Seiring dengan berjalannya pendekatan Warsawa lewat pembicaraan iklim, ini adalah saat untuk melihat kembali kerangka kerja pembangunan internasional yang sedang dikontekstualisasikan. Di sini, terdapat lima pertanyaan yang dipertimbangkan:
1. Latar belakang–Siapakah yang menyerukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan mengapa?
1. Latar belakang–Siapakah yang menyerukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan mengapa?
Di tahun 2015, target dan indikator anti kelaparan yang tercantum dalamTujuan Pembangunan Milenium PBB (MDGs) akan berakhir. Laporan Satuan Tugas PBB berjudul “Realizing the Future We Want for All (Mewujudkan Masa Depan yang Kita Butuhkan untuk Semua)” mengakses kemajuan yang impresif untuk mencapai MDGs, meski tantangan-tantangan pencapaian masih ada di beberapa negara. Laporan ini juga mengidentifikasi beberapa kelemahan konseptual dari MDGs, kebanyakan mengenai kegagalannya untuk mengatasi lingkungan hidup secara lintas sektoral; kebutuhan beberapa tujuan untuk memperdalam dampaknya (misal, akses terhadap pangan yang bernutrisi ketimbang sekedar mencukupi jumlahnya); dan tantangan untuk membangun kemitraan untuk pembangunan yang tidak membagi dunia menjadi negara penerima bantuan dan donor, namun menggarisbawahi persamaan dan tanggung jawab masing-masing demi kepentingan bersama.
Sebuah konsep dimunculkan oleh pembuat kebijakan – pertalian pangan-energi-air – bertujuan untuk menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan dan lingkungan hidup yang sehat dengan mempertimbangkan bagaimana masing-masing dari tiga elemen tersebut berkorelasi secara internal dan saling terpengaruh oleh pembuatan keputusan. Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) menuliskan dalam riset terbaru adanya kebutuhan untuk perubahan dari perspektif berorientasi konservasi menuju peningkatan integrasi untuk tujuan pengentasan kemiskinan.
Untuk mengatasi dengan lebih baik lagi hubungan antara kemiskinan yang akut dan degradasi lingkungan hidup yang tersebar luas; Kolombia, Guatemala, Peru, dan Uni Emirat Arab menyerukan untuk merubah paradigma – mempertimbangkan isu lingkungan menjadi butir sendiri sehingga menjadi delapan butir (MDG7), sehingga terlepas dari tujuh tujuannya dan akan menjadi konsep yang koheren dan berdaya jangkau luas yang akan memandang kesehatan dan produktivitas lingkungan hidup sebagai isu yang penting. Negara-negara ini kemudian menyerahkan proposal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam pembukaan “Rio+20” Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan tahun 2012. Dokumen hasil Rio+ memperkuat posisi ini dengan memberikan mandat untuk mengembangkan SDGs ke Majelis Umum PBB yang terdiri atas Kelompok Kerja Terbuka dengan 30 anggota. Dalam proses paralel, Sekjen PBB Ban Ki-moon mengadakan sebuah ‘Pertemuan Tingkat Tinggi Pihak Penting’ untuk mengeksplorasi kerangka kerja umum untuk agenda pembangunan pasca-2015.
2. Prosesnya – di manakah posisi kita sekarang dan bagaimana langkah selanjutnya?
Di bulan Mei 2013, Sekjen pertemuan tingkat tinggi PBB menyampaikan laporannya, merekomendasikan lima perubahan transformasional untuk agenda pembangunan terbaru. Salah satunya dinyatakan untuk ‘menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai inti,’ sebuah pergeseran utama dari MDGs, yang hanya berhubungan dengan keberlanjutan dengan konteks yang terbatas lewat tujuan terfokus pada lingkungan. Laporan ini juga menyerukan pada negara-negara untuk membentuk ‘kemitraan global yang baru’ – yang sangat relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bumi kita saat ini: efek buruk perubahan iklim, semisal: yang menghantam negara secara tak terduga dan hanya dapat ditangani jika dunia berkolaborasi bersama.
Penting untuk menandai bahwa tugas utama panel tingkat tinggi ini adalah untuk merancang kerangka kerja dengan mengusulkan pedoman umum dalam beberapa tahun ke depan menuju 2015. Namun, panel ini tidak mengembangkan SDGs – ini adalah pekerjaan yang masih berproses, dan menjadi ketentuan Kelompok Kerja Terbuka Majelis Umum PBB (OWG). Hingga kini, OWG telah menyelenggarakan empat rapat untuk membicarakan sekitar empat isu, diantaranya, pendekatan konseptual tujuan-tujuan baru, pengentasan kemiskinan dan degradasi lahan. Diskusi berikutnya, yang akan berakhir di bulan Februari, adalah menyelenggarakan pengumpulan masukan dan saran terhadap tema inti dari kelompok pemangku kepentingan yang beragam. Pekerjaan sesungguhnya yaitu merancang SDGs belum dimulai.
3. Lanskap dan SDGs – Apakah potensi pendekatan lanskap?
Dalam pertemuan sebelumnya tentang SDGs dengan OWG, pembicaraan masih mengenai isu-isu yang terpisah satu sama lain: Dalam sebuah pertemuan, para anggota menganalisis dinamika populasi dan pola konsumsi baru; pertemuan terpisah lainnya berfokus pada produksi pertanian, desertifikasi, dan degradasi lahan. Namun tantangan sebenarnya ada di bagaimana menghubungkan hal-hal tersebut untuk menerjemahkan contoh-contoh sebelumnya menjadi pertanyaan yang konkret: “Bagaimana kita mencukupi kebutuhan pangan bagi populasi yang akan mencapai 9 milyar pada tahun 2050 tanpa terlalu banyak membebani ekosistem kita? Bagaimana kualitas dan kuantitas pangan ditingkatkan tanpa menyebabkan kerusakan yang tak tertanggulangi bagi planet kita? Kembali lagi, pertanian diperkirakan akan menjadi pemicu utama deforestasi di penjuru bumi. Pendekatan lanskap yang menyoroti aktivitas-aktivitas lahan yang beragam menawarkan sebuah cara untuk memikirkan tentang hubungan antara lingkungan dan pembangunan dengan cara yang terintegrasi. Sektor berbasis lahan, termasuk pertanian, kehutanan, perikanan, dan perkotaan, adalah penting untuk mencapai “Big 5’ aspirasi pembangunan dari pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, adaptasi perubahan iklim dan mitigasi, konservasi keanekaragaman hayati dan penciptaan ekonomi hijau. Seperti deforestasi yang tidak melulu mengenai isu kehutanan namun lebih dipicu karena pertumbuhan kalaparan akan pangan dan energi, produksi pangan bukan hanya masalah pertanian. Hasil-hasil pertanian bergantung pada masukan dari sistem lain: Perkiraan 75% dari air bersih, misal, datang dari hutan yang berfungsi sebagai spon raksasa dalam siklus air. Jadi alih-alih mendelegasikan tanggung jawab berbasis sektor dan target spesifik, pendekatan lanskap di tingkat konsep yang lebih tinggi dapat mengarah ke koordinasi yang lebih baik di antara pemanfaatan perebutan lahan, sehingga tujuan interrelasi untuk pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.
4. Menyiapkan agenda – Bagaimana tujuan lanskap yang berkelanjutan akan terlihat?
Terdapat beberapa cara untuk menangani lanskap berkelanjutan sebagai bagian SDGs. Salah satu kemungkinannya adalah tujuan yang berdiri sendiri untuk lanskap. Dalam rangka memastikan bahwa tujuan ini mempertimbangkan aspek lain dari tata guna lahan, ini dapat mengkompromikan target lain, di mana masing-masing dengan seperangkat indikator untuk mengukur kemajuan. Semisal, Sekjen CIFOR, Peter Holmgren, belum lama ini mengusulkan sebuah SDG lanskap berdasar empat tujuan: penghidupan, jasa ekosistem yang berkelanjutan, efisiensi sumber daya dan polusi, dan pangan serta produksi non pangan.
Kemungkinan alternatif SDG yang berdiri sendiri dalam lanskap berkelanjutan mungkin akan menjadi rancangan target yang mampu memperpendek lintasan tujuan: Sebuah tujuan tentang ketahanan pangan, semisal, dapat dihubungkan dengan pengelolaan daerah aliran sungai yang lestari.
5. Pertanyaan terbuka – Apakah yang masih harus kita pelajari mengenai lanskap?
Berpikir tentang laskap SDG mengarahkan kepada tiga isu yang berhubungan dengan rancangan pengukuran dan implementasi tujuan-tujuannya.
Di masa lalu, kritikan yang ditujukan terhadap MDGs sering disebut ‘Tujuan Pembangunan Minimum.” Ini terdengar sinis di awalnya namun realitas di lapangan memang di antara delapan tujuan dalam MDGs faktanya tidak semua negara berharap untuk setuju, namun lebih kepada apa yang dapat mereka setujui. Data dan metode di banyak negara sangat sederhana sehingga tidak mampu mengatasi hal-hal di luar butir-butir tersebut. Realitasnya adalah pemerintah lintas global yang bekerja di sektor dan di banyak negara berkembang, terutama wilayah terpencil, menemukan bahkan indikator dasarnya semisal ‘tingkat kelulusan sekolah’ tidak tersedia. MDGs memanfaatkan apa yang tersedia – jika kerangka kerja pembangunan dapat bekerja melebihi hal tersebut, data yang diperbaiki dan pembangunan kapasitas untuk lembaga nasional harus menjadi bagian dari agenda.
Kedua, pengukuran hasil pembangunan lintas lanskap membutuhkan rancangan kolektif: “Barang” semisal ketentuan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi lewat sektor berbasis lahan harus diukur/dibandingkan dengan polusi dan emisi yang ‘buruk’. Hal ini adalah rancangan yang jauh lebih rumit daripada kerangka kerja sebelumnya.
Terakhir, implementasi tujuan lanskap kombinasi merepresentasikan tantangannya sendiri: Kementerian dan lembaga pemerintah menggarisbawahi sektor-sektor semisal ‘lingkungan’, ‘energi’ atau ‘pertanian’ masih merupakan realitas di banyak negara dan integrasi horisontal masih kurang. Sistem tradisional ini juga direfleksikan dengan bagaimana lembaga internasional dirancang dan bagaimana kesepakatan internasional berhubungan dengan lingkungan dan kemiskinan yang kebanyakan muncul secara paralel. Sebuah tujuan yang terintegrasi tentang lanskap dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan ini.
Sementara berbagai pertanyaan ini masih ada, jawabannya pun masih sama: Kita membutuhkan peningkatan riset menuju bagaimana lanskap yang berkelanjutan mendukung pembangunan dan kombinasi solusi kebijakan untuk mendukungnya
Sumber : http://blog.cifor.org Penulis : Ann-Kathrin Neureuther
Tidak ada komentar:
Posting Komentar