Berbicara
tentang pemberdayaan atau empowerment tidak Berbicara tentang pemberdayaan
atau empowerment tidak bisa dipisahkan dari perspektif dan
paradigma yang membingkainya. Sebuah perspektif dan paradigma akan dominan
atau menjadi arus utama jika bisa menjadi jalan keluar dari kondisi yang
tidak diinginkan atau lebih singkatnya menjadi antitesis dari tesis yang
disebut gagal mencari jalan keluar. Demikian pula sebuah perspektif dan
paradigma yang menjadi arus utama (antitesis) tidak selamanya dianggap sempurna
karena bisa jadi di tengah jalan mengalami penyimpangan dan kegagalan dan
akhirnya digulingkan oleh tesis baru yang lebih sempurna menawarkan jalan
keluar. Karena konsep pemberdayaan adalah hasil dari sebuah perspektif dan
paradigma, maka konsep tersebut juga akan mengalami alur evolusi seperti di
atas, bisa menjadi arus utama, bisa berada di persimpangan jalan, dan bisa
menjadi arus yang diangap gagal
Saat ini konsep
pemberdayaan memang sedang mendominasi dan menjadi rujukan akedemisi, praktisi,
dan pengambil kebijakan dalam mengatasi permasalahan masyarakat yang masih
dalam belenggu kemiskinan dan ketertinggalan karena dianggap lebih baik dari
konsep sebelumnya yaitu konsep community development yang
usung oleh prespektif pertumbuhan. Tetapi dalam perjalanannya konsep
pemberdayaan ini juga tak kunjung jua menuai hasil yang diharapkan semula.
Menurunnya angka kemiskinan yang menjadi isu utama dari cita-cita pemberdayaan
juga tak kunjung signifikan. Padahal sudah berapa banyak sumber daya yang
digelontorkan kepada masyarakat dengan berbagai skema bantuan untuk usaha
produkstif dan penguatan kelembagaan masyarakat miskin. Masyarakat hanya bisa
berdaya jika ada pihak eksternal yang menopang keberdayaan masyarakat, tetapi
setelah pihak eksternal tidak ada lagi maka kembali lagi tidak berdaya seperti
semula. Penyimpangan-penyimpangan konsep, pelaku, dan implementasinya juga
kerap mewarnai setiap program yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Berdasarkan
kenyatan di atas, konsep pemberdayaan kini ada di persimpangan jalan antara
masihkah membawa harapan kesuksesan atau harus mengganti konsep baru sebagai
antitesis pemberdayaan. Meskipun demikian pemberdayaan menurut penulis masih
menjadi “obat” yang bisa diharapkan mujarab mengobati ketidakberdayaan
masyarakat dibanding dengan konsep-konsep sebelum dan lainnya. Karena konsep
pemberdayaan masih menempatkan masyarakat sebagai pelaku perubahan. Namun perlu
penajaman di tataran konsep dan implementasi yang semakin memberi tempat
dominan kepada masyarakat.
Konsep
pemberdayaan selama ini masih mengasumsikan ada pemberdaya dan yang
diberdayakan. Pihak eksternal negara, NGO, ataupun swasta sebagai pemberdaya
sedangkan masyarakat sebagai obyek yang diberdayakan. Seringkali pihak
pemberdaya membawa nilai-nilai baru yang seragam untuk diterapkan di
masyarakat. Pihak eksternal memberi bantuan atas nama pemberdayaan tapi bentuk
programnya, mekanismenya dan aplikasinya harus sesuai dengan aturan pihak
eksternal. Idealnya pemberdayaan adalah berangkat dari nilai-nilai dan dinamika
internal masyarakat, berasal dan dilakukan atas kekuatan masyarakat sendiri
pihak eksternal hanyalah pemancing atau perangsang kekuatan masyarakat. Asumsinya,
masyarakat sejak terbentuknya sudah memiliki nilai-nilai lama yang menjadi
kekuatan bersama. Masyarakat juga memiliki pengalaman kekuatan berkembang
dengan kemampuannya sendiri sesuai dengan lokalitasnya atau dikenal dengan
kearifan lokal. Dalam masyarakat juga terbentuk suatu sistem yang diakui
bersama dan menjadi mapan melalui dinamika sosial yang panjang dan teruji. Atas
asumsi itulah sebenarnya masyarakat memiliki “tenaga dalam” untuk berdaya
sendiri. Dan tenaga dalam tersebut dikenal dengan nama modal sosial.
Program-program
bantuan atas nama pemberdayaan selama ini justru menghancurkan modal-modal
sosial yang sudah tertanam mengakar dalam masyarakat. Di wilayah dampingan
penulis yang awalnya sebelum ada program-program CSR, masyarakat masih giat
gotong-royong memperbaiki jalan desa, saluran air, penghijauan, dan kerja bakti
bersih desa. Tetapi setelah ada bantuan program-program pemberdayaan, justru
berganti dengan segala sesuatu yang diuangkan, masyarakat akan mau bertindak
jika ada uangnya. Dalam kaitan penajaman pemberdayaan, bahwa di dalam
masyarakat sendiri sebenarnya menyimpan tenaga dalam yang cukup besar berupa
modal sosial. Sayangnya modal sosial tersebut hilang tergerus oleh konsep
pemberdayaan yang seragam dan “paketan” dari pihak eksternal. Oleh karena itu
masyarakat harus diberi kewenangan berlebih dalam menentukan dan merumuskan
kebutuhan, potensi/sumberdaya, peluang dan tantangan secara mandiri. Pihak
eksternal boleh berperanan, tapi jenis dan porsi peranannya bukan ditentukan
oleh pihak eksternal, melainkan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sesuai
dengan kebutuhan yang dirancang masyarakat itu sendiri.
Dari penajaman di
atas, proses perubahan tersebut benar-benar menempatkan masyarakat sebagai
basisnya. Dengan demikian dorongan dan mekanisme perubahan dari dalam lebih
ditempatkan dalam posisi primer, sementara dorongan dari pihak eksternal lebih
bersifat sekunder. Hal ini berarti bahwa kendali perubahan oleh masyarakat
sendiri, sehingga menghindari proses perubahan justru dikendalikan dari luar.
Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan misalnya untuk perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan desa melalui media yang mengakar kuat yakni rembug desa, sedangkan
contoh jaminan sosial hari tua oleh keluarga dan institusi kekerabatan,
mengatasi kebutuhan mendadak atau hajatan dengan sistem imbal balik, gagal
panen atau paceklik dengan lumbung desa dan contoh lain yang diamanatkan oleh
agama seperti zakat dan infaq untuk orang yang tidak mampu maupun sarana ibadah
dan sarana umum/publik.
Kembali lagi pada
pernyataan pemberdayaan masyarakat dipersimpangan jalan, memang benar apa yang
terjadi saat ini, akan tetapi masa berada dipersimpangan jalan ini dapat segera
kita tarik mengarah kepada jalan harapan kesuksesan melalui kemampuan
menyempurnakan dan melakukan akomodasi terhadap perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Bagi pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sekarang ini menempati
arus utama, kesempatan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan demi
perubahan sruktural masih cukup terbuka. Hal ini disebabkan karena berbagai
kelemahan dan kekurangan yang ada sampai saat ini baru dalam tahap mulai
memunculkan anomali, belum sampai mengarah ke krisis.
Sumber :
http://ademosindonesia.or.id/
Penulis: Ahmad
Shodikin