informasi tentang struktur kepemilikan resmi perusahaan dalam dokumen tender.
Beberapa tanda potensi resiko yang harus diperhatikan mengenai status kepemilikan resmi perusahaan agar dapat diambil langkah-langkah pencegahannya, sebagai berikut:
  • Perusahaan dengan struktur kepemilikan tidak jelas, tetapi sering memenangkan kontrak-kontrak besar pemerintah
  • Anggota keluarga dari pejabat tinggi publik yang memegang kepemilikan dan memegang peran dalam sebuah perusahaan;
  • Kelompok masyarakat yang berhubungan dekat (kolega) dengan pejabat publik atau kelompok bisnis yang dipimpin oleh pejabat publik; dan
  • Pejabat publik kerap datang atau berhubungan dengan pemilik perusahaan

Keikutsertaan Perusahaan “Boneka”


Perusahaan-perusahaan boneka biasanya berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi secara aktif dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemiliknya. Selain itu, biasanya perusahaan semacam ini hanya dijadikan sebagai kedok oleh pejabat publik atau anggota keluarganya, sub kontraktor untuk membuat perjanjian yang kolutif antar sesama peserta tender.
Bank Dunia mengindikasikan tanda-tanda keterlibatan perusahaan semacam ini dalam tender, antara lain:
  • Ketidakjelasan bentuk pekerjaan sebagai subkontraktor pada proyek besar
  • Perusahaan tersebut terdaftar dalam yuridiksi yang memperbolehkan kerahasiaan kepemilikan dan pengelolanya;
  • Perusahaan menghendaki pembayaran faktur secara rahasia yang diatur dalam secara hukum;
  • Adanya pekerjaan yang terselubung dalam portofolionya;
  • Struktur kepemilikan terdiri dari kantor hukum atau kelompok bisnis;
  • Minimnya fasilitas yang dimiliki perusahaan;
  • Jalur komunikasi untuk perusahaan berupa tempat tinggal perorangan atau layanan mesin penjawab telepon; 
  • Tidak adanya catatan kinerja dalam database perusahaan

Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa


Dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah, ada beberapa bentuk korupsi. Bentuk yang paling sering dilakukan dan terang-terangan adalah penyuapan dan pemberian uang pelicin (uang rokok, uang bensin dan sebagainya) hingga bentuk lainnya yang lebih halus dalam bentuk korupsi politik.


Penyuapan vs Uang Pelicin. 
Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap. Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah terutama yang terkait persoalan hukum (misalnya dalam pemeriksaan bagasi oleh pihak bea cukai) atau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak. Kedua bentuk kejahatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi yang dilarang di hampir seluruh negara.



Suppy vs Demand. 
Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai “korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu melakukan apa saja kecuali bersikap “pasif”.



Kartel atau Kolusi. 
Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.



Struktur vs Situasional. 
Korupsi dalam konteks bisnis sering berbentuk “struktural”, yang berarti telah direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi “situasional” adalah tanpa direncanakan, misalnya ketika seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya agar tidak memberikan surat tilang.

Korupsi dan resiko korupsi dapat terjadi dalam seluruh proses pengadaan barang dan jasa. Korupsi dapat terjadi dalam tahapan-tahapan berikut:

  • Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan,
  • Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender,
  • Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender,
  • Tahap pelaksanaan pekerjaan,
  • Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
Diperlukan adanya upaya pencegahan dan pengawasan (atau due deligence) untuk menanggulangi munculnya “tanda-tanda bahaya” yang diperkirakan akan berpotensi korupsi.


Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis resiko korupsi adalah menemukenali dan membedakan masalah yang menyebabkan korupsi, apakah disebabkan sistem yang tidak efisiensi atau justru pelaksanaan sistemnya yang keliru. Apabila keputusan yang dihasilkan kurang memuaskan, maka pendekatan analisis berikutnya harus ditinjau dari sisi alasan penyebab kejadiannya, terutama jika diduga ada aksi kejahatan.

Tak semua masalah efisiensi dapat dikaitkan dengan korupsi, demikian pula sebaliknya. Disisi lain, hal yang terkadang terlihat sebagai tindakan korupsi dapat disebabkan oleh sebuah kesalahan kecil atau adanya kelemahan kapasitas pelaksananya. Meski upaya untuk pencegahan korupsi masih lemah, namun mungkin kelak akan diperlukan dalam sebuah reformasi sistem. Sebagai contoh, jika reformasi bertujuan mengefisiensikan proses pengadaan barang dan jasa, tetapi mengacuhkan aspek transparansi dan penyebarluasan informasi, dikhawatirkan rekomendasi yang dihasilkan akan menjadi bumerang ketika dilakukan evaluasi. Demikian pula sebaliknya. Proses pengadaan barang dan jasa yang transparan tetapi tidak efisien juga akan berdampak pada hasil dan target yang diharapkan karena proses yang terlalu lama. Berikut ini adalah contoh manifestasi dan resiko korupsi yang paling sering dijumpai dalam setiap tahapan:



Tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan

  • Ketidakharusan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat,
  • Menerapkan sistem baru (yang potensial menawarkan suap) yang justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran yang sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (yang justru meminimalkan korupsi),
  • Adanya investasi yang secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada,
  • Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikan agar melebihi batas kebutuhan,
  • Suap untuk politisi dan uang “terima kasih” (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra – perjanjian tertentu dengan kontraktor),
  • Konflik kepentingan (conflict of interest- termasuk revolving door movement) dimana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.
Tahap persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender
  • Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung,
  • Menaikan atau mengurangi jumlah barang atau jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor,
  • Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, yang bertujuan menyembunyikan rencana-rencana korupsi,
  • Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender,
  • Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.
Tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang tender
  • Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan “uang terima kasih” (kickback) atau adanya konflik kepentingan),
  • Seleksi kriteria yang sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran didalamnya,
  • Adanya pemberian informasi yang bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak diberikan kepada seluruh peserta tender,
  • Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen yang rahasia tersebut justru disebarluaskan sehingga menyebabkan proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan,
  • Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparasi hasil evaluasi penawaran),
  • Pembayaran harga yang sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender yang tidak benar.
Tahap pelaksanaan pekerjaan
  • Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang yang lebih rendah, kualitas yang kurang baik atau berbeda dari spesifikasi dari kontrak yang telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan yang memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya,
  • Re-negosiasi kontrak atau penggantian klausul kontrak yang mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan,
  • Harga yang meningkat “akibat perubahan kontrak” sebagai dampak atas perubahan spesifikasi yang disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi,
  • Munculnya tuntutan yang dibuat-buat,
  • Pengawas atau pemantau telah dibeli atau tidak independen agar mereka membuat laporan yang tidak benar atau memalsukan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya,
  • Negosiasi ulang atau penambahan perubahan yang substansial didalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.
Pelaporan keuangan dan audit (bila dilakukan).
  • Akuntan dan auditor yang melakukan audit tidak jujur atau telah “dibeli” dan meluluskan banyak bukti-bukti akuntansi yang tidak benar
Sumber : Ceris Institute